Harold dan Kisahnya

12 3 0
                                    


Pagi sudah ancang-ancang melompat siang waktu dua kepala nongol di pintu kamarku.

"How are you doin'?!"  seruan kompak  menghentikanku membereskan tas, aku mengulurkan tangan dan merasa diterkam. Genggaman tangan dua teman kuliah Sean di Indiana University ini bukan main kuat dan mantap, khas orang-orang yang menyukai persahabatan.

"We will join your outdoor activity, boleh?" berkata salah satunya dengan senyum lebar. Jelas aku mengangguk girang, camping kalau cuma berdua dengan Sean kurang seru.

Kevin Pillsbury dan Stuart Grant, begitu nama mereka, rupanya sobat karib dari SD dan kompak bak sepasang pemain bertahan dalam tim sepakbola.

Bedanya, Stuart makannya banyak. Itu agak menjelaskan bentuk badannya yang gemuk dan rada pendek. Rambutnya lurus dan hampir terhadap apa saja Stuart selalu terkesan memasang muka serius. Kalau saja tak ditongkrongi kacamata minus empat, wajahnya akan segera mengingatkan orang pada Jacob Batalon, sohib karib Peter Parker di Spider-Man: Homecoming.

Sedangkan Kevin ceking, tinggi dan kalau berdiri kayak pohon kelapa di pantai, agak melengkung. Melihat gerak-geriknya orang akan segera ingat pada seekor belalang sembah. Kepalanya ditumbuhi rambut kriwil sejak dari sono dan ia makan hampir selalu sedikit tapi banyak ketawa-tawa, hampir di segala suasana.

Matahari meraung-raung di atas Lebanon waktu kami berangkat. Kevin yang duduk methingkrang di belakang sampai melepas kaos menggelar tulang-tulang dadanya yang mirip kolintang.

"Dio kamu siap-siap tidur aja. Ini bakalan lebih jauh dari perjalanan St.Louis - Lebanon kemarin," belum-belum Sean sudah membuatku males. Wah, perjalanan jauh lagi...

"Yeah, Dude! Tidur yang nyenyak. Besok pagi kalau udah sampai aku bangunin," timpal Kevin.

Truck menderum gahar, seolah mengabari jalanan seberapa besar tenaganya. Yang kami naiki ini bukan truk besar kayak yang biasa dipakai orang-orang buat ngangkut pasir atau hasil bumi. Yang disebut truck di sini tak lain mobil Ford double cabin semi offroad dengan kursi empat penumpang serta bak terbuka untuk muatan barang di belakangnya.

Aku bisa merasakan roda-roda radialnya yang besar-besar menggaruk mulus jalanan lengang di sepanjang jalur pedesaan. Oksigen segera menderu dari sela-sela pohonan mengusir udara gerah dalam kabin. Aku sengaja minta Sean supaya nggak usah pakai AC, buka jendela aja biar aku bisa menikmati suasana. 

Orang-orang desa di sini ternyata sama ramahnya dengan orang desa di negeri kita. Berkali-kali Sean selalu melambatkan laju mobil sekadar menyapa kalau berpapasan dari arah berlawanan.

Ia juga berulang menjeritkan klakson serta melambai ke arah orang-orang di tepi jalan. Lambaian yang selalu  dibalas dengan bonus teriakan, "Where are you going?" "Have a good day!" juga, "Take good care!"

Sekali waktu ia berhenti, mendekati seorang lelaki setengah baya yang tengah repot mengutak-atik sepeda di tepi jalan.

"Orang ini sahabat Daddy sejak muda," bisik Sean. "Dia orang baik, sayang jalan hidupnya sedih."

"O, ya?"

Sean mengangguk. "Dan dia pernah tinggal cukup lama di Indonesia."

"What's up? Harold," sapanya.

"Hey, Sean! Sepedaku rewel pagi ini. Bannya kempis, nih."

"Wah... Awal hari yang jelek kalau gitu. Ayo, kuantar pulang aja."

"Praise to Lord! Tuhan mengirim pertolongan pada waktu yang tepat. Aku sudah malas membayangkan kalau harus menuntun sepeda ini sampai ke rumah."

The Dark ClusterWhere stories live. Discover now