➡ Chapture 36

61.7K 6.3K 90
                                    

Aya hanya bisa diam dengan kedua tangan yang saling menggengam. Dia sekarang sedang berada di ruangan Gara. Memberikan hasil skripsinya yang sudah dia print semalam.

"Kamu bisa ambil jadwal sidang secepatnya," ujar Gara dan menaruh skripsi Aya di atas mejanya.

Aya tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Kak. Eh maksudnya Pak." saking senang Aya sampai lupa mengganti panggilannya saat mereka berada di kampus.

Gara hanya mengangguk dan Aya segera pamit izin keluar, karena masih banyak mahasiswa yang ingin menemui dosen itu.

Di luar sudah ada Cilla dan Andra yang sedari tadi menunggu kabar yang akan gadis itu berikan. Aya yang melihat mereka berdua langsung tersenyum senang.

"Gue sidang."

Mendengar itu Cilla dan Andra ikut tersenyum. Bahkan Cilla dan Aya sudah jingkrak-jingkrak berdua sambil berteriak "Huha."

"Selamat ya, Ya," ucap Andra membuat Aya tersenyum.

"Makasih, Mas. Buat Mas Andra juga selamat, udah dapet jadwal sidang lebih dulu dari kita," ujar Aya dan merangkul Cilla.

Andra tersenyum dan mengangguk. "Berniat untuk merayakannya? Saya traktir di Lovebird Mart," tawar Andra menatap kedua gadis itu secara bergantian.

Aya dan Cilla saling memandang kemudian tersenyum. "Siapa yang nolak," ujar mereka kompak.

"Capcus." Cilla mengangkat sebelah tangannya membuat mereka tertawa.

Di Lovebird Mart mereka bertiga duduk di meja luar. Andra membawakan beberapa cemilan dan juga minuman kaleng untuk mereka menikmati hari ini.

"Cincau cap panda," ujar Aya kesenangan dan mengambil minuman cincau kaleng bergambar panda itu.

"Kapan bisa ambil jadwal sidang?" tanya Cilla menatap Aya membuat sahabatnya itu mengadikkan kedua bahunya.

"Gak tahu, tadi belum dikasih tahu. Mungkin besok atau lusa," jawab Aya dan Cilla hanya mengangguk.

"Akhirnya balik juga ke kampung halaman." Cilla menghela napasnya lega. Akhirnya perjuangan pendidikannya selama empat tahun di Surabaya akan berakhir.

Aya tertawa pelan. "Kangen banget gue sama Mama sama Ayah. Rasanya tuh kayak udah berabad-abad gak ketemu," ujar Aya menimpali dan diangguki oleh Cilla yang setuju dengan ucapannya barusan.

"Gue juga kangen sama Mama sama Ayah. Sumpah, gue rindu masakan dan kue-kue yang Mama buat." Cilla gregetan, dia membayangkan makanan-makanan apa yang saja pernah Mamanya buatkan untuknya.

Andra yang melihat mereka berdua tersenyum. "Selamat ya," ujar laki-laki itu membuat kedua sahabat itu tersenyum.

"Sukses terus ya, Mas. Nanti kalau ada jodohnya kita pasti ketemu lagi," ujar Aya yang diangguki oleh Andra.

"Aamiin. Semoga kita ketemu lagi ya, bisa kumpul kayak gini. Saya senang bisa kenal dan berteman baik dengan kalian."

Aya dan Cilla saling menatap kemudian tersenyum. "Sama-sama."

"Dulu saya kira, orang Sunda itu sombong-sombong. Tapi, setelah bertemu dengan kalian ternyata itu gak benar," ujar Andra yang terdengar malu dengan pikirannya yang mengira orang Sunda sombong.

Aya tertawa kecil. "Gak semua orang Sunda sombong, Mas. Memang mereka kayak garang, dan bahasanya kayak gitu kasar-kasar. Tapi, mereka sebenarnya baik kok. Mungkin karena Mas Andra lihatnya hanya sekali atau dua kali saja."

Andra mengangguk membenarkan. "Iya, dulu saya pernah tinggal di Bandung setahun. Dan jujur, saya sulit untuk bersosialisasi. Gaya hidup mereka terlalu milenial, sedangkan saya hanya seadanya."

Kali ini Cilla yang tertawa pelan. "Wajar lah, Ndra. Namanya kota besar. Di Surabaya saja banyak yang begitu, pakai tas branded atau apa. Tapi tentang gaya hidup itu tergantung diri kita sendiri."

Aya mengangguk setuju dengan apa yang Cilla katakan. Gadis itu mengangkat jari jempolnya untuk sahabatnya.

Andra tersenyum. "Iya benar, tergantung kita. Sepintar-pintarnya kita yang bersikap dan mengikuti tren."

Mereka diam, dengan mulut yang sibuk mengunyah makanan ringan yang tadi Andra bawa.

"Gak mau nyoba merantau ke Jakarta, Mas? Pasti Mas bisa keterima di perusahaan besar, semacam Telkom Indonesia mungkin?" Aya menatap Andra membuat laki-laki itu terkekeh dan menggelengkan kepalanya.

"Saya harus jaga nenek di sini, beliau sudah tua dan saya gak tega jika meninggalkan beliau," jawab Andra yang sebenarnya memiliki pikiran untuk merantau. Tapi dia juga tidak bisa meninggalkan keluarga satu-satunya yang dia punya.

Aya mengangguk paham. "Jagain aja nenek, Mas. Beliau harta berharga yang Mas punya saat ini," ujar gadis itu yang mendapat senyuman manis dari Andra.

Mereka bertiga menikmati sore dengan berkumpul di depan Lovebird Mart. Entah kapan lagi mereka akan seperti ini. Mungkin itu ketidakmungkinan, mengingat mereka akan sibuk memilih masa depan masing-masing.

Aya dan Cilla kembali ke kosan Mirasena, ketika mereka ingin berjalan ke kamar kos Aya, langkah kaki mereka berdua terhenti saat melihat Dira yang sedang mengobrol dengan Hana di teras rumah Gara.

Cilla melirik Aya kemudian menggengam tangan sahabatnya itu. "Kita ke kamar langsung kabarin Mama Olla sama Ayah Esa," ujar Cilla segera menarik tangan Aya dari sana.

Aya hanya menurut meskipun hatinya masih merasa gundah gelisah. Banyak pertanyaan dalam benaknya. Apakah Gara balikan dengan Dira? Kenapa Dira ada di teras rumah Gara? Dan kenapa Hana seakan senang mengobrol dengan Dira sampai-sampai tidak melihatnya sudah pulang? Padahal biasanya kan Hana selalu menyambutnya dengan teriakan "Bunda." Saat dirinya baru saja membuka pagar kosan.

Aya duduk di atas kasurnya, dia hanya diam dan menatap sendu ke arah lantai kamar kosannya.

Cilla yang baru saja menutup pintu membalikkan badannya dan menatap Aya yang kembali murung. Gadis itu mendekati Aya dan memegang baru Aya.

"Apa perlu kita pindah ke kosan gue, Ya?" tawar Cilla membuat Aya mendongak menatap sahabatnya itu dengan kening yang mengkerut.

"Kenapa gitu, Cil?" tanyanya bingung karena tiba-tiba Cilla menawarkan hal yang aneh menurutnya.

Cilla menghela napasnya dan menatap lekat. "Gue capek, Ya. Harus lihat lo murung terus kalau lo sampai kosan. Please jangan gini lah, patah hati itu boleh. Tapi jangan gini, lo harus semangat karena masih ada orang-orang yang harus lo banggain yaitu Mama sama Ayah lo."

Aya terdiam, apa yang Cilla katakan benar. Seharusnya dia tidak begini, seharusnya dia tidak meratapi patah hatinya. Ini semua tidak ada untungnya. Aya sadar dan mengangguk.

"Boleh, Cil. Kita pindah ke kosan lo sampai kita benar-benar udah wisuda," ujar Aya dan diangguki oleh Cilla.

"Biar nanti gue aja yang bilang sama Kak Gara, gimana?" tawar Cilla lagi yang langsung ditolak oleh Aya.

"Gue aja yang bilang, sekalian pamitan sama Bu Parmi dan penghuni kos yang lainnya," ujar Aya menolak tawaran Cilla dan sahabatnya hanya mengangguk.

"Kita rapi-rapi sekarang, Ya. Biar sampek kosan gue gak kemalaman." Aya mengangguk setuju dan mereka mulai merapikan barang-barang Aya, memasukkannya ke dalam kardus-kadus yang masih Aya simpan.

"Gak tahunya masukin barang ke tas sama kardus capek juga ya. Gue salut sama Ibu kos gue yang dulu, dan terima kasih udah mau rapiin barang-barang gue," ujar Aya kemudian terkekeh.

"Serah lo deh. Gue udah pesen taksi online, lebih baik lo sekarang pamitan kita kejar waktu," ujar Cilla dan Aya mengangguk.

Dia segera berjalan keluar dari kamar kosnya untuk berpamitan pada Bu Parmi, Hana, penghuni kosan Mirasena, dan Gara. Masa lalunya.

"Selamat tinggal semuanya, dan selamat tinggal masa lalu. Kita sudahi kenangan ini sampai sini."






To Be Continue.

Berikan komentarnya dan tekan bintang.

Terima kasih.

Kos-kosan Mantan [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang