Bagian 7

136 24 32
                                    

🥰

***

KYO.

Bunyi bel yang begitu nyaring membuatku tersentak bangun. Aku menggeliat-geliut sebentar, lalu duduk dan melakukan peregangan tubuh. Di luar sana suara-suara mulai terdengar ramai. Itu berarti, bunyi bel yang membangunkanku tadi adalah bel istirahat.

Saat ini aku sedang berada di ruang X. Begitulah kami menyebutnya. Lokasinya berada di salah satu sudut sekolah, berdiri sendiri, terpisah dari bangunan lain. Rumor yang beredar, katanya dulu ada siswa yang bunuh diri di sini. Itulah sebabnya ruangan ini tidak pernah lagi dipakai dan dinamakan ruang X.

Aku dan teman-temanku tentu saja tidak percaya pada rumor itu. Kami tahu cerita yang sebenarnya. Oleh karena itulah, kami menjadikan ruang X sebagai markas utama.

"Woi, Kyo."

"Tampang kamu kayak orang baru bangun tidur aja, Kyo. Cuci muka sana. Hahaha."

"Aku udah follow Kak Kyo lho. Follow back ya."

"Hai, Kyo."

Yups. Banyak yang menyapaku begitu aku berjalan melewati kantin dan berpapasan dengan murid-murid lain. Sebagian dari mereka adalah teman-temanku, sebagian lagi sekadar kenalan, dan selebihnya aku hanya tahu wajahnya saja karena sering bertemu.

Semua sapaan yang kuterima selalu kubalas dengan hangat. Baik dengan cara mengucapkan balik nama mereka, memberi senyuman, atau terkadang senyuman plus kedipan. Tapi itu semua khusus untuk cewek-cewek. Kalau untuk cowok-cowok, kuteriakkan saja nama bapak mereka.

Begitulah jika kita menjadi salah satu orang yang populer dan punya banyak teman di sekolah. Rasanya menyenangkan. Sungguh!

Di depan pintu kelas 11 IPS 2, aku melihat Raka sedang asyik mengobrol dengan seorang cewek. Cewek itu murid pindahan. Baru dua minggu sekolah di sini.

Raka melihatku berjalan mendekat dan seketika itu juga mereka berhenti mengobrol. Cewek itu menoleh padaku. Kulihat Raka membisikkan sesuatu pada si cewek, lalu si cewek mundur untuk membuat jarak.

Sekarang aku berdiri persis di hadapan Raka. Ekspresi wajahnya langsung terlihat tegang. Padahal aku belum bicara sepatah kata pun, hanya menatapnya lurus-lurus. Dia tidak berani membalas tatapanku dan hanya menunduk menatap lantai.

Aku menghela napas dalam-dalam. "Uangnya udah ada, Raka?"

Kuucapkan kata-kata itu dengan tenang.

Raka menelan ludah. "Belum, Kyo. Kasih aku wak—"

Belum sempat Raka menyelesaikan kalimatnya, aku mencengkeram kerah baju seragamnya dan kemudian mendorong tubuhnya dengan keras ke pintu. Disusul tinjuku yang kuarahkan tepat ke samping kepalanya.

BUKK!

Raka terkesiap.

Muncul keheningan panjang.

"Pokoknya aku nggak mau tau." Suaraku meninggi. "Mobilku mesti diperbaiki dan total biayanya lima ratus ribu. Tanggung jawab dikitlah jadi orang."

"Tapi uangku belum cukup. Kasih aku waktu seminggu lagi, Oke?" Suara Raka bergetar. "Aku pasti bertanggung jawab penuh atas kerusakan mobilmu."

Aku menarik tanganku dan menghela napas panjang. Kedua tanganku mulai merapikan kerah baju seragam Raka, seperti seorang penjahat yang baru saja mengancam pemeran utama di film-film.

"Aku kasih waktu tiga hari, Raka." Aku menepuk-nepuk baju seragam Raka yang sebenarnya tidak kotor ataupun berdebu. "Kamu nggak bakalan suka dengan apa yang bakal aku lakuin ke kamu seandainya dalam tiga hari aku nggak menerima uang itu. Kamu ngerti?"

Raka mengangguk. "Ngerti."

Aku meninggalkan Raka dan terus berjalan melewati kelasku, kemudian berbelok ke tangga. Indra dan Beni sedang duduk di sana, di anak tangga kelima. Mereka tertawa dengan napas terengah-engah.

"Minuman siapa yang kalian ambil?" tanyaku sambil menunjuk botol minuman yang dipegang Indra.

"Minuman si Fani." Indra membuka tutup botol, lalu meneguk isinya banyak-banyak.

"Kenceng banget lari tuh anak." Beni mengambil minuman itu dari tangan Indra. "Tadi kami kejar-kejaran sampai ke depan ruang kepala sekolah."

"Kyo, kenapa kamu berantem sama Raka?" tanya Indra.

Oh. Pasti Indra dan Beni sempat melihat kejadian tadi.

"Nggak kenapa-napa," kataku.

Lima menit kemudian...

Di hadapan kami, Raka bergeming. Dia kelihatan ragu untuk naik ke tangga karena ada kami duduk di sana. Namun, akhirnya dia naik juga. Dia menatapku. Ujung bibirnya perlahan tertarik membentuk senyuman.

"Yes!" Raka berseru riang dan meninju udara. "Berhasil, Kyo."

"Apanya yang berhasil?" tanya Indra. Kurasa jiwa kepo-nya sedang bergetar hebat.

"Ada deh," kata Raka sambil menaiki anak tangga. Kelasnya ada di lantai tiga, 11 IPA 4. "Mau tau aja."

Aku mendongak, mengingatkan Raka sebelum dia menghilang di lantai berikutnya. "Bagianku lima puluh persen, seperti biasa."

Raka menoleh ke bawah, ke arahku. "Kamu lupa, ya? Kamu berhutang padaku 250 ribu. Berarti kali ini kamu nggak dapat bagian."

Lalu Raka pergi sambil tertawa.

Sial!

Satu hari sebelum gosip tentang Rahel kuposting, Raka menginap di rumahku. Aku telah menyiapkan beberapa rancangan gosip dan Raka membantu memilihkan yang paling keren. Saat itu aku bertaruh 250 ribu, bahwa Rahel akan mengadu ke guru BK dalam tiga hari. Tapi sialnya aku kalah. Aku jadi berhutang 250 ribu pada Raka.

Dan mengenai pertengkaran tadi, panjang ceritanya. Tapi intinya kami hanya berpura-pura.

Lima menit lagi bel masuk akan dibunyikan. Kantin pasti sudah tidak begitu ramai lagi sekarang. Oleh karena itu, Indra dan Beni mengajakku pergi makan ke kantin. Tapi aku sedang tidak ingin melakukan aktivitas mengunyah, jadi aku tetap duduk di tangga setelah mereka berdua pergi.

Lalu...

Seseorang muncul.

Aku menatapnya sementara dia menaiki anak tangga. Ekspresi wajahnya, sewaktu melihatku sekilas, seperti sedang melontarkan serentetan makian di dalam hati. Dia melewatiku begitu saja tanpa berkata-kata.

Aku menghela napas dalam-dalam. Tidak tahu harus sedih atau apa.

"Selamat ulang tahun... Kyo."

Sebuah kenangan tiba-tiba menyelinap masuk ke dalam kepalaku. Untuk sesaat aku hanya bergeming, lalu mendongak padanya. Dia berhenti di anak tangga sebelum mencapai lantai dua.

Aku tersenyum. Suaraku tersekat di tenggorokan. Tidak kusangka dia masih ingat tanggal ulang tahunku. Hebat!

"Aku...." Dia kelihatan ragu untuk melanjutkan. "Aku beliin kamu hadiah. Langsung kualamatkan ke rumahmu. Mungkin hari ini datangnya. Dan..." Dia menggigit bibir bawahnya sebelum lanjut bicara. "Aku minta maaf soal yang kemarin."

"Pertama, makasih atas ucapan dan hadiahnya." Aku berdiri, masih tersenyum. "Kedua, lupain aja soal itu. Yang penting sekarang kita masih berteman. Bukan begitu... Karin?"

Barulah kulihat ekspresi Karin berubah cerah. Senyuman lebar terukir di wajahnya yang cantik.

Kemudian dia mengangguk.

***

🥰

Save Kutu Dari Bau KetekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang