Aku Berbeda Denganmu!

1 1 0
                                    

Halo-halo semuanya, aku harap kalian tetap sehat ya, jangan lupa menerapkan protokol kesehatan dari pemerintah, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan selalu. Kali ini aku ingin menceritakan pengalaman nyataku tentang perbedaan. Apa itu? Silakan membaca teman-teman ...

***

Aniela mengingatkan Rico pada suatu moment di ruangan yang penuh lampu-lampu cantik dan indah.
Aniela mengulurkan kedua tangannya ke bawah tubuh Rico dan mengangkatnya dari ranjang. Dalam bopongan malaikat, Rico merasa dirinya seringan bulu, meskipun Aniela jauh lebih kecil ketimbang dirinya.

Ruang keluarga hampir sepenuhnya gelap. Hanya lampu di atas kursi hijau berlengan yang dibiarkan menyala.
"Mereka biasanya meletakkanku di sofa," kataku sambil mengatakan bahwa aku sering diletakkan oleh tak kasat mata.

Aniela menurunkan Rico dengan hati-hati di sofa merah, dan Rico mendongak.

"Mereka mematikan lampu-lampu di sekitar ruang tamu. Sayang sekali!"

Detik berikutnya, Aniela sudah menyalakan kembali lampu itu dan sekitar ruangan itu menjadi terang benderang seperti suasana natal tahun lalu.

"Cepat sekali," kata Rico. "Kau mengingatkanku pada jin lampu ajaib yang mengabulkan semua permintaan. Ajaib!"

Aniela mengangguk kalem. "Mirip dengan cahaya di surga."

Karena lampu-lampu di sana berbeda dengan lampu di ruangan lainnya, kelap-kelip bercahaya layaknya lampu disko.

"Benarkah? Aku sering membayangkannya. Sepertinya surga lebih indah daripada ini"

"Cahaya di surga adalah semua bintang dan planet," jelas Aniela. "Ada bermacam-macam gas di sekeliling sebagian planet."

"Oh seperti itu. Pantas saja cahaya di sini sama dengan cahaya surga."

Seketika itu, Aniela terbang nyaris menyentuh langit-langit. Kemudian, dia terbang naik-turun semeter di atas meja makan.

"Aku berharap bisa terbang," kata Rico. "Sehingga, aku bisa melarikan diri dari semua ini, dari meja, kursi, dan sebagainya."

Aniela menunjuk sepiring besar kue yang sudah di beli Rico waktu itu.

"Wah ada kue yang belum disingkirkan."

"Memang. silakan cicipi kalau mau."

Aniela terbang berputar di atas piring. Dia berkata, "Pasti menyenangkan seandainya aku bisa."

"Tentu saja bisa. Masih banyak, kok. Kamu pasti tidak bisa membayangkan berapa banyak kue yang sudah kubeli."

Aniela mendesah panjang. "Malaikat tidak makan. Kami tidak bisa makan."

"Ohh begitu ya?"

"'Iyaa makannya aku bingung cara memakannya dan ingin sekali makan kue itu. Semua karena waktu, seperti arus yang tiada terputus, menghanyutkan semua putranya.' Oleh karenanya, jamuan-jamuan baru selalu dipersiapkan dengan makanan dan minuman yang berganti-ganti. Tetapi, para malaikat di surga tak akan pernah tahu seperti apa rasanya kenikmatan duniawi."

"Bisakah kamu ambilkan sepotong kue?"

Aniela menukik turun dan mengambil sepotong kue untuk Rico. Aniela terbang melintasi ruangan dan memberikannya kepada Rico. Rico pun mulai makan sedikit demi sedikit. Aniela tetap melayang di atas meja makan dan kursi.

"Lucu rasanya melihat kalian, manusia, makan," kata Aniela.

"Loh, mengapa?"

"Kalian memasukkan sesuatu ke dalam mulut dan mengatupkan bibir kalian dan mengunyah. Dan kemudian, kalian mengecap suatu rasa, sebelum makanan itu berubah menjadi darah dan daging dalam tubuh kalian."

"Ya, memang begitu kok."

"Memang ada berapa banyak rasa di dunia ini?"

"Entahlah. Kurasa, tak seorang pun pernah membuat daftar lengkap semua rasa yang ada."

"Rasa apa yang menurutmu paling enak?"

Rico menimbang-nimbang dengan hati-hati.

"Cokelat, mungkin... cokelat dan es krim."

Bola mata Aniela berputar-putar keheranan. "Aneh kedengarannya, memasukkan peppermint dingin yang kemudian menggumpal di dalam mulutmu. kamu pasti merasa bahwa bagian dalam tubuhmu menggigil dan tertusuk dingin, kan?"

"Kamu membuatnya kedengaran sangat aneh. tetapi, memang benar, kadang-kadang es krim membuatku perutku terasa tertusuk-tusuk. Menyenangkan sekali!"

Aniela terus melayang di sekitar ruangan itu. Sesekali dia terbang menjauh, kemudian dia menukik kembali sedikit mendekat Rico.

"Aniela menunjuk ke arah meja makan. "Di piring itu ada cokelat batang yang masih utuh. Apa rasanya?"

"Sudah kubilang kalau cokelat itu rasanya manis. tetapi, kalau terlalu banyak makan cokelat bisa sakit gigi dan berlubang."

Rico masih mengunyak kue dan menjilati beberapa remah yang tersisisa di tangannya.

"Saat ini, aku sedang tidak kepingin makanan-makanan itu karena nanti bisa-bisa gigi aku sakit."

Aniela menggelengkan kepala dengan putus asa.

"Aku masih tak paham! Rasa dan hal-hal sejenisnya adalah misteri yang tak terpecahkan bagi malaikat di surga."

"tetapi, pasti bukan misteri bagi Tuhan, kan? Karena Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu."

Aniela melayang turun dan menduduki kaki Rico. Rico sama sekali tidak merasakan berat Aniela. Malaikat itu sepertinya sama sekali tidak menyentuh Rico; Rico bahkan tidak merasakan tekanan apapun dari tubuh Aniela.

"Kita tidak selalu sepenuhnya memahami ciptaan kita," kata Aniela.

"mengapa tidak??"

"Contohnya saja kamu bisa menggambar atau melukis sesuatu di atas selembar kertas. tetapi, bukan berarti kamu mengerti bagaimana rasanya menjadi apa yang kamu gambar itu."

"Itu sangat berbeda, gambar, kan, tidak hidup."

"Aniela mengangguk kuat-kuat. "Itulah tepatnya letak keanehannya."

"Apa?"

"Bahwa manusia itu hidup."

Rico memandang langit-langit.

"Kamu memang benar; pasti Tuhan tidak mengerti alangkah konyol rasanya sakit pada malam hari."

"Aniela menyela Rico. "Kita bisa bicarakan Tuhan nanti. Pertama-tama, kamu harus memberitahuku seperti apa rasanya menjadi makhluk dari darah dan daging ini?"

"Kalau begitu, ajukan pertanyaan! Tanyakan apapun yang kamu mau"

"Kita sudah membahas bagaimana kamu mengecap makanan. Yang tak kalah anehnya, kalian juga bisa mencium berbagai bau, tanpa kalian perlu mendekatkan hidung kepada apa yang kalian baui itu. Apa sebenarnya segala macam bau yang melayang di segenap penjuru dunia?"

"Kurasa, kamu tidak bisa mencium bau pohon-pohon di sekitar rumah, ya seperti pohon mangga atau yang lainnya?"

"Aniela mendesah putus asa. "Malaikat tidak punya indra, Rico. Ini memang bukan ujian mata pelajaran Agama, tetapi cobalah belajar."

"maaf, deh."

"Seperti apa bau pohon itu? Yang kamu katakan itu?"

"Baunya ada segar, masam, dan wangi. Menurutku, pohon yang berada di sekitar rumah ini bisa menambah suasana bahagia bagi kami manusia."

"Oh seperti itu, bisakah kamu membaui cahaya?"

"Rasanya tidak."

"Apa itu berarti kamu tidak terlalu yakin?"

"Aku yakin karena jika dalam keadaan Natal, maka ada namanya pohon Natal dan bau pohon Natal ini berbeda setelah kami menghiasnya dan menyalakan lampu-lampu seperti ruangan itu."

"Wah, menurutku, pembicaraan kita tentang bau juga bakal menemui jalan buntu seperti dalam masalah rasa. Apa jenis bebauan juga tak terhingga banyaknya?"

"Mungkin saja itu, tetapi menurutku ya indra penciuman manusia tidak terlalu baik. Mungkin kami bisa mencium seratusan jenis bebauan, padahal kami bisa mengecap ribuan rasa. Anjing pun punya indra penciuman yang jauh lebih hebat dari manusia. Jadi menurutku, mereka bisa membedakan ribuan jenis bebauan. Gak heran karena separuh muka anjing adalah hidung besarnya."

"Ternyata caramu menjelaskan hal itu lumayan juga ya. Bisakah kamu terankan seperti apa rasanya melihat?"

"tetapi, kamu bisa melihat seperti aku, kan?"

Aniela terbang meninggalkan ruangan ini, menjelajahi kamar, dapur, dan kemudian duduk di atas kursi besar berlengan dan berwarna merah. Dia terlihat sangat kecil dibandingkan dengan kursi besar itu sehingga tampak seolah-oleh dia bisa tenggelam di dalamnya.

"Caraku melihat tidak sama denganmu," kata Aniela. "Dan aku juga tidak dibentuk dari tanah dan air. Aku bukan sebongkah malam mainan seperti kalian, manusia."

"Jadi, bagaimana caramu melihat?"

"Dengan cara yang bisa kamu sebut sebagai 'kehadiran ruhiah'."

"tetapi, kamu bisa melihatku, kan?"

Aniela menggelengkan kepala. "Aku hanya hadir di sini."

"Aku juga. Dan selama ini kita bisa saling melihat, kan?"

Aniela mengangkat bahunya. "Apa menurutmu, kamu bisa melihat dalam mimpi?"

"Aku sering bisa melihat dengan sangat jelas dalam mimpiku."

"tetapi, saat itu kamu tidak melihat dengan matamu, kan?"

"Tidak, karena mataku terpejam saat aku tidur."

"Nah, jadi kamu pasti bisa paham bahwa ada beberapa cara melihat. Ada orang-orang yang buta matanya. Mereka harus menggunakan mata batin mereka. Itulah mata yang kamu pakai untuk melihat dalam mimpi indahmu."

"Mata batin?"

Aniela mengangguk.

"Jadi seperti itu perbedaan kami dengan manusia. Ya sudah aku mau pergi dahulu ya," kata Aniela.

"Oke kalau begitu aku juga mau ke rumah temanku dahulu," kata Rico.

Aniela terbang menembus langit-langit dan menghilang. Rico membersihkan rumah dan setelah itu pergi main ke rumah temannya, yang jaraknya tidak jauh dengan rumahnya.

Bagaimana seru bukan? Terus ikuti perjalanan Rico ya, jangan lupa beri vote dan komentar. Terima kasih teman-teman.

I Can See You (Wait for Me)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang