part 3 - Si Ambis?

Start from the beginning
                                    

"Yakin?"

"Al... "

"Inget lho Zey. Keinginan itu bisa aja terhalang gara-gara orang sekitar kita. Kadang keinginan kita pupus kalo kita berpikir, nggak bakal menang melawan ego mereka-mereka. Daripada menentang, sebagian orang kadang memilih diam. Terpendam deh keinginan itu, terwujud kapan kita nggak bakal tau, Zey. Bisa jadi nggak terwujud lagi." Sebenarnya, Alle tengah menyudutkan aku atau sebaliknya ingin menyadarkan diriku? Dari kata-katanya diterawang mengunakan metode penglihatan saja bisa ditebak arahnya ini ke mana. "Jadi, tinggal dipilih aja sih Zey. Lawan yang jadi penghalang atau dengan diam lo nggak bakal tenang?"

"Gue mau ngejelasin sudut pandang orang-orang Al tentang sunset dan ambisi orang yang ingin melihat wujud sunset. Boleh? Gini yah, lo dengerin. Suatu benda di anggap menarik kalo berjumpa pasti suatu hal yang sangat berharga bagi kehidupan Si Ambis," Aku mencerna setiap kata-kata yang di lontarkan Alle. Apa yang aku logikakan itulah yang akan aku bicarakan. "Tapi balik lagi ke penghalang apa kata lo tadi. Mindset lingkungan sekitar kehidupan seorang juga beda-beda kali Al. Si Ambis bertindak pasti bakal terkait ke orang satu ke orang lainnya. Banyak tuh asumsi pikiran masuk dari lingkungan Si Ambis yang membuat langkahnya maju-mundur Al. Lingkungan si Ambis menyampaikan kehendaknya. Ada yang menganggap sunset menarik pun sebaliknya. Ada yang menyuruh Si Ambis kek gini ada yang kek gitu. Ada yang tujuannya ke sana ada yang tujuannya ke sini. Ada yang suka ngelakuin ini, ada yang suka ngelakuin itu. Kalo sebagai objek kita nggak boleh maksain subjek sesuai kehendak kita. Pikirin juga orang-orang sekitar kita, kalo ngelakuin ini mereka bakal sakit hati nggak yah? Kalo gue begini mereka bakal senang nggak yah?"

Alle menghela nafas dan aku membuang pandangan, "Subjek bukan mainan pion kita Al. Subjek bakal nempatin diri di mana aja tempat yang dia anggap cocok sebagai tempat singgahan."

"Dan lo nurutin kehendak subjek Zey. Yah walaupun kalo posisi lo sebagai objek lo juga punya hak, 'kan? Lo boleh kok mendikte mana yang cocok, mana yang enggak untuk jadi figuran hidup lo. Kalo nggak suka lo bilang nggak suka bukan malah sebaliknya. Kalo lo ditindas lo lawan bukan malah diem aja. Tuhan kasih kita mulut buat membela walaupun satupun di antara mulut lain mojokin lo juga. Tapi inget, lo punya mulut sendiri, pake itu. Sebaliknya, kalo main tangan, lo juga punya, kenapa di anggurin coba?"

"Lo nggak bakal tau Al, kalo kartu AS kita mereka yang pegang. Untuk seukuran gue yang miskin, di hadapkan dengan orang tajir yang benci gue. Di lihat dari sudut pandang harta aja gue udah kalah telak, apa lagi dari sudut-sudut pandang lainnya? Kalo mereka pijak gue pun, selain yang gue lakuin diam dan menunggu tindakan apa yang akan mereka buat ke depan, gue cuma hanya bisa pasrah doang. Nggak bakal menang gue melawan mereka yang punya harta, tahta dan dunia. Yah, kalo di lawan pun gue yang akan lebih menderita. Logistic ist'n true. Walaupun gue nggak salah, mereka playing victim aja orang-orang bakal percaya mereka dan nyudutin gue juga. Jadi, apa yang lo usaha perjelas di sini Al? Posisi, tahta atau hak asasi manusia?"

"Dengerin gue... "

"Nggak berlaku Al untuk gue yang hidup cuma numpang dan modal nafas doang. Mikir kenapa?"

"Jadi lo mau hidup kayak gini-gini terus tanpa melawan orang yang nyakitin lo Zey? Keburu nyesel nanti kalo cuma diem doang kek patung." Dari dulu Alle tau bagaimana caranya untuk menyadarkanku. Dengan awal sunset kenapa nalarnya terlalu jauh? "Hidup nggak tentang prioritasin orang yang lo sayang doang sekalipun dia nggak mikirin perasaan lo dan malah nyakitin lo. Pikirin juga diri lo sendiri. Gue tau, lo sanggup dengan pura-pura gak kenal situasi Zey.

Hug me, please!Where stories live. Discover now