Chapter 18

621 63 5
                                    

Bahkan darah bercampur nanah, rela dipertaruhkan, jika hal itu bisa membuatnya bahagia.
___________________________

Asheeqa sangat mengetahui, jika ayahnya tidak selera makan hidangan yang disediakan oleh rumah sakit. Alhasil, Asheeqa memilih untuk membelikan bubur ayam yang letak tokonya tidak terlalu jauh dari rumah sakit tersebut.

Alia berlari untuk secepatnya menghampiri Asheeqa. Kemeja putih yang seharusnya dimasukkan ke dalam rok abu-abu pun kini terlihat tidak rapi. Tas sekolah yang semula dipakai olehnya, kini berada dipelukannya.

"Dek, kamu harus sekolah, hari ini! Akan ada penilaian dari kepala sekolah, tentang kehadiran siswa dan siswinya." Alia mengatur napasnya yang terengah-engah.

"Maaf, Kak. Asheeqa enggak berminat untuk masuk sekolah, hari ini. Asheeqa harus memastikan, bahwa keadaan ayah akan baik-baik saja." Asheeqa kembali melanjutkan langkahnya, sambil memegang semangkuk bubur ayam yang sudah dibeli olehnya.

"Dek, Alia mohon. Masa depan kamu masih panjang, bahkan kamu sama sekali enggak peduli dengan nilai ujian kamu. Alia hanya takut, jika kamu dikeluarkan dari sekolah," kata Alia dengan lirih.

"Kak Alia, enggak perlu khawatir. Asheeqa akan tetap baik-baik saja, meskipun pada akhirnya akan dikeluarkan dari sekolah. Kak Alia, kebahagiaan ayah adalah nomer satu bagi Asheeqa. Bahkan, darah bercampur nanah pun akan Asheeqa pertaruhkan, jika hal itu bisa membuat ayah bahagia." Asheeqa tersenyum pada Alia untuk meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja.

"Kak Alia, belajar yang rajin dan jangan lupa untuk menjaga kesehatan, ya!" Asheeqa mengusap pipi Alia dengan satu tangannya yang masih memegang mangkuk berisi bubur ayam, lalu melangkahkan kaki meninggalkan Alia.

Alia menatap punggung Asheeqa yang mulai menjauh. Tanpa disadari, air matanya mengalir hingga membasahi pipinya, setelah mendengar perkataan tulus yang diungkapkan oleh adiknya itu untuk ayahnya.

"Jujur saja, ini enggak adil bagi Asheeqa. Bahkan, Asheeqa sangat tulus menyayangi ayahnya. Sedangkan, ayah Fadlan? Dia justru sangat membenci anak kandungnya, hanya karena satu hal yang dirinya sendiri saja tidak yakin dengan kesalahan itu." Alia mengepalkan jemarinya, berusaha menahan emosi ketika mengingat perlakuan Fadlan kepada Asheeqa.

--oOo--

Asheeqa tersenyum, kala melihat Fadlan yang sudah bangun dari tidurnya. Pria separuh baya itu sedang sibuk membaca majalah tanpa mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Di mana, Firda?" tanya Fadlan, mengetahui jika Asheeqa yang datang ke ruang rawatnya.

"Mama, masih di rumah," jawab Asheeqa.

"Lalu, di mana Alia?" Fadlan kembali bertanya.

"Kak Alia pergi ke sekolah, karena ada ujian, hari ini," jawab Asheeqa, sembari menuangkan air mineral ke dalam gelas.

"Lantas, kenapa kamu ada di sini? Mengapa, tidak pergi ke sekolah? Saya, tidak membutuhkan kamu." Fadlan berbicara dengan suara yang cukup tinggi, tetapi Asheeqa tetap mempertahankan senyumnya.

"Asheeqa, hanya ingin menjaga Ayah. Dan, Ayah harus makan, agar bisa sehat kembali." Asheeqa memberikan segelas air kepada Fadlan, tetapi Fadlan justru menepisnya hingga pecah ke lantai.

"Saya, bukan anak kecil yang harus dijaga. Saya hanya membutuhkan keluarga yang sebenarnya, bukan anak tidak tahu diri seperti kamu. Dan, saya sangat yakin bahwa kamu telah ternodai, ketika pulang ke rumah larut malam, bersama seorang laki-laki." Fadlan telah kembali mengukir luka di hati Asheeqa. Secara tidak langsung, Fadlan telah merendahkan harga diri Asheeqa dan tidak menganggap Asheeqa sebagai bagian dari keluarganya. Keluarga yang dimaksud Fadlan pun hanyalah Firda dan Alia.

Asheeqa tersenyum miris dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya, beberapa kali mencoba mengatur napasnya agar dapat terlihat lebih tegar. Sedangkan, Fadlan? Pria itu hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan

"Ayah, boleh marah dengan Asheeqa. Bahkan saat ini, Asheeqa mengizinkan Ayah untuk membenci Asheeqa. Tetapi, satu hal yang harus Ayah ketahui, bahwa seburuk apa pun Asheeqa, anak tidak tahu diri ini masih memiliki harga diri." Asheeqa menangis terisak sembari menutupi wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya.

Asheeqa memejamkan matanya, berusaha menahan sesak di dadanya, meskipun Fadlan kerap memberikannya luka, tetapi rasanya tetap sama. Sakit sekali, itu yang Asheeqa rasakan.

"Terima kasih untuk hinaannya, Ayah." Asheeqa memberikan senyuman manisnya dan beranjak pergi meninggalkan Fadlan.

Entah mengapa, Fadlan juga meneteskan air matanya, seakan merasakan kesedihan Asheeqa. Batinnya berulang kali mengucapkan kata ‘maaf’, setelah berhasil menyakiti Asheeqa. Namun, logikanya menentang hal itu. Dia membenci Asheeqa. Dia sangat membenci anak kandungnya.

Fadlan memegangi dadanya yang terasa sakit, bahkan lebih sakit daripada sebelumnya. Dengan tangan yang gemetar, Fadlan berusaha menekan bel yang berada di dinding atas brankar dan terhubung langsung untuk meminta bantuan kepada dokter.

Dokter Arya berjalan tergesa-gesa untuk memasuki ruang rawat Fadlan, bersama dengan suster yang mengikutinya dari belakang.

Dokter Arya, melihat Fadlan yang sudah tidak sadarkan diri di lantai tanpa alas. Dokter Arya pun secepatnya memapah Fadlan dan membaringkannya di atas brankar.

"Suster, siapkan ruang IGD!" Dokter Arya sangat panik ketika melihat keadaan Fadlan yang sudah sangat parah.

Suster Ana secepatnya beranjak pergi meninggalkan Dokter Arya yang sedang memberikan pertolongan kepada pasien atas nama Fadlan.

Setelah selesai menyiapkan ruang Instalasi Gawat Darurat, Suster Ana segera kembali untuk menemui Dokter Arya dan membantunya mendorong brankar Fadlan menuju ruangan tersebut.

--oOo--

Asheeqa berjalan dengan kepala yang menunduk, agar tidak ada yang mengetahui bahwa dirinya sedang menangis. Asheeqa merogoh saku bajunya, tetapi tidak menemukan pisau kater miliknya. Asheeqa mulai panik. Semua semakin tidak terkendali, ketika amarahnya mulai mengendalikan dirinya.

Asheeqa berlari di koridor rumah sakit tanpa arah tujuan. Yang terpenting baginya saat ini adalah dia bisa menemukan benda tajam apa saja, untuk melampiaskan emosinya. Karena tidak kunjung menemukan benda yang dicarinya, Asheeqa memukul kepalanya dengan keras, lalu membenturkannya ke dinding. Hal itu cukup menyita perhatian orang di sekitarnya, ada yang mencari bantuan untuk menolong Asheeqa, ada pula yang secara terang-terangan menjadikan Asheeqa sebagai bahan gibah.

"Mas, tolong bantu perempuan di sana!" ujar seorang wanita separuh baya yang tidak tega melihat pelipis Asheeqa yang sudah mengeluarkan banyak darah.

"Astagfirullah, Asheeqa. Terima kasih, karena telah memberitahu saya." Laki-laki itu segera berlari untuk menghampiri Asheeqa untuk menghentikan aksinya.

"Asheeqa, hentikan! Asheeqa, cukup! Asheeqa!" Laki-laki itu membentak Asheeqa dan berhasil membuat Asheeqa menatapnya tidak percaya.

"Sakit, Kak," kata Asheeqa dengan lirih.


--oOo--
TBC
To Be Continue

Asheeqa's Dream [COMPLETE]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang