Chapter 11

561 61 4
                                    

Mungkin, seorang anak bisa membohongi beberapa orang, tetapi seorang anak tidak akan bisa membohongi ibu kandungnya.
________________________

Awan yang cerah, belum tentu tidak hujan. Seperti saat ini, gemercik air hujan seakan menghiasi suasana kota yang terik karena sinar matahari. Seorang laki-laki sedang menikmati indahnya pemandangan dari jendela kamarnya, dengan sesekali tersenyum tipis ketika bayangan seorang gadis itu hadir di dalam pikirannya.

"Kamu, sedang memikirkan apa, Nak? Senyum-senyum seperti itu." Wanita separuh baya berjalan menghampirinya.

"Tidak, Bunda," jawab Wafi yang hanya menoleh sekilas, lalu pandangannya kembali ke arah jendela. Perkataan Wafi memang terkesan formal, tetapi hal tersebut sudah diajarkan oleh Zaki sejak dirinya masih kecil. Bagaimanapun juga, mereka memiliki strata yang cukup tinggi. Mereka juga kerap bertemu sapa dengan orang-orang yang berasal dari kalangan atas.

"Kalau kamu tidak mau berkata, biarkan Bunda yang menebak. Wafi, sedang jatuh cinta, ya?" ucap Farha sambil tersenyum menggoda, sementara Wafi hanya tertawa melihat tingkah Farha yang selalu mengetahui apa yang sempat terlintas di pikirannya. Memang tidak jarang orang berkata bahwa, mungkin seorang anak bisa membohongi beberapa orang, tetapi seorang anak tidak akan bisa membohongi ibu kandungnya.

"Apa sih, Bunda. Tidak lucu. Padahal, Wafi belum cerita apa-apa." Wafi merasa malu, jika membicarakan suatu hal yang berkaitan dengan perasaan, kepada orang tuanya.

"Tidak apa-apa, Nak. Usia kamu sudah cukup dewasa, untuk memikirkan masa depan. Kamu sudah lulus sekolah dan sekarang sedang melanjutkan kuliah, lalu kamu akan menggantikan posisi papamu sebagai direktur di Perusahaan Wafi Motorcyle Company," ucap Farha tersenyum manis.

"Iya, Wafi sedang memikirkan seseorang. Entah kenapa, Wafi sangat yakin bahwa dia adalah gadis yang baik dan tidak bergantung kepada orang tuanya, meskipun Wafi baru mengenalnya." Perkataan Wafi cukup membuat Farha penasaran.

"Kenapa, kamu bisa sangat yakin padanya?" tanya Farha.

"Dia cantik, tetapi Bunda sangat tahu, jika Wafi tidak pernah melihat seseorang hanya dari fisiknya saja. Dia cantik apa adanya dan dia tidak sombong." Wafi menjeda ucapannya.

"Dan … yang membuat Wafi sangat yakin, jika dia adalah gadis yang baik itu dari penuturan perkataannya, Bunda. Cukup banyak orang yang Wafi tolong, ketika gedung apartemen milik sahabat papa terbakar, tetapi mereka hanya mengucapkan terima kasih. Namun, gadis itu berbeda." Wafi tersenyum membayangkan pertemuannya dengan Asheeqa.

"Saat Wafi mau mengantarkannya pulang, dia menolak dengan alasan, tidak memiliki uang untuk membayar bahan bakar mobil milik Wafi dan dia pun bilang bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa untuk membalas kebaikan Wafi. Wafi kagum kepadanya, Bunda. Wafi melihat, rumahnya sangat besar dan tertutup pagar tinggi. Dari sana, Wafi berpikir bahwa kemungkinan gadis itu tidak mau merepotkan orang tuanya, jika harus membayar imbalan dari kebaikan yang Wafi berikan kepadanya." Wafi menceritakan sosok Asheeqa, sementara Farha hanya bisa menjadi pendengar yang baik.

"Bunda jadi penasaran dengan gadis yang diceritakan oleh kamu. Sekiranya, seperti apa sosoknya ya?" Farha tersenyum memikirkan, gadis seperti apa yang telah mencuri hati anaknya.

"Terakhir Wafi bertemu dengannya, dia seperti menjauh dari Wafi. Wafi penasaran dengan wajahnya yang memerah mengelupas, tetapi Wafi mengerti bahwa setiap orang memiliki privasi masing-masing. Bunda, dia bilang kepada Wafi untuk menjaga jarak dengannya dan berpura-pura tidak saling mengenal. Jujur, Wafi kecewa," ucap Wafi.

"Di mana, alamat rumah gadis itu? Mungkin saja, orang tuanya mengenal keluarga kita." Farha tidak pernah membandingkan derajat keluarganya dengan orang lain. Bagi Farha, selama orang itu baik, maka dia pun akan membalasnya dengan sikap yang baik.

"Perumahan Arya Duta, Nomor 9. Rumah itu sepertinya milik keluarga mereka sendiri, Bunda." Wafi masih mengingat alamat rumah Asheeqa, saat mengantarkannya pulang.

Tidak ada yang menduga bahwa Zaki mendengar pembicaraan mereka, sejak awal. Wafi tidak heran dengan sikap ayahnya yang memiliki tingkat penasaran melebihi batas.

"Sepertinya, Papa mengetahui rumah itu." Zaki menghampiri istri dan anaknya.

Terdengar aneh, ketika mendengar panggilan Wafi untuk kedua orang tuanya, tetapi memang itu kesepakatan Zaki dan Farha sejak awal. Farha yang tidak mau mengalah untuk dipanggil bunda dan Zaki yang bersikukuh untuk dipanggil papa.

"Papa, menguping ya?" tanya Farha bersedekap.

"Iya, Bun. Papa, hanya ingin mengetahui arah pembicaraan kalian," jawab Zaki tersenyum tidak jelas.

"Wafi, sudah yakin dengan gadis itu? Papa mengingatnya, jika alamat yang kamu sebutkan itu adalah rumah milik Fadlan dan dia hanya memiliki satu anak perempuan." Zaki kembali melanjutkan perkataannya.

"Wafi, izin ke kamar ya. Bunda dan Papa, tolong mengerti kalau Wafi masih banyak tugas kuliah," ucap Wafi yang beranjak menuju ruang belajarnya, tanpa menunggu persetujuan kedua orang tuanya.

Farha dan Zaki hanya bisa menatap Wafi yang berlalu pergi, sebelum akhirnya mereka berdua saling tatap dan tersenyum. Tidak! Lebih tepatnya, hanya Farha yang tersenyum.

"Pa, bagaimana kalau kita menjodohkan Wafi dengan gadis itu?" ucap Farha meminta persetujuan suaminya.

"Kalau Bunda setuju, Papa bisa apa?" Jawaban Zaki membuat Farha tersenyum bahagia.

"Keluarga mereka memiliki perusahaan, Pa?" tanya Farha.

"Iya, Bun." Zaki terlalu malas untuk membahas masalah lain, selain pekerjaannya yang banyak dan harus diselesaikan secepatnya.

"Apa nama perusahaannya, Pa?" Farha benar-benar penasaran.

"Ford Motor Corporation," jawab Zaki dengan singkat.

"Papa, secepatnya menemui mereka untuk merencanakan perjodohan ini. Bunda sudah tidak sabar untuk memiliki cucu," ucap Farha membuat Zaki melebarkan kelopak matanya.

"Bunda, permintaannya jangan aneh-aneh! Papa, izin ke ruang kerja, ya." Zaki berbalik dan akan berjalan meninggalkan Farha.

"Papa, tidak mau menuruti permintaan Bunda, ya? Bunda marah saja kalau seperti itu. Malam ini, Papa tidur di ruang tamu!" ujar Farha bersedekap, sementara Zaki hanya mengembuskan napas lelah dan kembali menghampiri Farha.

"Bunda, mau apa?" ucap Zaki dengan nada lembut. Berharap, Farha berubah pikiran untuk tidak memiliki rencana apa pun yang berkaitan dengan rivalnya.

"Papa, pergi ke kantor ayahnya gadis itu dan bicarakan tentang rencana perjodohan ini!" Farha berlalu pergi meninggalkan Zaki yang masih tidak percaya dengan permintaan istrinya.

"Schlecht tag," gumam Zaki menggunakan Bahasa Jerman yang artinya, hari yang buruk. Pria itu mengusap wajahnya frustasi.

--oOo--
TBC
To Be Continue

Asheeqa's Dream [COMPLETE]✔Where stories live. Discover now