Chapter 05

676 71 11
                                    

Makan, minum, berpakaian, dan bersedekahlah dengan tidak berlebih-lebihan (boros) dan janganlah bermegah-megahan.
-HR. Abu Daud dan Ahmad-
__________________________

Langkah demi langkah, Asheeqa berlari tanpa arah tujuan yang jelas. Air hujan seakan ikut merasakan kesedihan gadis itu. Asheeqa tidak tahu ke mana ia akan mengadukan segala keluh kesahnya. Gadis itu tidak mau jika Alia melihat sisi rapuh dirinya. Alia masih tetap menyayanginya saja, itu sudah cukup bagi Asheeqa.

Pakaian yang lusuh, kotor dan sebagian terkena percikan genangan air, membuat Asheeqa berpikir bahwa dirinya tidak pantas untuk berada di lingkungan masjid. Asheeqa berjalan pelan, karena beberapa kali mendengar desas-desus orang sekitar yang sedang membicarakannya.

"Siapa itu? Pakaiannya, lusuh sekali."

"Mungkin dia pengamen jalanan yang menyasar ke masjid."

"Apa, dia sudah kehilangan akal? Sudah tahu, pakaiannya lusuh. Masih saja datang ke lingkungan masjid."

"Menurut gue sih, dia gelandangan."

Sekiranya seperti itu bisik-bisik orang yang sedang berteduh di depan masjid. Memang sebelum hujan turun, ada seorang ustadzah yang menggelar pengajian singkat. Beberapa dari mereka pun termasuk jemaah pengajian tersebut.

Seorang wanita separuh baya keluar dari pintu Masjid Al-Ikhlas. Sebenarnya dia terlalu malas untuk bergabung bersama ibu-ibu yang memiliki hobi membicarakan keburukan orang lain, tetapi rasa penasarannya tidak mampu ia kendalikan.

Asheeqa masih bergeming di tempatnya, orang-orang sekitar masih asik gibah tentangnya. Asheeqa menutup telinga seakan semua perkataan orang adalah musuh yang harus ia hindari.

"Nak, kamu sedang apa di sana?" ujar Nurul melambaikan tangan, agar Asheeqa dapat mendengar perkataannya di saat hujan deras seperti itu.

Nurul mengambil payung yang memang sempat ia bawa sebelum pergi ke masjid. Wanita itu melangkahkan kaki untuk menghampiri Asheeqa.

Nurul menatap lekat wajah Asheeqa, sepertinya wajah tersebut sangat tidak asing baginya. Ada sesuatu yang membuat Nurul berpikir bahwa kemungkinan besar, Asheeqa adalah putri satu-satunya kakaknya. Namun, Nurul sendiri yang mendapat kabar bahwa keponakannya itu telah meninggal dunia.

"Syaza? Kamu Syaza, ya? Anaknya, Murni?" tanya Nurul dengan telapak tangan kanan yang memegang pipi Asheeqa, sementara tangan kirinya memegang payung. Asheeqa hanya bisa meneteskan air matanya. Asheeqa sangat ingat dengan wanita di hadapannya, dia adalah adik dari ibunya.

"Ummi," ucap Asheeqa dengan lirih. Nurul mengerjapkan matanya tidak percaya. Delapan tahun silam, tepatnya saat Asheeqa menginjak usia 9 tahun, Nurul kehilangan keponakannya. Asheeqa diculik oleh anak buah Fadlan, di saat dirinya lengah. Fadlan pun sempat mengabarinya melalui telepon, bahwa dirinya tidak perlu mencari keberadaan Asheeqa atau pun menunggu kepulangan gadis itu, karena Asheeqa telah mengembuskan napas terakhirnya.

"Kamu baik-baik saja, Nak? Masyaallah, alhamdulillah." Nurul mendekap tubuh Asheeqa dengan sangat erat. Nurul menyayangi Asheeqa, layaknya seorang ibu kepada anaknya. Nurul pun mengetahui bahwa Fadlan kerap bersikap kasar kepada Asheeqa. Gadis malang itu sempat dipukuli oleh Fadlan menggunakan sebilah bambu di depan matanya, hanya karena Asheeqa tidak sengaja menjatuhkan ponsel Fadlan ke dalam septic tank yang letaknya tidak jauh dari pelataran rumahnya yang dahulu.

"Kita ke sana, yuk! Ummi, mau bicara." Nurul menggenggam pergelangan tangan Asheeqa dan menariknya pelan untuk duduk bersamanya di lantai masjid yang cukup dingin.

Asheeqa menggeleng takut. Nurul pun seakan mengetahui bahwa Asheeqa takut menjadi bahan gibah ibu-ibu tersebut.

"Jangan khawatir, Ummi ada di samping kamu," ucap Nurul yang mencoba meyakinkan Asheeqa.

Akhirnya mereka berdua melangkah menuju masjid. Sengaja memilih untuk duduk di luar, karena Asheeqa merasa kurang pantas jika berada di dalam masjid.

"Lima tahun lalu, ayah kamu mengabari Ummi dan berkata bahwa kamu telah meninggal dunia. Kamu, tahu? Ummi tidak percaya hal itu. Ummi sangat yakin bahwa Fadlan berbohong. Lelaki licik itu sengaja membohongi Ummi, agar dia dapat memisahkan kita," ungkap Nurul yang tersenyum sedih. Entah sejak kapan, air matanya mengalir di pipi wanita itu.

Asheeqa mengusap lembut air mata Nurul. "Sekarang, Asheeqa ada di sini bersama Ummi."

Senyuman Asheeqa membuat Nurul menatapnya penuh haru. Asheeqa yang kuat, Asheeqa yang selalu memberikan senyum terbaiknya, meskipun dia mengetahui dengan sangat jelas bahwa ekspresi wajah Asheeqa berbanding terbalik dengan isi hatinya yang menyimpan banyak luka.

"Jangan pernah meninggalkan Ummi, lagi! Ummi, sangat menyayangi kamu." Nurul kembali membawa Asheeqa ke pelukannya. Tubuh Asheeqa yang cukup kurus, membuat Nurul merasa bersalah karena telah gagal menjaga keponakannya. Sudah bisa dipastikan, selama Asheeqa tinggal bersama Fadlan, kemungkinan besar Fadlan tidak merawat dan tidak menjaga pola makan Asheeqa dengan baik.

Gemercik air hujan seakan mendukung suasana hati Asheeqa dan Nurul yang sedang melepas rindu. Hujan telah reda, sejak 7 menit yang lalu. Nurul menarik pelan pergelangan tangan Asheeqa untuk berdiri dari duduknya.

"Syaza, pasti belum makan. Mau ikut Ummi ke rumah atau mau menunggu di sini? Ummi akan membuatkan makanan untuk kamu. Rumah Ummi tidak jauh dari sini, kok," kata Nurul.

"Asheeqa, mau ikut Ummi saja." Asheeqa menarik pelan pergelangan tangan Nurul dengan antusias. Jika ada yang bertanya, mengapa ia sangat antusias? Maka jawabannya, tidak lain dan tidak bukan adalah ia sangat lapar.

--oOo--

Rumah kecil milik Nurul atau bisa disebut sebagai gubuk, tetapi cukup nyaman untuk berlindung dari panasnya matahari serta derasnya air hujan. Nurul memang hanyalah seorang wanita sederhana yang memiliki gelar ‘ustadzah’. Baginya tidak perlu harta yang berlimpah, yang terpenting adalah dia hidup bahagia dan dia merasa nyaman dengan kebahagiaannya.

"Mari masuk, Nak!" pinta Nurul.

"Iya, Ummi." Asheeqa memperhatikan setiap sisi ruangan, termasuk atap yang berlubang.

Jika dibandingkan dengan rumah Fadlan, sangat jauh berbeda dengan keadaan rumah Nurul, tetapi Asheeqa merasakan ketenangan yang luar biasa di sini. Tidak ada yang berteriak memanggil namanya, tidak ada cambuk atau cemeti yang menghiasi dinding dan tidak ada suara Alia yang ceria. Ah, Asheeqa melupakan Alia, kakaknya pasti sedang mengkhawatirkannya. Tunggu, sebentar saja, Asheeqa mau merasakan ketenangan.

Setelah menunggu beberapa menit. Nurul sudah siap menyajikan makanan sederhana di atas meja makan. Nasi putih, tempe dan tahu goreng, sambal terasi, tumis kangkung, serta ikan asin.

"Makan yang banyak, Nak! Walaupun makanannya sederhana, tetapi justru ini yang sehat menurut Ummi." Nurul terkekeh kecil. Sementara Asheeqa membalasnya dengan senyuman tipis.

Asheeqa sangat rindu dengan masakan Nurul. Alhasil, Asheeqa dengan lahap menghabiskan hidangan yang berada di piringnya tanpa sisa, dan hal itu cukup membuat Nurul bahagia.

"Sudah selesai makan? Ini, minumnya!" kata Nurul sambil memberikan segelas air mineral kepada Asheeqa.

"Terima kasih, Ummi," sahut Asheeqa menerima segelas air yang diberikan oleh Nurul.

"Kepribadian Ummi sangat sederhana, tetapi Asheeqa suka, karena Ummi baik." Asheeqa tersenyum dan dibalas senyuman hangat oleh Nurul.

"Ummi, tidak sebaik apa yang terlintas di pikiran kamu. Ummi hanya menjalankan tugas Ummi dengan sewajarnya saja. Kamu ingat hadis ini? Makan, minum, berpakaian, dan bersedekahlah dengan tidak berlebih-lebihan (boros) dan janganlah bermegah-megahan. Hadis riwayat Abu Daud dan Ahmad." Sejatinya Nurul hanyalah manusia biasa, meskipun dia memiliki gelar ‘ustadzah’ yang tidak sembarang orang mampu mendapatkan gelar tersebut.


--oOo--
TBC
To Be Continue

Asheeqa's Dream [COMPLETE]✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ