"Kak, apa selama Yeri bersamamu tidak ada hal yang mencurigakan? Maksudku, tidak terlihat ada yang mengikutinya?" tanya Joy pada Jisoo.

Jisoo sendiri masih shock dengan apa yang baru saja ia ketahui, bodohnya ia yang tak tau jika selama ini Yeri dalam bahaya.

"Aku bisa menjamin jika selama ini Yeri baik-baik saja. Pergi kemana pun dia selalu di antar. Kami juga tidak pernah melihat orang asing yang mengawasinya."

Joy bisa sedikit bernafas lega. Jika Yeri baik-baik saja bersama keluarga Hwang, kemungkinan ancaman itu datang karna keluarganya sendiri.

Joy dan keluarganya sebenarnya juga sudah membicarakan masalah ini. Bahkan ia sampai menanyai kedua orang tuanya yang mungkin memiliki musuh. Karna bisa saja si peneror memiliki masalah dengan kedua orang tuanya.

"Aku minta padamu juga yang lain, pastikan Yeri tidak jauh dari kalian. Aku juga akan mencari tau siapa yang mengirim teror itu." ucap Joy. Wajahnya terlihat serius, ia tak akan tinggal diam jika itu menyangkut keselamatan orang-orang yang ia sayangi.

"Joy."
Tangan Jisoo terulur menggenggam tangan Joy.

"Kau tidak bisa melakukannya sendiri, itu terlalu berbahaya. Bagaimana jika mereka bukan orang sembarangan."

Joy menatap tangan Jisoo yang masih menggenggam erat tangannya. Tampak kekhawatiran di wajah gadis yang lebih tua darinya itu.

"Akan lebih berbahaya jika mereka bertindak lebih jauh dari ini."

Joy membalas genggaman tangan Jisoo.

"Keselamatan Yeri jauh lebih penting."

......

Yeri berjalan menyusuri koridor sekolah. Sesekali ia menatap sekeliling, berharap menemukan sosok yang sejak tadi ia cari. Hingga pandangannya menangkap seorang gadis yang berjalan di ujung koridor, Yeri yang melihat itu pun segera berlari untuk menghampiri sahabatnya.

"Yewon."

Gadis yang sejak tadi menunduk sedikit tersentak saat seseorang menepuk bahunya.

Saat jam istirahat, Yewon di panggil oleh wali kelas mereka. Karna tak kunjung kembali, Yeri memutuskan untuk memyusul Yewon.

"Sudah selesai kan, mari pergi ke kantin." ucap Yeri seraya menarik pergelangan tangan Yewon.

"Awss..."

Yeri terkejut mendengar rintihan sahabatnya, tatapannya langsung beralih pada pergelangan tangan Yewon. Apa ia menariknya terlalu keras?

"Yewon, ada apa?"

Bukannya menjawab, gadis itu malah menarik tangannya dari Yeri. Yeri yang melihat itu pun tidak tinggal diam, ia kembali manarik tangan sahabatnya. Dan hal itu tentu saja membuat Yewon kembali merintih.

"Astaga! apa yang terjadi dengan tanganmu?"
Yeri terkejut mendapati luka memar di pergelangan tangan kanan sahabatnya.

"Sakit Yeri! Jangan menyentuhnya terlalu keras." kesal Yewon. Inilah yang ia takutkan jika Yeri tau keadaannya.

"Maaf-maaf, dari mana kau dapatkan luka ini? Apa kau sudah mengobatinya?"

Gelengan kepala dari Yewon membuat Yeri menghela nafas. Tanpa menunggu lama, ia langsung menarik tangan kiri Yewon menuju ruang kesehatan.

Yeri mendudukkan Yewon di bangsal. Ia meminta beberapa obat pada petugas kesehatan. Biar dirinya saja yang mengobati Yewon.

"Sejak pagi kau terlihat berbeda, kau menghindariku karna ini?" ucap Yeri seraya menuangkan antiseptik pada kapas untuk kemudian ia usapkan pada pergelangan tangan Yewon.

Yewon tersentak saat lukanya disentuh.

"Apa dia melakukannya lagi?"

Tidak ada jawaban, dan itu berhasil membuat Yeri geram. Tanpa sadar Yeri sedikit menekan luka Yewon dan berhasil membuat sang empunya merintih keras.

"Awsss... kau ini! Bisakah sedikit pelan, ini sakit bodoh." Yewon mendengus kesal. Gadis di hadapannya itu begitu menyebalkan untuknya.

"Apa kau akan tetap diam? Ini sudah keterlaluan Kim Yewon!"

Dan kembali Yeri tak mendapat jawaban. Dugaannya tidak salah, ia tau siapa pelaku yang sudah melukai sahabatnya itu.

"Aku... tak punya kuasa untuk melawan. Lagi pula, dia keluarga satu-satunya yang ku punya."

Yeri menatap sendu ke arah sahabatnya. Seketika ia teringat masa lalunya dulu, saat dirinya begitu di abaikan oleh keluarganya sendiri. Tapi kasus Yewon di sini berbeda, gadis itu sering kali mendapat perlakuan kasar dari keluarganya. Tak jarang Yeri akan menemukan beberapa luka di beberapa bagian tubuh sahabatnya. Ia sendiri tidak bisa membayangkan jika berada di posisi Yewon.

Sebenarnya Yeri sudah menyarankan pada sahabatanya untuk melaporkan tindakan itu pada pihak berwajib. Dengan begitu kekerasan yang selalu Yewon terima akan berhenti. Namun Yewon selalu menolak. Dengan alasan, bagaimanapun mereka tetap keluarganya.

"Kau begitu menyayanginya?"
Yeri selesai dengan kegiatannya.

"Jika tak ada mereka, mungkin aku tidak ada di sini."

Hati Yeri sedikit terenyuh mendengar jawaban dari sahabatnya. Yewon begitu mudah memaafkan mereka setelah apa yang mereka perbuat. Terbuat dari apa hati gadis di hadapannya itu. Sejenak Yeri membandingkan dirinya dengan Yewon. Ia bahkan menyimpan kebencian pada keluarganya sendiri karna dulu begitu di campakkan oleh mereka.

"Terserah kau saja. Dasar keras kepala." kesal Yeri.

"Hey! Kau juga keras kepala Kim Yerim."

Sejenak keheningan menyelimuti mereka. Yeri terlihat membereskan peralatan yang ia gunakan untuk mengobati Yewon.

"Yeri, apa yang membuatmu membenci keluarga kandungmu sendiri?"

......

Irene keluar dari ruangannya setelah berganti pakaian. Hari ini ia meminta izin untuk pulang lebih awal. Pekerjaannya tidak fokus karna terus memikirkan masalah teror yang menimpa keluarganya. Sesekali wanita itu memijit pelipisnya yang sedikit berdenyut. Ia berharap keluarganya baik-baik saja.

Brukk

"Ma-maaf Nyonya, aku tidak sengaja." ucap seorang gadis yang baru saja menabrak Irene. Wanita itu sampai menjatuhkan ponselnya karna terkejut dengan seseorang yang tiba-tiba menabraknya.

Terdengar hela nafas dari gadis itu. Ia terlihat menyerahkan ponsel Irene yang sudah retak dengan wajah bersalah.

"Maaf aku menjatuhkan ponselmu, aku akan..."

"Seulgi?"

Gadis itu mendongak, tampak keterkejutan di wajahnya. Wanita di hadapannya itu juga sama terkejutnya.

"M..mommy."
Dan keterkejutan itu kini berubah menjadi rasa takut.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Irene. Ia tentu bingung dengan keberadaan Seulgi di rumah sakit.

"A..aku..."

Seulgi berusaha mencari alasan, ia tidak ingin Ibunya curiga atau bahkan sampai tau apa yang ia lakukan di rumah sakit.

"Itu Mom, aku sedang menjenguk teman kampusku." ucap Seulgi berusaha sebiasa mungkin. Dapat ia lihat tatapan menyelidik dari Ibunya. Irene bukan orang yang mudah di kelabuhi.

"Benarkah? Lalu di ruang mana temanmu dirawat?"

"Emm di lantai empat. Aku baru saja dari sana."

Irene terlihat mengangguk. Ia pun merangkul putri sulungnya untuk ia ajak pulang.

"Lain kali perhatikan jalanmu. Untung Mommy yang kau tabrak, jika orang lain kau pasti sudah di marahi."

Seulgi hanya mangangguk seraya tersenyum. Syukurlah Mommynya itu tidak curiga padanya.

.

.

.

.

.

.







PROMISE 2Where stories live. Discover now