Part 1: How They Meet

Start from the beginning
                                    

Ayashi keluar dari toilet lalu menuju kelas 2-B di lantai dua bangunan megah FHS. Ketika Ayashi tiba, para siswa yang berada di kelas tersebut menatapnya lalu satu per satu menutup hidung diikuti tawa menghina.

"Uh... Bau!"

"Pergi sana! Dasar sampah!"

"Kau bau! Pergi! Hush!"

Ayashi diam. Menundukkan kepala sembari mengepalkan tangan, dia berjalan ke bangku paling sudut. Ayashi berusaha menghiraukan suara-suara menyebalkan itu. Rasanya ingin sekali dia berteriak dan melawan, namun itu tak mungkin dilakukannya. Bila itu terjadi, beasiswa pun pergi.

Ayashi biasanya melepaskan kekesalan dengan menangis di atap sekolah yang sepi. Dia mengakui, dia lemah, tak bisa melawan. Apa daya jika anak miskin sepertinya melawan para anak orang kaya dan pejabat itu? Bisa-bisa Ayashi dikeluarkan dari sekolah dan akan membuat kedua kakaknya repot. Tentu saja Ayashi tak mau itu terjadi.

Ayashi hanya bisa diam atau menangis saat dirinya ditindas oleh kakak kelas maupun yang satu angkatan dengannya. Bahkan jika mau, adik kelas juga ikut berpartisipasi.

Waktu terus berlalu hingga pukul 13.00. Para siswa bersorak senang, segera menyerbu pintu dan melewatinya lalu pulang ke rumah masing-masing -- setidaknya begitu jika mereka bukan remaja liar. Ayashi memasukkan semua buku yang tadi digunakan ke dalam tas lalu beranjak dari kursi menuju pintu kelas. Ketika tiba di dasar tangga, sebuah tangan menariknya dan seseorang menyeretnya ke koridor sepi. Saat itulah Ayashi melihat Austin, sang preman sekolah, bersama empat orang anak buahnya.

Ayashi menguk ludah, "A--Ada perlu apa denganku?"

Austin tersenyum sinis dengan tangan di pinggang, "Kami mau bersenang-senang."

Ayashi terbelalak melihat salah seorang di antara mereka mengeluarkan tongkat baseball. Tanpa berkata apa-apa, pemuda berwajah manis itu mengambil langkah seribu. Austin dan keempat anak buahnya tersentak kaget sebelum mengejar Ayashi. Dia berlari melewati gerbang lalu melompat naik ke dalam bus yang untungnya sedang berhenti di tempat pemberhentian. Dia menoleh keluar jendela dimana Austin mengumpat ketika bus berjalan. Ayashi menghela napas lega lalu duduk di tempat yang kosong.

Bus behenti pada pemberhentian berikutnya. Ayashi turun lalu melangkah menuju sebuah toko buku bertuliskan 'Read And Write' yang berada tak jauh dari sebuah gedung besar dan tinggi. Ayashi mengganti seragam sekolah dengan seragam di toko itu setelah menyapa beberapa orang yang bertugas di toko tersebut. Setelah berganti pakaian, Ayashi bergegas ke meja kasir untuk bekerja, mengucapkan "Selamat datang," dan "Datang kembali," juga menjadi prioritas utamanya saat pembeli keluar-masuk.

Sebuah buku besar tiba-tiba menghantam meja membuat Ayashi tersentak kaget lalu segera saja mendongkak untuk melihat siapa orang kasar itu.

Ayashi meneguk ludah ketika menatapnya. Tubuhnya tinggi, sekitar 190 cm -- berbeda jauh dengan Ayashi yang hanya sekitar 150 cm --, bermata biru laut yang indah, rambut hitam kecokelatan, hidungnya mancung, bibir merah muda tipis yang sexy, serta wajah putih mulus tanpa noda maupun rambut di sekitar mulutnya. Sekilas Ayashi sempat terpana, apalagi dengan tampilannya yang mengenakan jas rapi seperti pemimpin perusahaan ataupun pejabat. Namun Ayashi segera memalingkan pandangannya lalu mengambil buku itu untuk diperiksa, berapa harganya, karena tidak sanggup ditatap orang itu. Walaupun wajahnya tampan luar biasa, pandangan matanya sangat dingin dan juga tajam sehingga bisa membuat Ayashi gugup.

"H--Harganya dua ratus dua puluh," ujar Ayashi menyerahkan buku itu setelah dimasukkan ke dalam tas belanjaan dari toko, "Tuan."

Pria itu memicingkan mata untuk melihat name tag yang terkait di sebelah kiri baju Ayashi kemudian berdecih, "Aku memang tidak suka anak baru yang bekerja sambilan di toko ini."

Everlasting LoveWhere stories live. Discover now