"Iya. Yaudah kalau gitu Kakak berangkat, ya,"

"Iya,"

Erlangga mencium kening Dita dengan lembut, lalu melangkah keluar dari kamar Dita menuju rumah sakit.

***
"Gimana? Erla udah berangkat, belum?" tanya Angga yang berada di samping brankar Annisa

"Udah, bentar lagi dia sampe,"

"Oh,"

Pintu ruangan terbuka, menampilkan Erlangga yang memasuki ruangan itu dan langsung mendekati brankar Annisa.

"Mama lo belum sadar?" tanya Erlangga pada Angga.

"Belum, Mama gue kritis. Kata dokter, harapan dia hidup itu tipis,"

"Kenapa?"

"Sayatan yang ada di telapak tangannya itu ternyata kena urat nadi,"

Erlangga terkejut sambil memegang dadanya. "Astaghfirullah. Emang siapa sih pelakunya?"

"Gue juga gak tau,"

"Emangnya orang itu gak ninggalin jejek gitu?"

"Gue masih belum periksa. Soalnya gue panik banget pas liat Mama gue sudah di lantai, makanya langsung gue bawa ke sini,"

Erlangga mengangguk mengerti. "Yaudah kalau gitu. Pas antar Anggi, nanti gue coba periksa,"

"Makasih, ya, Er,"

"Iya, sama-sama. Yaudah gue pamit dulu,"

"Iya, hati-hati,"

"Anggi berangkat, ya, Bang," pamit Anggi dan di angguki oleh Angga, lalu keduanya berjalan keluar dari ruangan Annisa.

Saat berada di parkiran, tangan Erlangga langsung bergerak memasangkan helm di kepala Anggi. Anggi tersenyum tipis, membuat Erlangga yang melihatnya pun ikut tersenyum.

"Kenapa senyum?" tanya Erlangga pura-pura tidak tau.

"Siapa yang senyum," elak Anggi berusaha menetralkan jantungnya dan menutupi kebahagiaannya.

Erlangga terus saja menatap Anggi, sampai akhirnya Anggi merasa malu. "Ih, kamu mah gitu. Buruan berangkat ah," omel Anggi karena tersipu dan Erlangga hanya tersenyum tapi tidak menjawabnya. Tak ingin Anggi semakin malu atas perbuatannya, lantas ia pun langsung membalikkan badan dan menaiki motornya.

"Udah?" tanya Erlangga saat merasakan Anggi sudah duduk di motornya

"Udah,"

"Kalau udah, turun,"

"Hah?"

Erlangga terkekeh. "Enggak kok, bercanda. Yaudah, pegangan. Nanti jatuh,"

"Iya,"

Tangan Anggi melingkar sempurna di pinggang Erlangga, lalu Erlangga menjalankan motornya menuju rumah Anggi.

Banyak kisah yang tercurahkan selama perjalanan, bahkan Erlangga tak segan untuk menceritakan segala perjalanan hidupnya sampai dititik ia dipertemukan dengan Dita. Sesekali Anggi terkekeh bahkan tertawa saat Erlangga mulai menceritakan kisah lucu yang terjadi semasa kecilnya, apalagi saat Erlangga mengatakan bahwa pembantunya hampir keluar dari pekerjaannya karena lelah menghadapi masa aktif-aktifnya Erlangga sewaktu kecil.

Saat tiba di rumah Anggi, Erlangga memparkirkan motornya di halaman rumah dan kemudian Anggi berjalan terlebih dahulu memasuki rumahnya dan meninggalkan Erlangga begitu saja di halaman rumah.

"Permisi, Mas," panggil seorang wanita saat Erlangga baru saja ingin menyusul Anggi

"Iya, Bu?"

"Masnya ini, pacarnya Mba Anggi?" tanya wanita itu sopan

"Oh, betul, Bu," jawab Erlangga dengan sedikit menunduk untuk menghormati wanita yang ada di hadapannya.

"Begini, Mas. Saya mau memberikan ini, siapa tau nanti Mas Angga dan Mba Anggi butuh," ucap wanita tersebut dan memberikan kertas kecil yang bertuliskan nomor plat mobil.

"Ini 'kan nomor plat mobil, Bu,"

"Betul, Mas. Itu nomor plat mobil yang kemarin pagi berkunjung ke rumah ini. Soalnya, saya curiga sama wanita yang keluar dari rumah ini dengan raut wajah yang sangat ketakutan, makanya saya berinisiatif untuk mencatat nomor plat mobil ini,"

"Memangnya Ibu tau tentang kejadian kemarin?"

"Saya gak tau, Mas. Saya cuma tau waktu Mas Angga gendong Bu Annisa masuk ke mobil, baju yang di pakai Bu Annisa itu banyak darah,"

"Yasudah kalau begitu, Bu. Terima kasih sebelumnya,"

"Iya, sama-sama. Kalau gitu saya permisi dulu," pamit wanita itu dan Erlangga mengangguk.

Erlangga memasuki rumah Anggi dan langsung mencari jejak si manusia yang mencoba membunuh calon mertuanya. Kemudian, sorot mata Erlangga tertuju pada secarik kertas yang berada di samping sofa, lantas ia pun mengambil kertas tersebut dan membacanya.

Gimana rasanya kehilangan orang yang lo sayang, ha? Sedih? Hahaha

Gue bakalan seneng banget kalau akhirnya Mama lo 'MATI'. Gue sengaja bunuh Mama lo duluan, karena itu hal yang paling pertama bikin lo menderita dan menyesal.
Setelah ini, gue bisa bikin keluarga lo tenang lagi. Tapi syaratnya lo harus kasih Dita buat gue. Kalau lo gak mau, gak papa, gue gak masalah. Cuma, Anggi akan gue jadiin korban selanjutnya. Paham lo!

Wajah Erlangga seketika merah padam, rahangnya mengeras serta tangannya pun sudah mengepal sempurna. Ingin sekali ia menghabisi manusia itu sekarang juga. Ia tidak mengerti dengan kemauan si pecundang itu. Mengapa ia ingin mengambil Dita? Kenapa harus Dita?

"Bangsat!" geram Erlangga.

"Sayang?" tegur Anggi yang ternyata sudah berada di samping Erlangga. "Kenapa?" tanya Anggi saat melihat raut wajah Erlangga.

Erlangga menyodorkan kertas tersebut kepada Anggi dan Anggi membaca tulisan itu dengan seksama. Setelah selesai membaca tulisan tersebut, ia menatap Erlangga.

"Kamu dapat dimana?"

"Di samping sofa,"

"Yaudah, kita ke rumah sakit sekarang," intruksi Anggi. Namun saat Anggi melangkah, Erlangga malah mencekal tangannya.

"Tunggu!" cegah Erlangga.

"Kamu tau nomor plat mobil ini?" tanya Erlangga dengan memberikan kertas kecil yang diberikan oleh wanita yang tadi menemuinya di halaman rumah Anggi

Sebelah alis Anggi terangkat saat melihat nomor plat mobil yang tertulis di kertas itu nampak tak asing baginya.

Ini kan nomor plat mobil nya ...

Bukannya menjawab, Anggi malah menarik tangan Erlangga untuk keluar dari rumah.

Menurut kalian, siapa yang ngelakuin  percobaan pembunuhan itu?
Spam komentar di cerita ini yaa..
Jangan lupa vote juga hehee

See you next part👋

Kamu, Sekejap Mata ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang