52

140 9 1
                                    

Angga benar-benar menghajar Mona sampai kini Mona sudah tidak berdaya. Bagaimana tidak? Angga berhasil menghajar Mona dengan membabi buta, benar-benar seperti tidak memandang itu pria atau wanita.

Setelah diliatnya Mona sudah tidak mampu untuk kembali bangkit, ia pun duduk di sebelah Mona dengan napas terengah-engah sambil menahan sakit di bagian perutnya. Wajah Angga kini semakin memucat, rasa sakit semakin terasa karena kondisinya kini belum sembuh secara total.

Angga mencoba berdiri dari duduknya walau sempat oleng dan hampir terjatuh. Ia pun melangkahkan kakinya keluar dari rumah Mona. Di halaman rumah, ia melihat Dita sedang berjalan dan Angga lekas menghampirinya dengan menutup luka yang ada di perutnya menggunakan jaket yang ia kenakan.

"Angga," panggil Dita namun dengan raut wajah khawatir dan kemudian membantu Angga berjalan.

"Hai sayang," balas Angga dengan senyumnya yang menandakan seolah tidak terjadi apa-apa.

"Kamu gak papa? Kok kamu gak bilang sama aku kalau kamu kesini. Kamu emangnya udah sembuh? Muka kamu pucet gini. Kamu masih sakit?"

Angga menggeleng lemas, ia benar-benar tak kuasa menahan sakit di tubuhnya. "Aku gak papa, sayang."

"Beneran?"

Angga mengangguk, kemudian ia terjatuh dan membuat Dita seketika panik.

"Angga? Kamu kenapa?" tanya Dita khawatir sambil memegang pipi Angga.

Dita menaruh kepala Angga ke dalam pangkuannya dengan hati-hati, kemudian Angga berusaha melihat wajah Dita dengan sisa tenaganya. "Ta," rintih Angga

"Iya, Angga. Aku disini," ucap Dita yang kini sudah menangis.

"Maafin aku, ya, karena selama ini belum bisa bikin kamu bahagia."

Dita menggeleng kuat, kali ini perasaannya sudah mulai tak karuan. "Kamu gak boleh ngomong gitu. Aku bahagia sama kamu."

"Ta, inget kan waktu kamu jenguk aku kemarin. Aku bilang, aku akan jadi malaikat pelindung kamu. Jadi, ada atau gak adanya aku, aku tetap akan selalu jagain kamu."

"Angga, kamu gak boleh ngomong gitu. Aku mau kamu tetap disini sama aku. Kamu jangan pergi, ya. Aku gak mau kehilangan kamu, hiks hiks."

Angga memejam matanya singkat kemudian membukanya kembali. Angga mulai lemas, sampai akhirnya jaketnya terbuka dan menampilkan banyak darah yang keluar dari perutnya. Dita yang melihat itu langsung menangis, kemudian berusaha menahan darah itu agar tidak terus mengalir.

"Ta, aku sayang sama kamu. Dan, rasa itu akan selalu sama. Aku mau bilang, aku bahagia sama kamu, aku nyaman. Aku bener-bener sayang sama kamu itu tulus," ucap Angga yang sudah mulai terbata-bata.

Dita semakin menangis, tak kuasa mendengar ucapan Angga. "Aku juga sayang sama kamu. Aku mohon, bertahan demi aku, ya."

Angga mengangguk singkat, lalu akhirnya tak sadarkan diri. Dita berusaha mengguncang tubuh Angga, namun sudah tak mendapat respon dari sang empunya. Dita menangis, semakin menangis, ia tak ingin kehilangan Angga. Ia tak ingin malaikatnya pergi darinya. Ia tak ingin menghadapi dunianya sendirian. Ia butuh Angga, ia sangat membutuhkan Angga.

"ANGGA!!!"

***
Angga di dorong diatas brankar yang penuh dengan darah yang sejak tadi mengalir dari perut Angga, dibantu oleh oksigen yang terus di keluarkan dari tabung oleh Suster agar Angga dapat bertahan. Dita yang sejak tadi berada di samping Angga sambil memegang tangannya, hanya menangis dan berharap Angga dapat kembali bangun agar melihat wajahnya lagi untuk terakhir kalinya.

Sesampainya di depan ruang UGD, Dita tidak diperbolehkan masuk. Dita sedih sebab tak bisa melihat Angga dan menemaninya di dalam sana. Sampai pada akhirnya keluarga Dita dan Anggi tiba di sana lalu menghampiri Dita.

"Abang gue mana, Ta?" tanya Anggi tak sabar, kemudian Dita menoleh ke pintu UGD dan Anggi mengikutinya.

Anggi tak kuasa melihatnya, kemudian ia terduduk lemas di kursi yang berada di depan ruangan. Anggi menangis, dan dengan cepat Andini memeluknya. Cukup lama Dokter yang menangani Angga keluar dari ruangan, membuat semuanya tak sabar lagi menunggu penjelasannya.

Dita yang penasaran tak tinggal diam, ia melihat Angga melalui kaca yang terbuka sedikit akibat tirai tidak tertutup sepenuhnya. Ia melihat Dokter dan beberapa orang yang ada di sana menangani Angga dengan sangat serius, hingga akhirnya Dokter mengambil alat dan meletakkannya di dada Angga.

Beberapa kali badan Angga terangkat mengikuti alat itu, membuat Dita semakin tidak bisa menahan tangisnya. Ia tau, kalau alat itu di gunakan untuk membantu jantung Angga agar berdetak kembali. Itu artinya, Angga berada di puncak antara hidup dan mati.

Dokter yang menangani Angga akhirnya keluar dari ruangan, membuat pihak keluarga Dita langsung mendekat dan Anggi pun langsung mengajukan pertanyaan. "Bagaimana keadaan Kakak saya, Dok?" tanya Anggi dan Dokter yang menanganinya langsung menggelengkan kepala tanda tidak baik-baik saja.

"Mohon maaf, Angga tidak bisa diselamatkan,"

Satu kata yang membawa sejuta rasa kepedihan. Itu yang saat ini dirasakan oleh seluruh pihak yang berada di sana tak terkecuali Dita. Dita langsung berlari masuk ke dalam ruangan dan langsung mengguncang tubuh Angga dengan kuat dibarengi dengan deraian air mata yang terus mengalir.

"Angga bangun!"

"Angga, kamu denger aku kan?"

"Angga! Kamu bilang sama aku kalau kamu bakal setia sama aku!"

"Kamu bilang sama aku kalau kamu bakal selalu ada buat aku."

"Angga! Kamu bohong, kamu pembohong!"

Dita mencengkram bahu Angga dengan kuat sambil menangis tiada henti. "Angga bangun! Kamu bilang sama aku kalau aku itu ibarat sekejap mata buat kamu, karena aku selalu buat kamu bahagia setiap kamu membuka mata kamu. Tapi apa? Kamu malah ninggalin aku sendiri di sini! Dimana aku bisa dapetin kebahagiaan itu kalau gak ada kamu, Ngga! Dimana?!"

"Angga! Angga! Bangun demi aku sekali aja, setidaknya aku bisa liat mata indah kamu untuk terakhir kalinya!"

Dita menoleh kepada Erlangga yang tengah menangis di sampingnya. "Kak, apa yang harus Dita lakuin buat Angga kembali? Apa, Kak? Apa Dita kasih nyawa Dita ke Angga? Dita gak mau Angga pergi, Kak. Kakak tau itu, Dita sayang sama Angga."

Erlangga hanya diam dan terus menangis sambil memeluk Anggi. Ia tak tau apa yang harus ia katakan lagi pada Dita. Setelah tak mendapat respon apapun dari Erlangga, ia pun beralih menatap Angga dan memeluknya.

"Ma, Dita gak mau kehilangan Angga, Ma. Dita gak mau. Mama bilang dong sama Angga supaya dia gak ninggalin Dita. Angga udah gak mau dengerin Dita, Ma," adu Dita pada Andini yang berada di sebelahnya sambil mengelus punggungnya.

"Kamu yang kuat, ya, sayang. Ini sudah takdir dari Allah."

Dita menangis sejadi-jadinya di atas dada Angga, merasakan jantung itu kini benar-benar tak berdetak. Dita teringat saat-saat mereka berpelukan, jantung itu pasti selalu berdebar seakan ikut merayakan kebahagiaan. Namun kini, semua seakan berhenti bagi Dita. Tak ada lagi senyum manis Angga, tak ada lagi tangan yang selalu mengelus rambut halusnya, tak ada lagi mata indah nan meneduhkan terpancar, semua tak ada lagi. Sekarang, yang ada hanyalah kenangan manis yang sempat mereka lukis bersama dan itu akan tersimpan rapi di benak keduanya.

Terimakasih untuk liburan indah yang menyenangkan. Terimakasih telah membersamaiku hingga akhir hidupku. Terimakasih, Anandita Juan. Kau adalah wanita terindah yang hadir dalam hidupku dan menyayangiku dengan tulus. Kasih tulusmu dapat aku rasakan di sepanjang jalanku saat bersamamu, benar-benar membuatku nyaman. Seandainya waktu bisa diulang, maka aku tidak akan memilih Mona atau Clara yang menjadi tambatan hatiku, karena aku pasti memilihmu. Kau terindah, bahkan teramat indah. Tak banyak kata yang mampu aku ungkapkan padamu kali ini, hanya terimakasih dan selamat tinggal.

***TAMAT***

MAKASIH KARENA SUDAH BERADA DI CERITA INI DAN MEMBACA HINGGA AKHIR. TERIMAKASIH KU UCAPKAN SEKALI LAGI KEPADA KALIAN KARENA TELAH MEMBACA KARYA PERTAMA AKU.

SAMA SEPERTI ANGGA, AKU GAK AKAN BANYAK MENGUNGKAPKAN SESUATU DI SINI, HANYA TERIMA KASIH DAN SAMPAI JUMPA DI KARYA AKU SELANJUTNYA.

Kamu, Sekejap Mata ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang