21. | Majapahit - Menjauh

9K 1.3K 4
                                    

Aku menunduk. Tidak menyentuh apapun? Bagaimana bisa kekek itu mengatakannya sekarang? Aku terlanjur jatuh cinta kepada Hayam Wuruk, begitu juga dengan laki-laki itu.

"Bagaimana bisa kakek membuatku seperti ini?" Aku menatap tak percaya. Jika aku diharuskan untuk tidak mengotak-atik dunia ini, seharusnya aku tak perlu dimunculkan di tempat ini. Apabila pada akhirnya aku akan meninggalkan Hayam Wuruk, lebih baik aku tak berada di Majapahit.

Tanpa bisa dicegah, air mataku menetes begitu saja.

"Apa kau mencintainya?" Kakek tua itu bertanya.

Aku mengangguk. "Kami saling mencintai."

"Aku sudah menceritakanmu mengenai Majapahit, bukan?"

"Ya, aku tahu, Kek. Aku tahu, Hayam Wuruk akan menikah dengan Sudewi nantinya, tapi aku tak mau menerima lamarannya dan juga tak mau menolak lamarannya. Sangat berat jika ingat kebenaran itu." Menarik napas, aku menatap kakek tua itu penuh tanya. "Kenapa aku harus berada di sini, jika apa yang kulakukan akan menjadi sia-sia? Kakek membuatku merasa menjadi peran utama yang padahal hanyalah peran pembantu di sebuah cerita." Tangisanku pecah sekarang. Rasanya aku ingin marah, meluapkan segala kekesalanku terhadap pembicaraan ini, tapi kepada siapa?

"Aku hanya berpesan itu saja, Nak."

Tak kusangka, itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan oleh sang kakek sebelum akhirnya menghilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.

Mengusap air mata yang jatuh di pipi, aku menengok ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari ke mana kakek itu pergi. Namun, nihil.

Mungkinkah kakek tua tadi mempunyai kekuatan untuk menghilang? Kenapa cepat sekali perginya? Aku bahkan tidak mendengar derap langkah yang menjauh.

Menarik napas dalam, aku mencoba untuk menguatkan diri. Aku tidak boleh menangis. Ya, cengeng bukanlah diriku.

Menggigit bibir, kedua mataku kembali berkaca-kaca. Ya Tuhan, kenapa rasanya begitu sesak. Kehadiran kakek tua tadi sungguh membuat harapan-harapanku yang telah kususun ke depannya bersama Hayam Wuruk runtuh seketika.

Terduduk di tanah sembari memegang dadaku yang terasa amat nyeri, aku kembali menangis. Setelah ini aku tidak mungkin berada di dekat Hayam Wuruk.

"Maafkan aku karena tidak bisa menepati janjiku, Hayam Wuruk," lirihku di sela-sela isakan. Aku mengusap air mataku lagi.

Bangkit dari tanah dengan kedua tangan yang terkepal erat, siang ini kuputuskan untuk lari dari keraton, lari dari kehidupan Hayam Wuruk.

Aku lalu keluar dari gang kecil tersebut dengan perasaan gelisah. Jantungku bahkan berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Setelah beberapa langkah menjauh dari gang tersebut, aku bersembunyi di belakang pohon beringin besar yang ada di sana, dengan pandangan yang terus tertuju pada Hayam Wuruk, Wangi, dan laki-laki dewasa dari kejauhan. Mereka saat ini berdiri di dekat gapura pasar. Tampak seperti sedang menunggu kehadiran seseorang.

Sekali lagi kata maaf kuucapkan di dalam hati. Sungguh, aku tidak siap untuk merealisasikan rencana yang telah kubuat barusan—pergi sejauh-jauhnya dari Hayam Wuruk.

Menarik selendang yang tadinya tersampir di bahuku untuk menutupi kepala, aku melangkah mundur. Berjalan di antara orang-orang yang ada di pasar tentu memudahkanku untuk segera pergi dari sana. Peluang Hayam Wuruk untuk melihat keberadaanku sangatlah kecil di sini.

Semakin berjalan ke arah selatan, kutemukan sebuah gapura yang tersusun atas batu bata merah. Di bagian selatan ini adalah gapura keluar yang menjadi ujung pasar Majapahit, sedangkan bagian utara adalah gapura masuk, di mana Hayam Wuruk dan Wangi berada tadi.

Cinta Untuk Sri RajasanagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang