14. | Majapahit - Lebih Pantas

11.2K 1.7K 19
                                    

Mulai sekarang, aku bertekad untuk menghindar dari Hayam Wuruk. Jika aku terpaksa membutuhkan bantuan, maka sebisa mungkin aku akan meminta kepada Wangi ataupun Nertaja.

"Dewi, kau melamunkan apa?"

Pertanyaan dari Nertaja yang duduk di sebelah kiriku membuatku tersadar dari lamunan. Saat ini kami tengah duduk di kursi kayu yang ada di taman keraton. Di depannya, terdapat kolam ikan yang memantulkan sinar rembulan. Di tengah-tengahnya, bertebaran bunga teratai yang tengah merekah. Terlihat sangat indah.

Aku menggeleng. "Tidak melamunkan apa-apa."

"Kau tidak pandai berbohong, Dewi. Katakan saja, apa yang sedang mengganggu pikiranmu?"

Aku menghela napas pasrah sambari menunduk, melihat jemari-jemariku yang saling memilin di pangkuan.
"Tolong bantu aku untuk menjauhi Kakandamu."

"Kenapa?" Nertaja tampak terkejut.

"Tidak apa-apa. Hanya saja, jika terus-terusan seperti ini, aku akan memberikan harapan palsu kepadanya."

"Tapi Dewi, Kakanda sangat mencintaimu."

Menghela napas berat, aku menoleh ke arahnya. "Maka dari itu, aku mencoba untuk membuatnya tidak mencintaiku, Nertaja." Menggenggam kedua tangannya, aku memohon kepadanya dengan sangat.

"Tapi kenapa? Bukankah kau juga mencintainya?"

Aku terdiam sejenak. Tentu aku juga mencintainya, tetapi aku sadar akan posisiku yang bukan siapa-siapa di sini. "A-aku tidak mencintainya," bohongku sambil memejamkan mata.

"Kau berbohong lagi. Aku tahu itu. Aku tahu kau mencintainya. Mulut bisa berbohong, tetapi tidak dengan hati." Lagi-lagi ia menggeleng.

Aku mulai menitikkan air mata. Tak ada yang bisa kulakukan sekarang. Takdir ini begitu mempermainkanku. Jika tahu hal ini akan terjadi, aku memilih untuk kembali ke masa depan sebelum perasaan ini tumbuh sehingga aku tidak akan merasa kehilangan nantinya.

"Aku tak tahu harus bagaimana. Kurasa ini tidak benar. Seharusnya kami tidak saling mencintai."

Nertaja menyentuh pundak kananku. "Kenapa kau berpikiran seperti itu, Dewi? Apa yang salah?"

"Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku hanyalah seorang rakyat biasa. Aku tak mau Hayam Wuruk terus-terusan mencintaiku. Aku merasa berdosa."

"Berdosa?"

Ya, berdosa. Aku tidak boleh mengubah sejarah.

Mengusap kedua pipiku yang basah, aku tersenyum tipis. "Lupakan saja, Nertaja. Sebaiknya kita tidur. Hari sudah malam. Kau tidak mau 'kan kulitmu menjadi keriput?" Aku menggodanya dengan suara yang sedikit parau.

"Itu tidak mungkin."

"Hei, jangan salah. Tidur terlalu larut akan membuat kulitmu keriput dan terlihat tua."

"Begitukah?" tanyanya sambari menyentuh pipi, seakan mengecek apakah ada kukitnya yang keriput atau tidak. Langsung saja aku mengangguk. Rasanya senang juga menggoda adik sang maharaja.


***

Seperti biasa, aku bangun terlambat. Wangi bercerita bahwa ia sangat kesusahan membangunkanku. Aku hanya terkekeh mendengarnya. Maklum, di Jakarta aku sering bangun kesiangan dan alhasil terlambat ke sekolah.

Setelah membersihkan diri, aku duduk di tepi tempat tidur. Pandanganku kini tertuju pada gelang yang ada di pergelangan tangan kiriku. Kuusap gelang itu secara pelan. Setiap kali melihatnya, aku teringat dengan Hayam Wuruk yang juga memakai gelang tersebut.

Cinta Untuk Sri RajasanagaraWhere stories live. Discover now