13. | Majapahit - Menyerah

12K 1.8K 12
                                    

"Jangan berbohong. Lepaskan saja jika kau tidak merasa nyaman. Aku lupa, kau 'kan lebih pantas memakai emas daripada gelang seper-"

"Aku suka dengan gelang ini. Aku akan tetap memakainya," kata Hayam Wuruk memotong sembari mengusap gelang janitir itu. Dia kemudian kembali menatapku. "Apa kau masih ingin membeli sesuatu?" tanyanya yang kemudian kubalas dengan gelengan kepala. Entah kenapa aku tidak tertarik untuk membeli apapun selain dua gelang tadi. Mungkin karena aku masih merasa asing dengan benda-benda yang dijual oleh para pedagang di sini.

"Baiklah, kalau begitu kita kembali ke keraton sekarang."

Aku mengangguk setuju.


***

Setibanya di keraton, matahari telah berada di atas kepala yang berarti sekitar pukul dua belas siang kalau tidak salah. Cukup terik, tetapi tidak sepanas seperti di zamanku karena di sini masih ada banyak pepohonan besar yang begitu rindang. Hampir di setiap tepi jalan ada.

Kali ini, Hayam Wuruk mengajakku untuk makan siang bersama. Tentu saja aku langsung setuju karena merasa sangat lapar.

"Sebelum makan, ganti pakaianmu terlebih dahulu." Saat ini aku dan Hayam Wuruk baru saja tiba di depan pintu kamarku. Laki-laki itu tetap kekeh ingin mengantarku sampai ke sini. Padahal, aku sudah menolaknya tadi. "Kutunggu di ruang makan."

Aku terkesiap. Tanganku segera menahan tangan Hayam Wuruk yang hendak pergi meninggalkanku, membuat kedua alis laki-laki hampir bertemu. "Ada apa?"

"Kita makan di tempat lain saja. Jangan di sana. Kumohon...."

"Memangnya kenapa, Kirana?"

"A-aku takut bertemu dengan orang lain," balasku jujur. Aku memang tidak mempunyai nyali yang besar untuk bertemu tokoh sejarah lainnya. Bagaimana jika mereka tidak suka padaku? Lantas berakhir dengan mengusirku dari sini?

"Lalu, kita makan di mana?"

"Di kamarku saja. Mau 'kan?"

"Baiklah, aku akan berganti pakaian di kamar terlebih dahulu, kemudian meminta para dayang untuk membawakan makanan ke kamarmu."

Aku tersenyum lebar. "Terima kasih."

Sesudah Hayam Wuruk pergi, aku segera masuk ke dalam kamar, diikuti oleh Wangi yang kebetulan baru saja sampai.

Selagi Wangi menyiapkan pakaian, aku membersihkan diri. Tubuhku sedikit berkeringat yang membutku merasa tak nyaman. Saat berendam, aku menatap gelang yang terpasang di tangan kiriku. Aku tak menyangka jika diriku yang modern ini akan memakai benda kuno seperti itu. Selain hal tersebut, aku juga tidak menyangka jika akan memakai gelang yang sama dengan sang maharaja.

Lima belas menit kemudian aku beranjak dari kolam. Lalu, aku berjalan ke arah kasur yang di atasnya telah tersedia sebuah kain jarik, kemben, serta selendang berwarna biru. Pasti yang menyiapkannya adalah Wangi.

Aku lantas menyuruh Wangi untuk keluar dari kamar ini karena aku hendak mengenakannya. Sekarang, aku sudah dapat memakai kain jarik sendiri, jadi tidak lagi bergantung kepada Wangi. Bagiku itu adalah kemajuan yang besar. Lihat saja nanti, aku akan memamerkan bakatku ini kepada eyang putri.

Tersenyum manis, aku menatap pantulan diriku yang ada di cermin kamar berukuran sedikit besar. Di belakangku sudah ada Wangi yang baru saja selesai menata rambut hitamku yang lurus.

"Bagaimana penampilanku?"

"Sempurna, Ndoro. Sangat cantik."

Senyumanku semakin merekah. Detik berikutnya, aku dan Wangi menoleh ketika mendengar suara ketukan pintu. Sesudah dibuka, ternyata itu adalah Hayam Wuruk yang di belakangnya terdapat dua dayang yang masing-masing membawa nampan berisikan makanan.

Cinta Untuk Sri RajasanagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang