01. | Perihal Nama

41.7K 3.2K 178
                                    

Selamat Membaca

***

"JADI gimana?"

"Apanya?"

"Tentang Kak Adit."

"Dia bilang, dia cinta sama aku. Setelah itu kami nggak marahan lagi."

"Ih...romantis banget sih, Ra. Aku kan jadi pengen punya pacar."

Telingaku terasa risi mendengar ocehan dua teman baruku, yakni Dania dan Mira. Kami saat ini tengah berjalan bersisian di trotoar menuju rumah masing-masing. Kebetulan letak sekolahan dengan rumah kami cukup dekat sehingga berangkat-pulang hanya berjalan kaki saja, tanpa perlu menaiki angkutan umum.

Walaupun terik panas matahari menyengat kulit kami, itu tidak masalah dan hal itu lebih baik daripada berdesak-desakan di dalam angkot maupun bus. Belum lagi jika ada penumpangnya yang merokok tanpa merasa bersalah sedikit pun karena telah membuat penumpang lain tidak nyaman. Aku pasti tersiksa jika berada di dalam sana.

Selama di perjalanan, Dania dan Mira terus saja membahas tentang pacar dan satu hal yang mengikutinya. Cinta. Aku muak mendengar dua hal itu. "Di dunia ini, nggak ada yang namanya cinta," ucapku seraya menatap bosan mereka berdua.

"Ada kok, Wi." Dania mendelik ke arahku. Dia sepertinya sangat tidak setuju dengan ucapanku tadi.

Aku lalu memilih diam, tak memiliki niat untuk mengeluarkan argumen tentang kalimatku tadi, tetapi ada satu hal yang membuatku menatapnya kesal, yakni Dania masih saja memanggilku "Dewi" sejak awal berkenalan hingga sekarang. Di kota maupun di desa sama saja, semua orang memanggilku dengan nama depanku. Padahal, berulang kali aku meminta mereka untuk memanggil nama tengahku saja.

"Cuma nafsu belaka, kalau nggak, namanya kasihan. Cinta itu enggak mandang fisik dan harta." Aku akhirnya memutuskan untuk meladeni sanggahan Dania. Kali ini, aku harus menang.

"Ada kok yang cinta apa adanya," balas Dania yang sama keras kepalanya denganku.

"Kamu terlalu banyak nonton sinetron, Na," sahutku yang menutup perdebatan tersebut.

***

SETELAH berganti pakaian rumahan, aku menghampiri Eyang putri yang siang ini sedang membatik di sebuah pendopo kecil yang letaknya berada di depan rumah. Kira-kira ukurannya 5×6 meter.

Pendopo tersebut terbuat dari kayu jati dengan keempat pilarnya yang terdapat ukiran yang cukup rumit, begitu pula dengan rumah Eyang putri yang bergaya Joglo. Di Kecamatan Trowulan, ada banyak rumah yang persis seperti rumah Eyang ini.

Duduk di anak tangga pendopo, aku memandangi Eyang yang tengah fokus menorehkan ujung canting yang telah diisi dengan lelehan malam¹ panas ke kain mori yang kini direntangkan ke gawangan².

Di pendopo ini, hanya terdengar suara kokokan ayam jago milik Eyang Kakung serta burung pipit yang hinggap di pohon blimbing yang ada di halaman rumah sehingga menciptakan suasana siang hari yang begitu syahdu, berbeda sekali dengan suasana perkotaan yang hampir tidak pernah absen oleh suara deruman dan klakson berbagai kendaraan.

"Eyang, kenapa sih namaku Dewi Kirana Candramaya? Aku nggak suka," ujarku dengan raut cemberut. Karena aku berada di anak tangga ketiga, beberapa senti lebih rendah daripada bagian dalam pendopo, jadi aku harus mengangkat wajah supaya bisa melihat reaksi Eyang putri.

"Karena itu cocok buat kamu, Nduk." Eyang Putri berkata sebelum akhirnya meniup canting yang baru saja ia celupkan ke dalam wajan kecil yang diletakkan di atas kompor mini dengan nyala api kecil. Kompor berwarna hijau itu diletakkan di sebelah kanan Eyang.

Cinta Untuk Sri RajasanagaraМесто, где живут истории. Откройте их для себя