24

84 13 0
                                    

Donghyun sedikit kikuk ketika Youngmin balik menatapnya. "Apa perutmu masih sakit?" tanya Youngmin,

"U-um... sedikit," Donghyun merasa panas seketika, menghindari wajah Youngmin. "a-aku bisa sendiri."

"Kau belum tahu letak kamar mandi, dari kemarin hanya berada di tenda kesehatan." Youngmin mengusap-usap punggung Hyunmi. "Aku tidak tahu cara membuatnya bersendawa,"

"Dekap saja, dia sudah masuk 6 bulan, biasanya juga spontan—"

Hyunmi tahu-tahu bersendawa, setelahnya menatap Youngmin dan tertawa sendiri karena ulahnya. Jemarinya menelusuri wajah Youngmin, lalu memeluk lehernya. "Hmm."

Donghyun menatap putrinya, "Dia mudah sekali tidur, tapi juga mudah terbangun." Ia menekan lembut perutnya, mungkin dia akan minta obat nanti.

"Ya, bayi-bayi melakukannya." Youngmin menepuk-nepuk punggung Hyunmi, "Nah, sudah sampai. Kau bisa mandi lebih dulu. Akan kujaga pintunya diluar."

"Aku bukan anak-anak, aku tahu jalan kembali."

"Tapi perutmu sedang sakit, dan setidaknya aku bisa membantumu kembali." Youngmin mengangkat alisnya, "Sudah sana mandi."

Donghyun tak bisa menahan dirinya, bibirnya mengerucut lucu dan masuk setelah mendengus pelan. Meninggalkan Youngmin yang mati-matian menahan gemas.

"Hng?"

"Ssstt...," Youngmin mengayunkan tubuhnya, sempat menyadari ada seorang wanita yang lewat dan melemparkan sebuah pakaian ganti. "Buburnya akan kuletakkan diatas meja. Apa Hyunmi harus kubawa?"

"Tidak," Youngmin memperbaiki gendongan, "biar dia bersamaku saja."


~Another Love~


Tidak ada yang lebih menjengkelkan ketimbang panggilan tiba-tiba untuk bertugas. Youngmin yang tengah menidurkan Hyunmi pada malam itu akhirnya memindahkan si bayi untuk berada di sebelah Donghyun.

"Youngmin hyung." Donghyun menahan lengan Youngmin, "Apa... apa kau... masih menyukaiku?"

Blank.

Youngmin baru saja selesai mengumpati atasannya ketika Donghyun malah bertanya padanya. Pemuda Im itu menunduk, "Maafkan aku."

Donghyun masih menggenggam lengan Youngmin.

"Aku harus pergi, ada panggilan tugas."

"Sebentar." Donghyun melakukannya tiba-tiba, menarik turun lengan si pemuda Im dan mengecupnya cepat. "Maaf membuatmu terlambat."

Youngmin tersenyum, beruntung kondisi sedang gelap. Pemuda itu menunduk, niatnya mengecup kening Donghyun—namun malah mengenai puncak kepalanya. "Terima kasih untuk energinya." Ia berbisik. Lantas meninggalkan tenda dalam keadaan senang.

Sementara Donghyun menurunkan tubuhnya, berbaring di sebelah Hyunmi dan mengusap rambut si kecil yang basah keringat. "Panas sekali ya," ia meniup wajah Hyunmi, berharap putrinya tidak kepanasan lagi.

"Apa Youngmin hyung benar-benar senang?" ia berbisik pada kekosongan tenda kesehatan, berusaha sekecil mungkin untuk berkata-kata. Taehyun datang tadi sore dan sempat mengajaknya bicara berdua perihal Youngmin.

"Aku mendukungmu, hanya kau yang kumiliki saat ini. Aku tidak ingin kehilangan lagi."

Lalu kembarannya itu memeluk erat, "Aku harus dikirim ke pelabuhan. Jepang mendaratkan kapal-kapal mereka disana."

"Taehyunie—"

"Aku sudah berpikir lama. Mengumpulkan ini semua untukmu, mungkin menempatkanmu di kota. Tapi baru-baru ini beredar rumor para tentara mulai sering menyusup ke rumah-rumah untuk mencari wanita muda."

Taehyun jelas tidak membicarakan Donghyun. "Aku mendapat kabar soal Bibi Nam, beliau mati karena menolak perintah untuk menjadi gisaeng."

Kedua tangan Donghyun di genggam erat, "Kau ingat mimpi kita dulu?" Taehyun meremas telapak tangan si bungsu. Menatapnya penuh harapan, "Ketika aku memukul kepalamu dengan patahan balok."

Donghyun tertawa gusar, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan Taehyun. "Taehyunie, katakan sejujurnya... apa yang kau rencanakan untukku?" Ia sempat menarik tangannya.

"Aku... ingin kau pergi dari sini." Taehyun menyerahkan sebuah tiket pada Donghyun. "Aku yakin ini tak akan selesai dengan mudah. Sekarang Korea sedang dalam masa kehancuran dan situasi memburuk."

Donghyun menatap nanar tiket di pegangannya, "Dua?" ia menatap Taehyun. "Apa kita akan pergi?"

"Tidak. Kau dan Hyunmi," Taehyun mendorong tiket itu kedalam genggaman Donghyun, "aku sudah mengurusnya secepat mungkin. Kau hanya harus mengambil foto, Hyunmi sedikit lebih mudah karena dia masih bayi. Aku sudah membuat laporan atas nama Bibi Nam."

Donghyun tak memikirkan cara Taehyun melakukannya. Yang ia pikirkan adalah dirinya pergi. "Aku tidak punya siapapun, kita tidak punya siapapun disana." Pemuda itu nyaris menangis. Sementara Taehyun meremas bahu adik kembarnya, menatapnya tegas dan mulai membicarakan rencananya.

Another Love || PacadongWhere stories live. Discover now