Chapter 10: Praduga Nyata √

323 42 4
                                    

***
Idlam baru saja keluar dari kamarnya saat Mirenda juga baru keluar dari kamar Jesi pagi ini. Keduanya tampak saling menatap dalam beberapa detik, lalu sama-sama membuang wajah masing-masing. 

Mirenda bermaksud mengabaikan dosennya itu, tapi suara Pak Idlam lebih dulu mengintrupsinya. "Mana draft kamu?" pertanyaan itu membuat Mirenda memutar bola matanya. Masuk akal tidak ya pertanyaan Pak Idlam ini? Apa dirinya lupa dia sendiri yang menolak mengantarnya pulang ke rumah? Sekarang meminta draft proposal, ck, yang benar saja! Mirenda merasa Pak Idlam benar-benar mencari gara-gara padanya. 

"Bapak nggak lihat saya di sini semalaman? Memangnya saya bawa drfat proposal ke mana-mana gitu?" dengan berani Mirenda menatap mata Idlam yang tajam. Ada sedikit rasa aneh saat dia melakukan itu. 

"Iya! Seharusnya kamu bawa draft ke mana-mana. Itu kalau kamu serius mau lulus," balasan Pak Idlam terdengar menyebalkan di telinga Mirenda. Entah kenapa dan karena apa sebenarnya Mirenda sebal sekali dengan Pak Idlam. Dirinya benar-benar ingin menghindar, tapi si singa terus saja muncul di depannya. 

Mirenda tidak terima. Sejak kedatangan Idlam hidupnya menjadi kacau. Selain karena dirinya kehilangan waktu luang Jesi, dia juga harus menahan malu karena kejadian malam itu. Hidupnya semakin terusik kala Pak Idlam terus-terusan memburunya tentang judul proposal penelitian. Astaga! Sakit kepala Mirenda memikirkannya. 

"Pak.." 

"Ahh bukan, maksudku Mas, berhubung kita nggak di kampus, dan Mas Idlam adalah kakaknya Jesi." Mirenda meralat panggilannya. 

"Mas Idlam sayang.. Bisa nggak sih jangan buru gue terus! Gue nggak bisa napas sejak ada Mas," 

Entah apa maksud dan tujuan Mirenda melakukan itu di depan Idlam. Sopan santunnya telah hilang entah ke mana. Namun, tanpa Mirenda sadari Idlam merasa panas dingin karena panggilan itu. Idlam menahan dirinya agar tetap tenang dan tidak terpengaruh sama sekali. 

"Mas?" salah satu sudut bibir Idlam tertarik, membentuk senyum sinis yang sayangnya masih tampak menawan di mata Mirenda. Sial! Gadis itu tak sudi mengakui. Idlam sudah bisa menguasai diri agar bersikap biasa saja atas panggilan itu. Entah apa tujuan Mirenda melakukan itu, tapi menurutnya Mirenda ingin mengerjainya. 

"Mas sayang?" 

Mirenda tercekat. Entah sejak kapan dosennya itu sudah berada tepat di depannya. Sekarang Mirenda benar-benar kesulitan bernapas. "Ma..s maksudku Pak! Bapak mau ngapain?" gugup itu Mirenda rasakan dengan sangat jelas. Padahal jaraknya dan Pak Idlam masih tergolong aman. Idlam berada dua langkah di depannya. 

"Katanya Mas sayang, kok takut?" demi apa Pak Idlam menggodanya? Mirenda merasa sesuatu yang besar akan segera terjadi. Mirenda menyesal telah menggoda Idlam beberapa saat lalu. Harusnya dia tak pernah bermain dengan singa. 

"Ya takutlah orang Mas kayak mau nerkam Mir gitu," 

Jika Mirenda menghela napasnya dengan lega setelah mendengar suara Jesi, maka Idlam berdecak sebal karena momen membalas dendam pada mahasiswinya itu harus tertunda akibat kedatangan si adik bungsu. Terpaksa Idlam melepas mangsanya. Beralih menatap Jesika yang sudah siap untuk ke kampus. "Sudah sarapan?" sengaja Idlam mengalihkan pembicaraan. 

"Belum, bareng kalian aja," jawab Jesika. Dia mendekati Mirenda dan menariknya pergi dari hadapan Idlam. Lelaki itu menghela napasnya dengan berat, lantas mengikuti ke mana langkah dua gadis di depannya itu pergi. 

"Mbok Nur sudah balik, Jes?" tanya Idlam pada Jesika saat mereka mulai menyantap sarapan yang asisten rumah tangga mamanya itu masakan. Membuat Jesika menaikan salah satu alisnya. "Tumben nanya? Biasanya sarapan ya sarapan aja kayak nggak ada aku di sini," Jesi tak tahan untuk tidak berkomentar. 

Idlam berdecak untuk yang kesekian kalinya. Dari pada Jesi mengatakan ini dan itu lagi, lebih baik dia diam saja seperti biasa. Melihat itu, Jesi mengedikan bahunya. Dia beralih menatap Mirenda yang sedang mengunyah sarapan paginya. "Lo nggak ke kampus hari ini, Mir?" tanyanya. 

Mirenda menggelengkan kepala. "Nggak! Ada singa yang nggak gue suka di sana," jawabnya sambil melirik Idlam dengan terang-terangan. Biar saja! Pak Idlam kan tidak tahu siapa singa yang dirinya maksud. 

"Kebetulan Sadaan ngajak jalan juga hari ini," terangnya. 

"Ohh asyik dong! Udah lama kan lo nggak jalan sama si Abang ganteng?" Jesi pikir Mirenda akan menganggukan kepala. Namun, ternyata dirinya salah. Mirenda tampak menggelengkan kepala. "Malam apa gitu, kami nonton di bioskop," jelasnya. 

Diam-diam Idlam menyimak. Ingatannya melayang pada malam di mana Jesika mengajaknya menonton film. Tak sengaja melihat Mirenda dan seorang lelaki yang kira-kira seumuran dengannya. Dengkusan kasar keluar begitu dia menyadari lelaki itu bernama Sadaan. 

"Ohh.. Tumben dia mau lo ajak keluar," komentar Jesi. Dirinya memang pernah bertemu dengan Sadaan di arisan keluarga sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Saat itu dia baru berteman dengan Mirenda. 

"Iya, makanya gue kayaknya makin sayang sama dia," balas Mirenda. Setelah itu terdengar dentingan yang cukup keras. "Aku sudah selesai, kalau sudah siap panggil Mas di kamar," Idlam meneguk segelas air miliknya hingga kandas. Dia kembali menciptakan bunyi tak lazim karena meletakan gelas dengan cukup keras. Untung tidak pecah. Lalu menatap Mirenda dengan tajam. 

"Singa kenapa?" tanya Mirenda heran saat Idlam sudah berbalik pergi. 

Jesi terkekeh. Demi apa dirinya sengaja membuat Mas galaknya itu mendengar percakapannya dengan Mirenda tentang Sadaan. Dugaan Jesi semakin kuat saja tentang Idlam. "Bisa dapat pajak kalau ini beneran," ucapnya. 

"Pajak apaan Jes?" Mirenda mengerutkan dahi. Kakak adik sama saja, sama-sama aneh pagi ini, pikirnya. 

"Nggak apa-apa. Udah lo habisin sarapan lo. Kak Sadaan sudah di jalan kan?" tanya Jesi. 

"Bentar," Mirenda meraih ponselnya. Mengirim pesan pada Sadaan dan bertanya di mana keberadaannya setelah pagi tadi meminta alamat rumah Jesi. 

Gadis berambut panjang bergelombang itu mengangguk singkat. "Kakak gue bentar lagi nyampe," katanya memberitahu Jesi, membuatnya ikut menganggukan kepala. Satu cara lagi yang bisa membuktikan maksud dan tujuan Masnya mengusik Mirenda. Jesi akan segera menemukan alasannya, dan ini pasti valid. 

Beberapa saat kemudian, keduanya telah menyelesaikan sarapan saat Sadaan sudah sampai di depan. Mirenda berlari membukakan pintu. Sementara Jesi berlari menuju kamar Kakaknya. "Mas ayo berangkat, Mir sudah dijemput," ucapnya. 

Idlam yang masih kesal hanya mengangguk singkat. Hari ini Jesi tidak membawa mobil. Lagi-lagi semalam Mas galaknya itu memaksa untuk berangkat bersama. Jesi menduga Kakaknya melakukan itu karena Mirenda. Sayang, Mir tidak ke kampus bersamanya. 

Keduanya turun ke bawah. Di sana mereka bertemu dengan Sadaan yang baru saja sampai. Diam-diam Jesi melirik Masnya. Tampak jelas tatapan tak suka itu Idlam layangkan pada Sadaan. Jesi mengangguk, dugaannya benar. Kakaknya ada rasa pada sahabatnya. 

"Kenalin ini Kak Sadaan, Kakak gue. Kak, ini Pak Idlam, dosen pembimbing Mir di kampus sekaligus Kakaknya Jesi," Mirenda mengenalkan keduanya tanpa menyadari keterkejutan di mata Idlam. 

"Mas, Kak Sadaan ngajak salaman. Jangan sampai image calon adik ipar rusak diperkenalan pertama," bisik Jesi dengan pelan sehingga hanya Idlam saja yang mendengarnya. Tampak tidak sopan memang, tapi mau bagaimana lagi. 

Idlam semakin terkejut mendengar bisikan dari adiknya itu. Namun, secepatnya lelaki itu menguasai diri. Dia menyambut uluran tangan Sadaan. Tersenyum ramah pada lelaki yang ternyata telah disalah pahaminya itu. "Salam kenal," ucapnya. 
.
.

Lanjut 👉 Imam Untuk Mirenda
— Awindsari

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link dibawah :
https://kbmapp.com/book/detail/a60f4d7b-385f-78f2-ee5d-aa9a78cf5152?af=0a951753-afe0-3b8a-9d4a-2ea9f2e9b9fa

Terima kasih untuk teman-teman yang sudah mampir di cerita ini. Untuk Chapter 11 sampai END bisa baca di KBM App ya 💋

Sayang kalian 💕
Awindsari, 4 Januari 2021.

Suamiku Dosen PembimbingkuWhere stories live. Discover now