Chapter 6: Singa Lagi √

307 40 2
                                    

Suara kursi yang bergesekan dengan lantai terdengar di telinga Mirenda. Dia menoleh dan mendapati Jesika berada tepat di sebelahnya. 

Decakan sebal terang-terangan gadis itu tunjukan. "Lo ngapain duduk dekat gue?" tanyanya sebal. 

Kuliah jam pertama akan segera dimulai. Seperti biasa, mahasiswa dan mahasiswi pasti memenuhi ruangan. Jesika dan Mirenda berada di antara mereka. Keduanya memang sudah disibukan dengan proposal penelitian, tapi masih ada dua mata kuliah lagi yang mereka ambil di semester ini. Sisanya sudah mereka borong di semester kemarin. 

Tak usah heran karena meskipun hobi sekali berpesta, tapi keduanya tak pernah ketinggalan dalam perkuliahan. Banyak cara agar mendapatkan nilai sempurna, salah satunya menggoda dosen pengampu mereka. Ah, tidak, itu hanya sekali mereka lakukan karena penasaran dengan kabar burung tentang si dosen yang bisa digoda. Akhirnya keduanya nekat mencoba. 

Kembali ke ruang kuliah pagi ini. "Biasa aja kali," sahut Jesi yang baru saja mendudukan diri. 

Jesi ikut menatap sebal pada sahabat karibnya. Paham betul kenapa Mirenda bersikap seperti sekarang ini padanya. "Soal Mas Idlam.." Jesi menjeda ucapannya. Dirinya bingung harus bagaimana memanggil kakaknya sekarang. "Maksudku Pak Idlam, gue minta maaf karena nggak cerita ke lo. Tapi, ini bukan salah gue juga. Lo nggak nanya sih!" jelas Jesi. 

Benar juga. Jesi tidak bersalah. Dirinya justru melindungi Mirenda dari serangan jantung dadakan. "Jadi, nggak adil kalau lo marah sama gue," deliknya. 

Mirenda menghela napasnya dengan berat. Dia menoleh pada Jesi. "Jujur gue malu banget. Sebel gue sama lo karena nggak pernah cerita siapa si singa sebenarnya," ucapnya. 

"Jangan pikir gue bakal bersikap manis sama si singa ya cuma gara-gara dia itu Mas lo!" bola mata Mirenda melotot pada Jesi. Dirinya masih saja memanggil Idlam dengan si singa. Jesi melambaikan tangannya. Dia juga tidak terlalu ambil pusing soal Mirenda yang memanggil Masnya itu Singa. Lagi pula Mas Idlam memang pantas dipanggil seperti itu. Hanya saja Jesi tidak berani melakukannya. 

"Sekarang bantuin gue buat menghindar dari Kakak lo! Gue nggak mau ketemu dia lagi," 

"Astaga Mire! Terus gimana sama skripsi lo, begok? Jangan bilang lo.." Jesi menatap curiga pada gadis itu. 

Mirenda mengangguk mantap. "Gue nggak mau bimbingan sama Pak Idlam. Gue maluuuu Jesss," balasnya. 

"Gue yakin banget malam itu gue udah lakuin sesuatu yang nggak benar! Mana waktu itu gue ketahuan mau godain dia. Bukannya bimbingan, tapi yang ada gue ini bakal dikerjain, dipersulit sama Mas lo," 

"Ogah! Mending gue happy aja," 

Jesi mengetuk kepala Mirenda dengan buku yang sejak tadi dirinya pegang. "Pak Idlam nggak akan begitu. Dia profesional kali, Mir!"

"Ihh kok lo belain dia sih? Permasalahan gue sama Pak Idlam itu nggak sesederhana itu, Jes. Gue beneran malu sama Mas lo," Mirenda menundukan kepalanya. 

"Coba deh lo jelasin ke gue gimana sikap gue malam itu," pinta Mirenda yang kembali menatap Jesi. 

Melihat Jesi tampak salah tingkah, Mirenda tahu sesuatu yang memalukan pasti sudah terjadi. 

"Ya lo.. Emhh dia hampir aja lihat dalaman lo," buru-buru Mirenda menutup mulut Jesi dengan menggunakan salah satu tangannya. 

"Astaga! Apa gue bilang? Mampus gue, Jes. Beneran nggak sanggup gue ketemu Pak Idlam," membayangkan Pak Idlam pernah hampir melihat dalamannya, membuatnya semakin tak berani menampakan wajah di depan dosen pembimbingnya itu. "Alamat nggak lulus kuliah kalau begini," gerutunya. 

"Tapi Mas Idlam nggak akan berpikir macam-macam, Mire. Percaya sama gue," ucap Jesi berusaha meyakinkan Mirenda. Namun, apa yang Jesi katakan memang benar adanya. Tak mungkin Masnya itu berpikir macam-macam tentang Mirenda. Galak seperti apapun Idlam, tapi lelaki itu sangat menyayanginya. Jesika percaya pada kakak semata wayangnya itu. 

Mirenda menghela napasnya dengan berat. "Gue tetap nggak bisa ketemu sama Kakak lo, Jes," lirihnya. 

"Gue nggak nyangka cowok yang nolongin gue adalah dosen gue sendiri," Mirenda tampak lesu. Padahal, dia baru saja ingin bergerak mengerjakan skripsinya. Namun, mendapati kenyataan ini, membuat Mirenda memilih untuk sembunyi. Dirinya akan menghindar sebisa mungkin dari dosen yang baginya mirip singa itu. 

"Terus gimana sama skripsi lo, Mire?" 

"Gue nggak tahu, Jes." 

Percakapan keduanya terpaksa terhenti saat dosen pengampu mata kuliah pagi ini sudah masuk. Pupil mata Mirenda membesar, mulutnya menganga saat melihat siapa yang sedang duduk di depan sana. Mulutnya semakin terbuka lebar saat melihat senyum sinis yang sepertinya sengaja ditujukan untuknya. 

Mirenda menoleh pada Jesi. "Kali ini gue benar-benar nggak tahu kalau Pak Idlam yang jadi dosen kita," Jesi menggelengkan kepalanya. Menolak dengan keras tuduhan yang Mirenda berikan padanya. 

"Selamat pagi! Saya Idlam Casildo, dosen pengganti untuk sementara di kelas ini. Perkenalan akan kita lanjutkan seiring pembelajaran dimulai," 

Mirenda dan Jesika kembali menolehkan kepala mereka ke depan setelah Idlam mengeluarkan suaranya. 

"Pagi Pak Idlam," mahasiswi di kelas tampak antusia membalas sapaan dari dosen sementara mereka itu. Hanya Mirenda dan Jesika yang terdiam mematung. Keduanya sama-sama tahu apa yang akan terjadi ke depannya. 

Pertama, mereka tidak akan bisa titip absen lagi. Kedua, mereka juga harus serius mengikuti perkuliahan. Terakhir, yang tak mungkin terjadi adalah, tidak mungkin mereka bisa menggoda Idlam dengan jurus andalan yang sudah mereka persiapkan untuk dicoba lagi. Astaga! Jesika hanya akan mengalami kerugian seperti itu saja. Sementara Mirenda? Dirinya yang ingin menghindar dari Idlam, justru harus ruti bertatap muka.

"Sebenarnya apa salah gue, Jes?" bisiknya mengarah pada Pak Idlam yang entah kenapa Mirenda pikir selalu mengawasinya. 

"Fokus Mir! Gue takut singa lo itu ngerjain kita di sini," balas Jesi. 

Decakan sebal keluar dari mulut Mirenda, "Enak aja! Singa ya singa aja Jes, nggak usah lo tambahin jadi singa gue," bantahnya tak terima. 

Jesi memutar bola matanya. "Kan lo sendiri yang bilang. Gue sama anak-anak yang lain mana berani!" pembelaan pun keluar dari mulut Jesika. 

"Nggak! Jangan sebut-sebut si Mas lo itu jadi Singa gue! Kesannya gue sama dia ada hubungan spesial gitu?!" adegan sahut menyahut itu terus berlanjut, tanpa keduanya sadari Idlam sejak tadi mengawasi mereka. 

"Kalian berdua!" sudah saatnya dua gadis yang diam-diam sudah dirinya tandai itu di hukum. "Maju ke depan!" bentaknya. 

Mirenda dan Jesi saling menatap. Mata mereka menunjukan tanda tanya. "Nggak mungkin kita, kan Jes?" tanya Mirenda pada akhirnya. 

"Iya, kalian berdua. Jesika Dwi Andini dan Mirenda Dhakela Adiwangsa," maka setelah Idlam menyebutkan nama panjang mereka, Jesi dan Mirenda terpaksa maju ke depan untuk menerima hukuman. 
.
.

Lanjut 👉

Suamiku Dosen PembimbingkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang