Chapter 2: Hampir Saja √

390 60 4
                                    

Jesi meneguk minuman beralkohol rendah itu ke dalam mulutnya. Rasa bersalah menggunung begitu Mirenda dibawa oleh Gery ke dalam kamar tamu rumahnya. Demi apa, Jesi tak pernah bermaksud mengorbankan Mirenda. Namun, hutang budinya pada Gery harus lunas jika tak ingin cowok itu terus menerus mengacaukan hidupnya.

Hutang budi itu adalah pada saat Gery menolongnya kala ia hampir saja dirampok. Gery terus mendesak untuk dikenalkan dengan Mirenda saat tanpa sengaja cowok itu melihatnya bersama Mirenda Tiga minggu yang lalu. Jesi pikir Gery hanya ingin berkenalan, tetapi ternyata cowok itu ingin menghancurkan hidup sahabatnya.

Ketika Jesi melarang, Gery kembali menggunakan jasanya dan mengancam akan merenggut kesuciannya jika menghalangi. Jesi ketakutan hingga tak bisa melakukan apa-apa selain menyerahkan Mirenda karena Gery tak main-main dengan ancaman itu. Gery pernah menculiknya, mengancamnya agar bisa mendapatkan Mirenda.

"Maafin gue Mire sayang," isakan Jesi terdengar pilu di sudut ruangan yang temaram. Jesi larut dalam rasa bersalahnya. Ia menenggelamkan kepalanya ke dalam lipatan tangannya.

"Apa-apaan ini? Siapa kalian?!"

Jesi mengerutkan dahinya. Suara bentakan itu mirip seseorang. Namun, Jesi menggelengkan kepalanya.

"Jesi!" tapi ketika namanya dipanggil, Jesi yakin ia tak pernah salah mengenali. Itu suara kakaknya.

Tanpa peduli pada apapun lagi, Jesi berlari ke arah sumber suara. Mirenda harus diselamatkan, dan Jesi sudah tahu siapa yang bisa melakukan itu. "Mas Idlam!!" serunya. Air mata Jesi sudah mengering. Namun, karena masih ketakutan, ia memeluk kakaknya dengan erat.

"Apa yang sedang kau lakukan?" geraman tertahan itu benar-benar membuktikan bahwa lelaki yang berada di depannya ini adalah kakak semata wayangnya.

Biasanya Jesi akan merasa sebal bila Idlam sudah pulang ke rumah, tetapi kali ini dirinya merasa beruntung berkat kedatangan kakaknya itu. "Tolongin teman Jesi, Mas," kekhawatiran tampak terlihat jelas pada wajah Jesi.

"Miren mau di perkosa!" ujarnya.

Pupil mata Idlam membesar. Dia tahu siapa Mirenda. Gadis berparas cantik itu adalah sahabat adiknya. Idlam sering melihatnya di media sosial sang adik.

"Teman Jesi, selamatin dia mas. Dia di sana!" sekali lagi Jesi berteriak sambil menunjuk ke arah kamar tamu. Musik yang tadi masih berdentam kini perlahan sunyi. Beberapa tamu memilih pulang dibanding mendapatkan masalah. Hanya tersisa Jesi dan teman-teman Gery saja.

Jesi menarik kakaknya menuju ruang tamu. Air matanya kembali mengalir kala samar-samar mendengar Mirenda memanggil namanya. "Mas Idlam..." Jesi memohon seraya menyebut nama kakak semata wayangnya itu. Maka sebelum semuanya terlambat, Idlam bergerak menerjang pintu dengan cepat.

***

Suara pintu terbuka mengalihkan kegiatan seseorang di dalam sana yang sedang memaksakan kehendaknya. "Bajingan! Lepaskan dia!" bentakan Idlam menggema seakan merusak gendang telinga.

Dapat Idlam lihat pakaian Mirenda sedikit tersingkap, gadis itu hampir saja kehilangan kesuciannya. Idlam tidak tahan lagi. Ia menghajar cowok kurang ajar yang hampir saja menodai teman adiknya. "Jangan sampai saya melihat kamu mengganggu kekasih saya lagi!" hanya itu yang sekiranya bisa membuat Gery tak berani mengganggu Mirenda lagi.

Gery yang sudah babak belur lari terbirit-birit. Melewati Jesi yang menatapnya dengan tajam. "Pergi lo Gery atau gue sendiri yang akan laporin lo ke polisi!" ancaman Jesi pun berlaku. Gery mengajak teman-temannya meninggalkan rumah Jesi.

Ketika Jesi masuk ke kamar tamu, ia melihat Mirenda berada dalam pelukan kakaknya dalam keadaan tak sadarkan diri. Jesi berlari menghampirinya, menyentuh punggung Mirenda sambil menangis. "Mire maafin gue," ucap Jesi dengan tulus. Dia benar-benar menyesal. Hampir saja dirinya menjadi penyebab hancurnya hidup Mirenda.

"Engghhh peluk," lenguhan itu membuat Jesi dan Idlam saling berpandangan. Apa lagi saat Mirenda menyurukan kepalanya ke leher Idlam. Sedikit membiarkan bibir seksinya menyentuh permukaan kulit sang penolong. Mirenda ternyata baru saja sadar.

Idlam merasa tenggorokannya mengering. Dirinya tidak nyaman pada posisi sedekat ini dengan adik temannya ini. Namun, saat ingin melepaskan dekapan itu, tangan Mirenda sudah lebih dulu melingkar di perutnya. Ah, tak hanya melingkar, tapi memeganginya dengan erat.

"Engghhhh," kali ini tubuh Mirenda meliuk-liuk, bergeliat liar di dalam pelukan Idlam.

Jesi menganga. "Astaga! Obatnya mulai beraksi!" ujarnya.

"Obat apa?"

"Perangsang," cicit Jesi yang tak berani menatap kakaknya. Tentu saja Idlam mendelik. Ia mengancam Jesi lewat tatapan mata. Jesi tahu, besok dirinya akan mendapatkan hukuman atas kejadian ini.

"Miren sadar Mir,"

"Duh, ini gimana Kak?"

"Engghhh berisik!" Mirenda membuka matanya lebar-lebar. Mengerjap beberapa kali, lalu tertawa. Menunjuk Idlam dengan jarinya. "Kenapa beda? Ini lebih ganteng hihi," kekehnya.

Karena merasa setengah sadar akibat pengaruh alkohol dan obat perangsang, Mirenda mengelus pipi Idlam dengan berani. "Kenapa diam saja hem? Sentuh aku," godanya.

Jesi memutar bola matanya. "Kata-katanya persis dialog tokoh film yang kemarin kami tonton," ucap Jesi. Dalam beberapa detik ia menutup mulutnya. Dirinya baru saja sadar sedang keceplosan. Jesi melirik Kakanya dengan takut-takut. Sekali lagi Idlam mendelik marah pada Jesi. Entah sudah sejauh mana pergaulan adiknya itu, tetapi Idlam berjanji akan mendipsiplinkannya mulai besok.

Idlam mendorong tubuh Mirenda dengan kuat hingga gadis itu terjungkal ke atas tempat tidur. Suara ringisan yang seksi terdengar oleh kedua kakak beradik itu.

Pengaruh obat semakin menguasai Mirenda. Tanpa sadar dia menyingkap gaunnya sendiri. Beruntung Jesi dengan cepat menghalangi, jika tidak celana dalam Mirenda pasti akan terekspos begitu saja. "Astaga Miren! Sadar!" ujarnya.

"Urus teman lo!" lalu Idlam meninggalkan kamar itu. Ia menggelengkan kepalanya melihat tingkah adiknya malam ini. Untung saja dirinya bermaksud tidur di rumah setelah singgah ke apartemennya kemarin, jika tidak entah apa yang akan terjadi pada mereka, terutama Mirenda.

Sementara di dalam kamar yang pintunya sudah tertutup rapat oleh Idlam, Jesi berusaha untuk menyadarkan Mirenda. Namun yang namanya pengaruh alkohol dan obat perangsang, pasti sulit mengatasinya. Terpaksa Jesi mengikat kedua kaki dan tangan Mirenda. "Maafin gue Miren, kali ini pun gue terpaksa," ucap Jesi. Setelah itu, ia mendudukan dirinya di sofa hingga tanpa sadar tertidur di sana. Sementara Mirenda sendiri ikut tertidur setelah lelah akibat mencoba melepaskan diri.

Paginya, Mirenda terbangun dengan kepala yang sangat amat terasa berat. Ia mencoba menggerakan badannya. Namun sulit akibat ikatan pada kedua tangan dan kakinya. "Apa-apaan ini?" desisnya. Melihat ke kiri dan ke kanan, Mirenda melihat Jesi tertidur di sofa. Mirenda berdecak sebal saat teringat perkataan Gery semalam. Sahabat yang sangat dirinya percaya telah menjadi duri dalam daging. Itulah kenapa Mirenda membuang muka saat mata Jesi bergerak kemudian terbuka.

"Mir lo nggak apa-apa?" pertanyaan itu mendapat dengusan dari Mirenda.

Jesi tahu kenapa sahabatnya sebal padanya. Namun, Jesi tak akan membiarkan kekesalan itu berlangsung terlalu lama.
.
.

Lanjut 👉
Tinggalkan jejak ya :))

Sayang kalian 💕
Awindsari, 31 Desember 2020.

Suamiku Dosen PembimbingkuWhere stories live. Discover now