Bab 46

5K 484 78
                                    

Vano duduk menunggu Kirei turun dari lantai dua. Dia tersenyum saat pandangannya beradu dengan gadis yang ditunggunya.

"Sibuk banget ya?" Tanya Vano basa-basi

"Kejar deadline seperti biasa." Balas Kirei santai.

"Yuk, kita jalan sekarang" Ajak Vano.

"Lho, keluar?"

"Iya. Kan takut jadi fitnah kalau berduaan disini." Vano mengedipkan sebelah matanya seolah menyindir ucapan Kirei waktu itu.

Kirei meringis. Dia melangkah keluar mengikuti Vano.

"Kita mau kemana, Pak?" Tanya Kirei begitu duduk di samping Vano.

"Kamu maunya kemana? Mau makan apa?"

"Lho, kok jadi makan?

Vano tersenyum. " Sekalian saja. Biar nanti pulang gak usah makan lagi."

Kirei mengangguk setuju.

"Steak mau?" Tanya Vano kemudian.

"Asi, Pak" Kirei menyeringai "Asiaap"

Vano tertawa. "Dasar." Ucapnya seraya mengacak rambut Kirei. Sudah lama dia tak melakukan hal itu pada gadis disampingnya. Well, rasanya Vano menemukan dirinya kembali.

Setelah tiba di restoran, Vano duduk berhadapan dengan Kirei. Suasana restoran yang cukup tenang membuat mereka sedikit gugup.

"Kirei, boleh saya tanya sesuatu?" Tanya Vano setelah mereka menghabiskan makanannya.

"Soal?"

"Kamu."

"Tanya apa?"

"Apa..saya mengacaukan hidupmu waktu itu?"

"Aku gak mau bahas masa lalu."

"Kalau saya cerita tentang masa lalu yang menyangkut dirimu, boleh?''

Kirei mengerutkan keningnya tanpa bersuara.

"Jujur, saya saat itu kacau. Saya kecewa ketika melihat kamu dirangkul Pak Keenan. Saya gak ngerti kenapa dulu bisa bersikap seperti itu. Rasanya dada ini sakit. Baru pertama kali, saya seperti itu. Dan belum mengerti apakah itu cemburu atau bukan. Yang jelas, saya sangat marah, hingga akhirnya saya mengambil keputusan untuk menikahi Dira."

Kirei masih terdiam mendengar penuturan Vano yang tiba-tiba.

"Kata orang, jangan mengambil keputusan saat kita sedang marah. Nanti kita akan menyesal. Dan itu, memang benar. Menjelang pernikahan, saya sangat frustasi. Apalagi saat tahu kebenaran tentang kamu. Dan tentang saya yang salah faham. Rasa bersalah sama kamu menyeruak seolah mencekik saya sendiri. Tapi, saya begitu pengecut untuk meminta maaf kepadamu kala itu."

"Jujur, saya takut goyah. Saya takut bertindak gegabah dengan membatalkan pernikahan. Ada martabat orangtua yang saya harus jaga. Untuk itu, sekuat tenaga saya harus teguh dengan keputusan awal. Akhirnya, saya mampu jatuh hati kembali seutuhnya pada Dira. Wanita yang saya pilih karena amarah. Tapi setelah Dira meninggal, saya bersyukur. Setidaknya, pilihan saya tidak salah. Saya..saya bisa mencintainya walaupun terlambat."

BANG VANO (Complete)Where stories live. Discover now