19 || Pesta

2.9K 317 23
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

🌸🌸🌸

Selepas dari rumah keluarga Dimas, sekarang Camelia merenungkan soal pernikahannya dengan pikiran gelisah. Momen ketika ibu Dimas menyinggung soal perceraian membuat hati kecilnya teriris. Apalagi tatapan sendu pilu bekas perpisahan dulu masih nampak membayang di mata yang dihiasi keriput.

Kenapa Dimas bisa bercerai? Apa alasan yang menghalalkan keduanya untuk mengakhiri bahtera rumah tangga mereka? Camelia langsung menuduh mantan isterinya yang mungkin bermasalah, tidak mungkin bukan seorang Dimas yang dingin dan hidup datar seperti itu bisa neko-neko? Ah, atau jangan-jangan karena saking datarnya pria itu membuat isterinya jengah dan memilih pria yang lebih hangat di luaran sana?

Lantas, bagaimana dengan nasibnya sekarang? Sanggupkah ia tinggal dan hidup dengan Dimas yang kaku bagai kanebo kering? Buru-buru ia menepisnya dan meyakinkan kalau ia hanya akan tinggal bersama, tanpa banyak terlibat konflik ala-ala rumah tangga di Sinema Pintu Taubat. Maka impiannya yang menetap di Roma akan terwujud. Bersabarlah sedikit.

Hari ini Camelia memutuskan untuk tinggal di studio karena merasa bosan dengan suasana hotel, meski tinggal di  kamar VIP sekalipun ia merasa aneh saja jika harus makan, tidur dan buang air di tempat yang merangkap sebagai tempat kerja. Faktor lain yang mendesak adalah karena suruhan Dimas supaya ia membiasakan dengan lingkungan sekitar yang akan ia tinggali untuk waktu yang lumayan lama.

Oh iya, Dimas juga berjanji akan menjemputnya selepas pulang kerja. Namun hingga kini belum ada tanda-tanda bel akan berbunyi. Padahal ia sudah siap dari setengah jam yang lalu dengan dua koper besarnya, ia menunggu dengan bosan dan hampir tergoda untuk menjatuhkan diri di kasur yang empuk.

Namun niat itu terhenti karena ponselnya berdering nyaring. Terdengar helaan nafas saat melihat nama pemanggil.

"Halo om-- eh, pak." Latah datang disaat yang tak tepat.

"Kamu masih di kamarmu?"

"Iya lah."

"Maaf, saya tidak jadi menjemput kamu."

Camelia melotot tajam, mengkhususkan tatapan horor itu untuk sosok di seberang telepon. "Kenapa gak bilang dari tadi sih? Kan saya bisa pulang pake go--"

"Adik saya akan jemput kamu."

"Heh? Adek bapak yang mana nih?"

Terdengar decakan, meski samar namun Camelia menduganya begitu. "Gibran, siapa lagi. Kamu kemarin sudah bertemu."

Oala amsyong! Ketemu oppa Korea lagi!!

"Oke deh."

Dimas tak bersuara, Camelia sempat berpikir kalau sambungan telepon telah diputuskan. Selang beberapa detik, terdengar helaan nafas yang berat. "Jangan kegenitan sama Gibran."

"E-eh, gimana gimana? Genit gimana sih?" Camelia mengelak sok polos.

"Saya punya mata, Camelia. Ya sudah, saya akan suruh Gibran menghubungi kamu."

Camelia menurunkan ponsel dengan lambat disertai pikiran melamun. Kalau saja waktu bisa diputar, bisakah ia meminta dijodohkan dengan Gibran saja yang masih fresh dan orisinil daripada Dimas duda berbuntut itu?

Ponsel itu kembali berbunyi nyaring. Ia menahan nafasnya saat melihat foto yang terpampang nyata di depan wajahnya. Gila, ada CEO ala novel erotis yang nyasar ke handphone-nya! Ia berulang kali berdehem membersihkan tenggorokannya, berusaha membuat suaranya agar terdengar manis. Ia harus membuat kesan baik. Dan ia pun menerima panggilan itu.

Camelia Blooms [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang