EXTRA PART

41.5K 3.1K 245
                                    

Pukul delapan pagi terik menyorot dari pintu balkon yang dibiarkan terbuka. Jihye tengah menggendong Gukie dan sengaja mencari sinar. Matanya terlihat sembab dan merah lantaran tidak tidur selama seharian.

Gukie benar-benar rewel dan terus menangis—bahkan sampai membuat Jungkook yang tidur di sofa ruang tengah harus terbangun dan buru-buru memasuki kamar sang wanita. Pun jadilah Jungkook juga tidak terlelap karena menemani Jihye begadang.

"Bagaimana kalau kita telepon mama saja? Setidaknya mama bisa membantu kita merawat Gukie agar kau bisa istirahat dengan cukup," kata Jungkook tiba-tiba keluar dari bilik kamar mandi. Pria itu telah memakai pakaian dengan lengkap lalu berjalan menghampiri Jihye. "Lihatlah. Anak kita bahkan tertidur lelap sekali tanpa merasa bersalah karena sudah menyiksa mamanya," celetuk Jungkook.

Jihye melirik sinis. "Gukie pasti sedang berteriak di dalam mimpinya; "kalau tidak mau disiksa jangan menghamili Mama". Begitu," ujarnya menjawab.

Beginilah risiko menjadi seorang ibu—apalagi Gukie adalah anak pertama pun tanpa bantuan tangan orang lain untuk mengasuhnya. Jihye benar-benar lelah. Namun jika boleh jujur, setiap kali melihat Gukie rasanya semua lelah itu mendadak hilang begitu saja.

Jungkook mendekati ranjang dan duduk pada tepinya. Manik bulatnya menyorot pada punggung sang istri yang berbalut gaun tidur. Semenjak hamil besar, Jihye memang gemar memakai gaun tidur berbahan satin, membuat Jungkook susah payah menelan salivanya.

Kedua sudut bibirnya terangkat naik. Kendatipun ia masih gagal untuk membawa Jihye ke dalam pelukannya, tapi Jungkook sangat bersyukur sebab ia bisa melihat kondisi Jihye yang baik-baik saja ketimbang dirinya yang nyaris depresi lantaran merasa kehilangan sang wanita.

Jungkook paham betul bagaimana perasaan Jihye kala itu. Jungkook juga yang bodoh sebab tak menjelaskan dengan baik sehingga kesalahpahaman itu membuat masalahnya menjadi kian rumit. Ditambah kepergian Jihye usai mendengar penjelasan dari mulut Jungkook, Seongwoo, juga Yoora.

Jungkook merasa hidup, tapi tak juga hidup. Beberapa minggu setelah kepergian Jihye, Jungkook tidak menjalani rutinitasnya dengan baik. Akan tetapi, setelah ia berhasil menemukan di mana Jihye tengah singgah, pria itu berangsur membaik meskipun tak banyak. Setidaknya, Jihye mau menerimanya masuk walaupun Jungkook harus mengerahkan seluruh akal dan tenaga.

"Aku sudah memesan sarapan untuk kita. Kau harus makan yang banyak agar tidak sakit." Jungkook kembali berbicara.

Jihye yang memunggungi Jungkook itu terpaksa menoleh dan mengangguk sambil mengulas senyum. "Kau bisa makan lebih dulu. Aku akan menyusul nanti," jawabnya.

"Aku tahu kau tidak akan menyusul." Jungkook menyahut lirih; tak mau mengganggu tidur lelap Gukie. "Jiya ... bersikaplah biasa saja mulai sekarang. Aku ingin kita seperti dulu lagi."

"Tapi sekarang kita belum bisa seperti dulu."

Jungkook berdiri dari duduknya, lekas menghampiri Jihye dan memosisikan dirinya di hadapan sang wanita. Pria itu mengunci tatapan Jihye, satu tangannya ia letakkan di tengkuk Jihye sementara tangannya yang lain mengusap pipi wanita itu lembut.

"Aku tidak tahu kenapa kau bisa semenarik ini." Jihye memberi tanggapan tak mengerti. "Kenapa sulit sekali meyakinkanmu?"

Mengembuskan napas lirih, Jihye kemudian menjauh dari Jungkook dan meletakkan Gukie ke dalam kotak bayi sebelum berjalan menuju ruang makan; diikuti Jungkook di belakangnya.

"Kita sudah membicarakan itu di rumah sakit, Koo. Jangan membahasnya lagi," ucap Jihye. Jungkook hanya bisa mengulum bibir sembari menunggu Jihye menyiapkan sarapan bagiannya di atas piring. "Makanlah. Kau juga harus makan yang banyak agar bisa menemaniku begadang."

....

Siang hari adalah waktunya Jihye untuk datang ke rumah; menemui sang mama yang berada sendirian di rumahnya.

Jungkook ikut mengantar dan pergi untuk mengunjungi apartemennya yang sudah dua minggu ia tinggal karena menginap di apartemen Jihye—mendampingi wanita itu sebelum melahirkan hingga Gukie berusia delapan hari.

"Bagaimana rasanya menjadi seorang ibu?" tanya sang mama memulai pembicaraan.

Wanita paruh baya itu sejenak mencuci tangannya sebab baru saja membersihkan halaman belakang, kemudian berjalan ke ruang santai untuk menggendong cucu pertamanya.

"Mama selalu menanyakan itu selama lima hari ini," ujar Jihye sebal—tapi tidak benar-benar sebal. "Apa Mama juga sampai tidak bisa tidur karena mengurus Jiya waktu bayi?"

Mama mengangguk sambil berdiri, di tangannya tentu ada Gukie yang sedang asyik terlelap. "Itulah kenapa Mama sering menangis ketika kau berani pada Mama!" sahut sang mama melirik ketus, lalu dibalas cengiran dari anaknya. "Ingat dan beri tahu anakmu bahwa sebanyak apa pun berlian yang kau berikan pada Mama ... masih belum cukup untuk menggantikan setetes air susunya. Jangan merasa bangga kalau kau sudah mampu membelikan Mama berlian."

"Iya, Mama ...," jawab Jihye. Apakah semua ibu akan mengatakan hal semacam itu? Atau hanya beberapa ibu saja yang suka mengingatkan anaknya sedang yang lain tak begitu memedulikan soal perjuangan ibu?

Mama duduk di sofa di sebelah Jihye, lalu menoleh sejenak. "Jangan hamil lagi, ya. Tunggu Gukie berumur lima tahun dulu. Kasihan kalau dia harus merelakan kasih sayang mama dan papanya untuk dibagi." Jihye mengangguk tanpa ragu. "Omong-omong, apa Jungkook masih mesum?"

Jihye mengerjap lambat. Wanita itu berdeham dan meletakkan pandangannya ke arah lain. Tentu saja ia bingung harus menjawab apa lantaran sang mama bahkan tdiak tahu soal kepergian Jihye dari apartemen Jungkook.

"Tidak," jawabnya singkat—membuat mama terkekeh geli dan berakhir menyingkir dari ruang santai. "Mama mau apa?"

"Mama mau masak untuk menantu Mama!"

....

Setelah makan malam usai, Jihye memutuskan untuk pulang dari kediaman orang tuanya bersama Jungkook yang sejak sore singgah di sana dan membantunya mengurus Gukie.

"Mau mampir ke mana?" tanya pria itu sembari mengarahkan atensi pada jalanan yang tak begitu ramai.

Jihye berpikir sesaat. "Agaknya mampir ke kafe bisa membantu mengurangi penat. Beberapa hari ini waktuku hanya untuk mengurus Gukie. Aku mau es krim. Boleh?"

"Of course," jawab Jungkook lalu melajukan mobilnya pada kafe terdekat dari rumah keluarga Park. Mobil sedan itu berhenti manakala manik Jihye menangkap kafe yang pernah ia kunjungi. Kemudian ia keluar dari mobil dengan Gukie yang berada di gendongannya.

Alunan biola menjadi suara sambutan pertama saat Jihye hendak melangkah memasuki kafe. Wanita itu mengembangkan senyum, lantas menatap pemain biola tersebut ketika lagu My Heart Will Go On dimainkan.

"Kau mengingatku dengan baik," ujar Jihye senang. "Terima kasih."

Pemain biola tersebut balas tersenyum sebelum Jihye melangkah ke dalam kafe dan duduk di meja yang Jungkook pilih. "Mau es krim pistachio!"

Jungkook terkekeh gemas, kemudian memesankan makanan dan minuman yang wanitanya mau. "Memangnya boleh makan pedas?"

Jihye mengangguk sambil menepuk pantat Gukie. "Boleh. Dokter tidak melarangnya asal dengan takaran yang pas," sahut Jihye. Jawaban itu sontak membuat Jungkook mengangguk.

Mereka lalu sama-sama diam. Jungkook asyik memandang gerak-gerik Jihye yang sedang tersenyum menatap wajah tertidur Gukie. Senyum tipis itu diam-diam ia rekahkan.

"Jiya ..." Suara berat Jungkook menarik perhatian Jihye untuk mendongak. "Aku sangat mencintaimu," pungkas pria Jeon tersebut yang hanya mendapat respons senyum lembut yang terpatri dari bibir Jihye.

***

Holla para mamen yang punya jari-jari neghujat Jungkook (haha). Aku kasih satu extra part buat kalian yang tidak beli ebook maupun fanbook biar ngga terlalu penasaran >.<

Ah, iya. Informasi lagi. Nanti freebies di Fanbook bakalan aku tambah, ya. Tapi aku belum kepirikan mau nambahin apa. Jadi, ntar kalian nunggu Fiance dateng di rumah kalian aja biar tau apa tambahannya xixi

Selamat malam minggu (bener kan ini sabtu?),

ymowrite

Fiance ✓Where stories live. Discover now