𝑇𝑅𝐴𝐺𝐸𝐷𝐼 35

2.9K 282 22
                                    

Bonus

Enjoy it!!

Ditariknya nafas panjang sebelum kembali dihembuskan. Tinggal sebentar lagi, sugesti dirinya, berusaha menguatkan diri.

"Udah selesai?"

"Retoris" Amber menyerahkan benda pintar tersebut kepada pemiliknya, hp Amber sendiri sudah ia buang mengingat karena benda itu keberadaannya jadi mudah dilacak. "Gue mau ketempat tadi," ujarnya memberitahu. "Sendiri," sambungnya.

"Gak. Gue ikut" sahut Ragas cepat.

Kernyitan didahi mulus Amber muncul. "Gue sendiri" ulangnya penuh penekanan.

Raut wajah Ragas berubah datar. "Iya atau gak sama sekali" cowok itu mencengkram pergelangan tangan Amber keras.

"Sakit anjir" ringis Amber. "LEPAS! Lagian itu hak gue mau pergi kemana sama siapa!" Sarkasnya. Amber menyentak kasar tangan Ragas.

Tanpa peduli lagi Amber berlari darisana, untung jarak tempat yang dituju memang cukup dekat dari sini. Gadis itu sudah menghafal jalanan yang ia lewati.

Langit malam seolah lebih gelap dari biasanya, kali ini Amber merasa lebih kosong, apakah karena nyaris semua orang yang dikenalnya telah terbunuh. Sayangnya dia bukan Yara yang mengharapkan kebahagiaan bagi semua orang, Amber tak merasakan apapun, baginya mereka tak lebih dari sekedar orang asing yang berpapasan dijalan.

Keringat mulai bercucuran membasahi bajunya, hal itu tak memelankan laju lari Amber, dia harus bergerak cepat.

Setelah sampai, Amber masuk kedalam tempat itu. Keadaan didalam masih tampak sama seperti tadi, yang membedakan, sudah tidak ada lagi penjaga disetiap sudut ruangan.

Amber sempat berhenti untuk mengambil seonggok tongkat baseball yang sepertinya sempat digunakan Nathan untuk menyiksa korbannya.

Hingga tibalah dipusat bangunan. Sebuah ruangan luas dengan atap yang begitu tinggi, ada beberapa lukisan dan ukiran yang tampak kuno sebagai estetika disini. Pencahayaan hanya berasal dari atap berbentuk setengah lingkaran yang memang transparan. Semakin menambah suasana mencekam.

Amber mengambil sebuah lilin dari sakunya, lilin yang terakhir kali dibawa Helion. Kakinya bergerak maju kedepan, seiras dengan dentingan jarum jam. Diiringi suara decitan tongkat baseball beradu dengan lantai.


"Venus!!" Teriakan penuh amarah menggema diruangan itu.

Amber tak mengindahkan, ia tetap berjalan maju hingga sampai dihadapan tujuh tiang yang disetiapnya ada tubuh manusia.

Bukankah sudah Amber bilang, tidak ada yang bisa dipercayainya selain dirinya sendiri. Ragas? Cih, dia sama saja.

Nathan berdiri dibibir ruangan. Penuh dengan luka dan menyedihkan. Lihatkan? Ragas tidak membunuh Nathan begitupula pada Yesya, gadis itu masih hidup. Bagaimana Amber bisa tahu, jelas karena dia mengotak-atik ponsel Ragas tadi. Tujuan Ragas adalah agar Amber tetap dalam bahaya, dengan begitu hanya Ragaslah satu-satunya orang yang dapat membantu Amber, maka mau tidak mau Amber harus bergantung pada Ragas seorang.

Licik sekali pikirnya.

Ragas lengah akan satu hal, yakni membiarkan Amber bebas sejengkal. Kesalahan sejengkalnya akan melebar karena ini adalah Amber- sigadis picik dengan sejuta tipu muslihatnya.

Dia tidak mengharapkan akhir bahagia bagi dunia ini, dia muak berada disini.

Brak

Brak

Brak

Mengayunkan tongkat baseball dengan sekuat tenaga, bergerak brutal menghancurkan segala yang ada. Wadah penampung cairan berwarna merah hancur berkeping menyebabkan cairan itu melebar kemana-mana.

Gadis itu tidak peduli, dia tetap sibuk dengan kegiatannya.

"Venus apa yang lo lakuin!!" Jerit Nathan penuh amarah. Dengan tertatih Nathan berjalan menghampiri Amber, darah yang berasal dari lukanya terus mengucur deras menyebabkan sepanjang lantai kotor.

Sebelum Nathan menginjakkan kaki semakin dekat, Amber membalikan badan.

Tubuhnya telah dipenuhi cairan berwarna merah. Satu yang jadi perhatian Nathan, Amber membawa sebuah tengkorak dalam genggamannya.

Tak ada raut wajah bersalah pada Nathan, justru dia terbahak keras. Seolah ada hal besar yang patut ia tertawai.

"Lo udah tau semua" Nathan menghentikan tawanya. "Teman kecil gue yang polos- ah atau jiwa asing ini ternyata pintar banget." Cowok itu menyatukan tangan membuat gerakan tepuk tangan.

Amber diam. Membiarkan Nathan sebelum ia menekan benda digenggamannya mengakibatkan Nathan jatuh bersimpuh disertai ringisan.

"Jadi... karena kita masih punya 20 menit," Amber melirik kearah jarum jam lalu kembali menatap Nathan merendahkan "cukup kan"

Gadis itu mendudukan diri diatas meja persembahan. Tepat disebelah lingkaran abu yang sudah dibuatnya. Kakinya menjuntai kebawah, mengayun pelan. Dia sempat melirik ke bibir ruangan, tepat waktu sekali.

"Pertama-tama kenalin gue Amber. Jiwa asing yang ditarik Riksa kesini, huh ngerepotin banget" keluh Amber. "Dan buat lo Nathan- lo gampang banget dah dikibulin, lo pikir Yesya mau sama lo? Andai lo tau kalau dia berencana pergi ke Jepang buat ninggalin lo." Amber membuat raut seolah ikut merasa prihatin.

"Tutup mulut sialan lo!" Murka Nathan.

"Gue juga pinter sih ngibulin lo, lihat sekarang?" Dia melebarkan tangan, menunjukan pada Nathan siapa yang memegang kendali disini. "Mau gue kasih tau sesuatu? Ini rahasia banget sih sebenernya, tapi gak papa. Gue suka sama lo," Amber tersenyum lebar. "Sayang banget, baik gue maupun Venus gaada yang lo bales perasaannya, hati butek lo udah terlanjur fall in love with Yesya. Arghhh gue benci sama Yesya!"

Amber tak akan lupa dengan fantasi gila Yesya mengenai menjadikan Venus boneka kesayangannya, boneka yang bisa ia hias sesuka hati.

Suhu ruangan itu seolah turun drastis. Nathan tak mampu lagi mengeluarkan sepatah kata karena Amber menekan aksesnya melalui pusat dirinya yang lain, yang tak lain adalah benda digenggaman gadis itu.

"Gue gak mau kayak gini sebenernya, tapi gue udah terlanjur gila sendiri. GUE MUAK SAMA KALIAN!!" Jerit Amber. Matanya memerah menatap dua orang di ruangan ini.

"Ragas, lo pikir bisa ngontrol gue. Harusnya lo belajar dari kesalahan, dengan jadiin gue sebagai pengganti Yara sama aja masuk kelubang yang sama. RedGuy diambang kehancuran, posisi lo dipertaruhkan. Apalagi yang sekarang lo punya?" Dia terkekeh sinis. "Lo terlalu implusif, ngutamain otot dibanding otak, lo pikir bagus lo gitu," decaknya. "Sampai lo gak tahu orang yang paling lo percaya nusuk dari belakang. Apa lo gak penasaran sama siapa yang udah bawa kabur Yara dan bantu gue nyusun ini semua?" Amber menjeda ucapannya. "Helion. Dia orangnya, bahkan dia kerjasama sama Eros untuk negerebut posisi lo"

Ragas yang berada dibibir ruangan mematung.

Amber menunduk. Dia sudah selesai menyampaikan pesan Yara. Bisa-bisanya gadis itu tetap menginginkan kebahagiaan bagi semua orang yang telah membuat dirinya menderita.

Matanya berkaca-kaca. Perasaannya bergejolak. "Gue mau balik. Gue cuma pengen pulang, kenapa kalian buat gue susah!" Raungnya. "Gue gabisa bunuh lo!" Tunjuknya pada Nathan. "Arggh, anjing gue benci!! Kenapa Yara masih bisa baik ke bajingan kayak kalian, harusnya dia gak mentingin kalian" ucapnya dengan lirihan diakhir.

Ini sangat tidak adil, diakhirpun dia hanya mendapat secuil perasaan Nathan yang ragu akan dirinya.

Waktu habis.

Amber segera berdiri, dia menempatkan diri ditengah lingkaran abu.

Nathan mulai menjerit kesakitan, badannya melengkung hingga menimbulkan bunyi patahan tulang. Garis-garis hitam tampak mulai menjalar memenuhi wajahnya. Itu adalah konsekuensi bagi persembahan yang gagal.

Ketujuh mayat itu tampak terbakar oleh api tak kasat mata, sebelum memejamkan mata, Amber sempat menatap Ragas.

Sementara Ragas menatap Amber rumit. Handphone yang berada digenggamannya masih menyala, menunjukan layar yang menampilkan sebuah note.






To be contiuned
.
.
.






Yuhuuuu, otw end. Kira² happy or sad?

Untold Story Of CharacterWhere stories live. Discover now