𝑇𝑅𝐴𝐺𝐸𝐷𝐼 0.8

21.6K 1.8K 7
                                    

Hangatnya mentari menyeruak masuk. Seseorang yang tidur dalam posisi tak beraturan- kepala dibwah dan kaki diatas- itu melenguh panjang.

Amber mengerjab. Pandangannya yang semula buram lama kelamaan berubah jernih. Posisi yang tak benar, membuat seluruh benda seolah berbalik. Ekspreksinya datar. Secara alami tangannya bergerak didepan wajah, menghalangi bias mentari yang menerpa wajah.

Mata sembab. Wajah pucat. Bibir kering.

Amber tak percaya. Bisa-bisanya semalam ia menangis. Padahal terakhir kali menangis ketika ia berumur 13 tahun dimana orang tuanya tidak datang mengambil rapotnya. Itu menyakitkan, kemudian semenjak itu ia sudah tidak pernah menangis lagi. Sayangnya, rekor itu terpatahkan semalam. Hanya karena perasaan sialan Venus yang menghujam nurani. Ingatan Venus yang datang mengguncang batin.

Amber Cessia memang dikenal nakal, tapi sejatinya Amber tetaplah perempuan. Hatinya rapuh, bahkan mungkin sudah hancur.

Hadirnya ingatan dan perasaan Venus malah semakin membuatnya lebur.

Semalam Amber seolah dibawa pada sebuah kamar mewah, didalamnya ada seorang gadis kecil yang tengah meringkuk disudut ruangan. Ia ingin bertanya, namun bibirnya seakan kelu.

Ketika gadis kecil itu mendongak, Amber menyadari. Ini adalah ingatan Venus 8 tahun lalu.

Pintu kamar terbuka. Amber berbalik, netranya menatap awas pada seorang pelayan yang membawa pisau tajam. Pelayan itu menembus tubuhnya, pelayan itu berjalan lurus menuju satu titik.

Tubuh gadis kecil yang tak lain Venus itu bergetar hebat.

Selanjutnya Amber mematung. Hatinya seakan ikut teriris melihat anak sekecil Venus disiksa begitu kejam.

Pelayan itu mencubit dan menyayat beberapa bagian tubuh Venus kecuali wajah. Amber ingin berteriak, memaki pelayan itu agar berhenti. Itu tak pernah bisa karena tubuhnya seolah dikendalikan.

Amber memejamkan mata manakala pelayan itu menelanjangi Venus dan menyayat nyayatnya. Raungan kesakitan Venus terdengar menyedihkan sekaligus meninggalkan trauma begitu dalam.

Tanpa terasa air mata kembali mengalir deras.

Amber terisak kecil memyudahi kilasan itu. "Gue gak tau kalau semenyedihkan itu," Paraunya seolah berbicara dengan Venus asli.


***



Hari ini Amber memilih bolos. Gadis itu pulang kekediaman Grivanbeer. Perihal Nathan, cowok itu hanya diam ketika melihat Amber pulang mengendarai motor sendiri, segitu acuhnya.

Ketika sampai ia langsung disambut oleh beberapa satpam. Amber tak menghiraukannya. Amber memarkirkan motornya tepat didepan latar pintu utama, ia terus masuk kedalam. Beberapa maid yang melihatnya turut menunduk. Ekspreksi gadis itu mengeras.

Amber mengingat jelas wajah jalang yang menyiksa Venus. Bisa-bisanya wajah itu masih berada dirumah ini.

Hati Amber seperti terbakar.

Plak

Tanpa aba-aba ia menampar keras pipi seorang maid.

Maid itu mematung. "No- nona" Ucapnya terbata.

Plak

Amber tak peduli lagi dengan uban yang dimiliki maid itu, amarahnya memuncak. Ingin orang ini terbakar api neraka selamanya.

Dengan tak berperasaan Amber menarik kepala maid itu dan menyeretnya paksa. Maid itu merintih berusaha melawan namun kalah. Amber membawanya pada aquarium piranha peliharaan Antariksa. Ia menceburkan kepala maid itu, mengangkatnya sesekali, begitu hingga wajah maid telah tak berbentuk.

Tak ada yang menghentikannya. Semua orang bungkam akan apa yang dilakukan nona muda.

Raut wajah Amber datar.

"Venus! Apa yang kamu lakukan!"

Ternyata Lucian masih berada disini. Amber segera berbalik. Tangannya melepas begitu saja maid tadi. Gadis itu kembali mengambil langkah lebar menuju Lucian di ujung tangga.

Sementara maid lain segera mengevakuasi maid tua tak berdaya tadi.

Rahang Lucian mengeras. "Apa alasan kamu?" Lucian berusaha menjaga nada suaranya. Mau bagaimanapun Venus adalah putrinya. "Kenapa kamu berbuat seperti ini?"

"Harusnya anda tau!" Balas Amber.

Lucian mengerutkan kening. "Kalau kamu masih marah dengan perceraian saya dan mamamu, kamu tidak bisa melampiaskannya pada orang tidak bersalah," Itu adalah stigma dari Lucian. Baginya pemikiran remaja labil mudah ditebak.

Amber tertawa sarkas. Matanya berkaca-kaca. "Anda gak tau?"

Lucian tersentak melihat putrinya berkaca-kaca. Pikirannya seketika menebak bahwa pemikirannya salah. Akhirnya pria berkepala empat itu memijat pangkal hidungnya yang berdenyut, ia dipusingkan dengan masalah perusahaan, perceraian, dan sekarang putrinya.

"Apapun alasan kamu, kamu harus bertanggung jawab pada maid itu," Tegasnya.

Amber memandang Lucian marah. "Serius anda gak tau dengan apa yang anak anda alami?" Tanyanya tak percaya. "Kalau gitu anda harusnya cari tahu!" Serunya. Gadis itu pergi darisana. Ternyata orang tua Venus sama saja.

"Venus!" Lucian mengepalkan tangannya. Pikirannya berkecamuk memikirkan perkataan anaknya, sebenarnya apa yang tidak ia tau. "John!" Asisten Lucian yang memang menunggu atasannya sedari tadi itu segera mendekat. "Cari tau apa yang terjadi antara Venus dan maid tadi," Ia harus segera mencari tau.

John mengangguk patuh.










Amber mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Berkali-kali pengendara lain meneriakinya, berkali-kali pula Amber menantang nyawa.

Perasaannya harus melebur dengan sakitnya perasaan Venus. Amber muak, ia tak tahan.

Tak memperhatikan jalan, ia bertabrakan dengan pengendara lain.

Amber terpental cukup jauh dari motornya. Ia membiarkan tubuhnya terlentang dijalanan, seluruh organnya seolah remuk. Beruntung keadaan jalanan sepi.

Gadis itu membuka helm merasakan sesak akibat nafas tak beraturan. Teriknya matahari langsung menyentuh kulitnya. Perlahan nafasnya kembali teratur. Matanya terpejam menikmati momen ini. Netra gadis itu kembali terbuka kala merasakan terik matahari tak begitu lagi terasa.

Matanya menyipit memperjelas pandangan.

Sementara orang itu berdecak.

"Lo cewek semalam kan?"



To be contiuned
.
.
.

Untold Story Of CharacterWhere stories live. Discover now