60. Akhir dari semuanya.

83.9K 4K 317
                                    

Setelah kelulusan satu bulan yang lalu menyisakan rasa sedih begitu dalam. Kenangan semasa mondok menjadi hal yang tak pernah mereka lupakan dalam ingatan. Sekolah tempat kita bertemu, dan sekolah tempat kita untuk berpisah. Akan tetapi persahabatanlah yang membuat hati dan kenangan menjadi indah. Itulah filosofi dalam dunia persekolahan salah satunya adalah perpisahan. Banyak membenci kata perpisahan apalagi pergi tanpa mengucapkan kata berpamitan. Tapi demi meraih masa depan yang belum digapai maka mengikhlaskan adalah jalan terbaik untuk melepaskan.
Hal itu kini di rasakan oleh perempuan yang sebentar lagi akan bergelar menjadi seorang ibu.
Kini wanita itu sedang melakukan senam ibu hamil yang di mana menggunakan alat berupa Gym ball berbahan karet. Dengan melihat instruksi lewat layar televisi, Lisa begitu fokus mempraktekkan gerakan demi gerakan tersebut. Senam gym ball sangat bermanfaat bagi ibu hamil terutama masa-masa persalinan yang akan datang.
Sepuluh menit berlalu, Lisa sudah selesai melakukan senam. Ia baralih mematikan televisi dan duduk di tepi ranjang.
"Alhamdulillah selesai juga." Lisa sembari menyeka keringatnya menggunakan handuk berukuran kecil.
Terdengar suara pintu terbuka yang di mana Ummi Safitri masuk dengan susu ibu hamil di tangannya.
"Assalamualaikum, mantu Ummi," sapa Ummi duduk di samping Lisa.
"Waalaikumsalam, Ummi."
"Baru selesai senam?" Melihat keringat di dahi Lisa.
Lisa mengangguk. "Iya Ummi, ini Lisa baru selesai," balas Lisa tersenyum manis semanis es dawet.
"Ini Ummi bawakan susu ibu hami buat kamu," seraya menyerahkan segelas susu rasa coklat.
Lisa pun menerima susu tersebut dengan antusias. "Wah makasih banyak Ummi."
"Di habisin."
Lisa mengangguk. "Bismillah." Sebelum meminum susu.
"Alhamdulillah," ucap Lisa setelah meminum susu coklat pemberian dari Ummi Safitri.
Ummi Safitri mengambil gelar yang kosong dari tangan Lisa. "Rafan kemana?"
"Hm... Enggak tahu Ummi tadi sih bilangnya izin keluar sebentar tapi sampai sekarang enggak pulang- pulang," Lisa mengutarakan bagaimana ia begitu sedih lantaran suaminya sedari tadi tak menampakkan batang hidungnya.
"Astagfirullah tuh anak udah tahu istri hamil besar malah di tinggal sendirian," omel Ummi tak habis pikir dengan putra sulungnya itu.
"Ya sudah nanti kalau suami kamu sudah datang, Ummi jewer telinga dia biar tahu rasa." Lisa terkekeh geli mendengar penuturan dari Ummi Safitri yang bakalan menjewer telinga Rafan.
Bayangan di mana sang suami di jewer nantinya menambah gelak tawa Lisa semakin menjadi-jadi. Kalian bayangkan saja bagaimana jadinya seorang Gus dingin sedingin es dan ketua motor bakalan mendapatkan jeweran maut dari sang ibu.
Sungguh lucu bukan? Itu yang di pikirkan Lisa saat ini.
"Kenapa kamu ketawa Sayang?" Ummi heran melihat Lisa tertawa.
"Lucu aja, Ummi. Mas Rafan yang keliatan cuek, dingin ditambah lagi dia seorang ketua geng motor, di jewer karena ninggalin Lisa." Kembali ia tersenyum geli.
"Dia udah sering di jewer Abah nya," ungkap Ummi membuka rahasia Rafan di masa kecilnya.
"Serius Ummi?"
Ummi Safitri mengangguk mengiakan pertanyaan Lisa. Lisa semakin penasaran dan ia merapatkan posisinya agar bisa mendengar cerita dari Ummi Safitri.
"Dulu Rafan sering bikin onar di pondok terutama di asrama putri." Lisa mengernyit bingung.
"Asrama putri?" beo Lisa semakin penasaran, "Emang ngapain ke sana."
"Kabur dari hafalan. Biasa umur segitu lagi lucu-lucunya jadi pikirannya main terus dan jajan."
Lisa terkekeh kecil. "Mas Rafan selucu apa sih Ummi jadi penasaran Lisa?"
Ummi menoleh ke arah Lisa. "Suami kamu dulu lucu, tampan sejak kecil dan banyak santriwati yang suka main sama Rafan. Yah tapi ada nila minusnya," pungkas Ummi kembali mengingat masa-masa Rafan kecil.
Di mata semua orang tua terutama seorang ibu, walau kita beranjak dewasa tetapi di matanya tetap lah anak kecil yang selalu ia gendong. Sehebat-hebatnya seorang anak tetap rapuh ketika bersama orang tua. Ia akan kembali menjadi anak kecil yang manja, masih butuh pelukan, sandaran jika sedang rapuh akan kejamnya dunia, dan haus akan kasih sayang.
"Ummi punya foto Mas Rafan masih kecil?"
"Kamu mau lihat."
"Iya Ummi," ucap Lisa antusias dengan senang. Ia sangat penasaran seperti apa suaminya di waktu kecil.
"Sebentar Ummi ambilin fotonya dulu." Lantas ummi berlalu dari kamar Lisa.
Tidak butuh lama, Ummi kembali dengan membawa satu album yang berukuran besar yang di mana terlihat usang di bagian sampulnya.
Ummi pun duduk dekat Lisa, perlahan membuka album yang bertuliskan family memories. Foto pertama terlihat seorang anak kecil bersorban putih di kepalanya. Tangannya menggenggam permen loli di perkirakan rasa coklat. Lucu, tampan, itu yang bisa di gambarkan pada sosok anak kecil itu.
"Lucu banget," ucap Lisa melihat Rafan kecil, "ini mas Rafan kan, Ummi?" tanya Lisa yang di anggukin oleh Ummi.
Ummi kembali membuka lembaran album selanjutnya. Dan sampai lembaran terakhir yang memperlihatkan lima anak laki-laki saling merangkul satu sama lain.
"Oh, ini siapa aja, Ummi?"
"Ini sahabat Rafan. Ini nak Panji, Irul, Azam dan yang giginya ompong namanya Anza. Mereka berlima sudah berteman sejak kecil," ucap Ummi.
"Jadi mereka teman Mas Rafan dari kecil dong?"
"Kamu baru tahu?" Lisa mengangguk polos.
Ummi tertawa saat melihat wajah polos mantunya itu. Pantas aja kalau putra sulungnya sangat menyayangi Lisa karena memiliki sifat seperti anak kecil dan kepolosannya yang membuat Rafan tergila-gila.

*****

Terlihat seorang perempuan berhijab tengah duduk di kursi teras depan rumahnya. Dengan balutan Hoodie coklat, di padukan celana kulot hitam, ia asik membaca informasi seputar universitas yang akan ia tuju.
Suasana di sore hari itu kian menambah kesan yang damai tanpa ada keributan yang hanya suara angin sepoi-sepoi. Namun, hal itu tak bertahan lama sampai suara dari arah dalam rumah memecah keheningan.
"ADEK!" teriak seorang pria menggelegar.
Namun, yang di panggil namanya tak bergerak sedikit pun melainkan tetap fokus pada layar laptop di depannya.
"Adek! Di panggil nggak denger- dengar." Laki-laki itu keluar seraya menatap kesel pada lawan bicaranya.
"Bisa nggak sih jangan pakai teriak-teriak? Ini rumah bukan hutan rimba, Lo kira gue budek apa?!" sentak Kila menatap tajam.
"Eh Marfuah. Gue dari tadi manggil-manggil lo tapi lo nya yang nggak denger. Berarti lo budek!"
Kila melotot marah. "Bisa kan lo samperin gue ke sini. Emang ada tokoh nyamperin pembeli? Nggak ada, kan?" desis Kila tak kalah tingginya, ia kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
Anza yang terabaikan, berjalan mendekati Kila. "Minta nomer teman lo yang imut itu," ucapnya to the poin. Kila dengan cepat menoleh ke arah Anza.
"Apa lo bilang? Minta nomer teman gue?" tanya Kila menunjuk ke arah dirinya.
Anza mengangguk. "Iya teman Lo si... Uus, yah namanya?" Sebut Anza sedikit lupa.
"Uswatun," ucap Kila membenarkan. Anza pun mengangguk semangat.
"Buat apa Lo minta nomer telpon teman gue? Ah, gue tahu, pasti lo suka kan sama Uswatun?" Tebak Kila menatap Anza curiga.
"Kalau iya kenapa?"
"Cieee ... Jatuh cinta niee ..." goda Kila.
"CK, cepat Dek nomernya mana?" Anza mendesak tak sabar.
"Sabar-sabar orang sabar jodohnya Suga." Anza mengernyit bingung.
"Suga?"
"Mantan gue."
Bentar-bentar, mantan? Sejak kapan adeknya itu mempunyai mantan? Kan dia selama ini berada di pondok. Terus Anza baru mendengar nama Suga, apakah dia manusia atau spesies makhluk lain? Pikir Anza.
"Jadi Lo pacaran di pondok? Sama sih Sugianto?"
"CK, bawel deh kayak Dora. Namanya Min Yoon Gi." Protes Kila membenarkan ucapan Anza
"Nama apaan itu? Nggak jelas banget ngasih namanya. Manusia apa hewan tuh?" Kila berdecak kesel lantaran abangnya itu super bawel seperti Uswah sahabatnya.
"Manusia lah, yakali hewan."
"Terus sejak kapan lo pacaran sama sih Yoo ji?" Kembali Anza melempar pertanyaan lagi.
Rasanya Kila ingin melempar Abangnya itu ke planet Pluto. "Pacar halu!"

*****

Rafan yang baru sampai di rumahnya langsung bergegas menuju kamar. Ia merasa bersalah telah meninggalkan istrinya sendiri dengan waktu cukup lama. Kalau begini di pastikan istri bocilnya itu merajuk dan hasil Rafan tak boleh mendekati dirinya selama beberapa hari. Ah, rasanya Rafan menyesal sekali kenapa ia menuruti para sahabatnya untuk mengobrol sesuatu yang tak jelas.
Sesampainya di depan pintu, Rafan langsung masuk ke dalam kamarnya dengan sangat hati-hati. Namun, saat ia masuk tak mendapati istrinya di dalam.
Sampai ketika Rafan mendengar suara gemericik air di dalam kamar mandi. Ternyata istrinya sedang mandi.
Rafan memilih duduk di atas ranjang sembari bermain handphone. Tak berselang dari itu, pintu kamar mandi terbuka menampilkan seorang wanita cantik keluar dengan handuk kimono pendek yang hanya selutut. Lalu tatapannya tertuju pada pria yang di hadapannya yang sedang menatap kearahnya.
Namun, Lisa tak menghiraukan keberadaan Rafan walau pria itu menatapnya intens. Ia berjalan begitu santai menuju Walk in closet untuk berganti pakaian. Sibuk mencari pakaian yang ia gunakan. Sepasang tangan kekar melingkar tepat di perut buncitnya. Tanpa menoleh pun Lisa sudah tahu pemilik tangan tersebut.
"Maaf," bisik Rafan begitu lirih pada telinganya, dengan kepala ia letakkan di bahu perempuan itu yang belum terbalut kain pun. "Mas minta maaf, Bee. Karena ninggalin kamu terlalu lama."
Lisa tak bergerak atau sekedar menyahut yang hanya ia lakukan diam dan membiarkan suaminya itu menyelesaikan ucapannya. Karena itu termasuk adab seorang istri ketika suami sedang berbicara. Dan termasuk salah satu cara mengatasi masalah dalam berumah tangga.
"Bee," ucap Rafan lagi. Ia tahu kalau istrinya itu sedang marah terhadap dirinya. Jadi ia akan menerima konsekuensinya apapun itu.
Terdengar helaan nafas berat dari sosok yang Rafan peluk. Lalu, Lisa berbalik dan menghadap penuh ke arah Rafan. "Iya aku maafin, Mas." Kata Lisa dengan senyum manis semanis es cendol.
Kemudian Rafan kembali memeluk tubuh Lisa lagi. "Maaf ya sayang, Mas janji nggak bakalan ninggalin kamu lama lagi. Mas khilaf sayang." Rafan berucap seraya mencium aroma lavender ditubuh Lisa yang baru selesai mandi.
Lisa menjauhkan badannya. "Jangan cuman janji, harus tepati. Terkadang omongan bisa berdusta kalau tidak diiringi dengan tindakan."
"Iya, Bee iya."
"Yaudah sana Lisa mau ganti baju," usir Lisa pelan seraya mendorong tubuh kekar Rafan.
"Butuh bantuan?" tanya pria itu seraya tersenyum menggoda.
"Apaan sih, Mas. Modus terus!" cibir Lisa mendorong tubuh kekar Rafan keluar dari sana.
"Modus sama istri sendiri nggak papa lah, Bee. Malahan dapat pahala." Rafan terkekeh gemas karena menggoda istri kecilnya itu bahkan wajah Lisa kini memerah seperti pantat kuda Nil.
"Cieee... Yang salting sampai merah kayak gitu." Rafan semakin gencar menggoda Lisa lagi.
"Mas Rafan! Ah nggak asik deh. Sana keluar nanti Lisa ngambek lagi nih?" ancam Lisa berkacak pinggang dengan melayangkan tatapan garang. Namun, bukan terlihat garang tetapi terlihat menggemaskan bagi Rafan.
"Iihh... Lucu banget sih istri Rafan. Pengen makan deh." Rafan langsung ngacir keluar dari sana sebelum Lisa kembali meraung lagi.
Sungguh Rafan tidak bisa menahan tawanya. Ia sangat suka melihat mimik wajah menggemaskan Lisa kalau saat mode ngambek atau pun marah.
Saat Rafan hendak duduk di atas kasur. Tiba-tiba terdengar suara benda terjatuh di dalam Walk in closet. Ia langsung masuk kedalam sana tanpa berpikir panjang.
"Bee," Rafan masuk dengan wajah khawatir. Alangkah terkejutnya Rafan saat melihat cairan putih merembes dari baju Lisa.
"Mas... Sakit," adu Lisa memegangi perutnya.
"Kamu tahan ya? Kita kerumah sakit."
Bergegas Rafan menggendong Lisa ala bridal style dan membawanya keluar dari sana. Sebelum itu ia memakaikan kerudung instan pada Lisa.
"Mas...argh...sa-kit." Lisa mencengkram baju Rafan guna menyalurkan rasa sakit yang luar biasa ia rasakan.
"Ummi Abi...." Rafan sedikit berteriak seraya menggendong Lisa turun.
Selang beberapa menit Ummi dan Abi keluar. Alangkah terkejutnya saat mendapati Lisa yang meringis kesakitan sembari memegang perutnya.
"Astagfirullah, kamu mau lahiran sekarang?"
"Sepertinya iya Ummi."
"Yasudah cepat bawa mantu Abi ke rumah sakit," titah Abi, khawatir. Dengan langkah lebarnya, Rafan berjalan menuju mobil yang telah terparkir didepan.

*****

Suara rintihan dari seorang wanita cantik berkerudung hitam tengah berjuang untuk mengeluarkan malaikat kecil yang berada dalam rahimnya. Rasa sakit begitu dahsyat tengah ia rasakan sehingga tak terasa cairan bening merembes keluar dari kelopak matanya.
Sungguh perjuangan seorang ibu untuk melahirkan malaikat sekarang anak ke bumi butuh perjuangan ekstra sampai nyawa pun sebagai jaminan.
"Arghhhh ..." Lisa menggeram tak tahan dengan memegang kuat tangan Rafan sebagai penyalur rasa sakit.
"Kamu operasi aja, Bee?" ujar Rafan memberikan saran. Tanyanya senantiasa mengelus wajah Lisa.
Lisa menggeleng keras seraya memegang erat pada tangan Rafan.
"Aku bisa tahan Mas."
Lisa belum bisa melahirkan sekarang dikarenakan baru pembukaan keenam. Jadi Lisa harus menahan kontraksi sampai pembukaan sepuluh. Nggak terbayang gimana sakitnya.
"Mas nggak tega Bee lihat kamu kesakitan kayak gini," lirih Rafan mencium kening dan wajah Lisa. Seandainya rasa sakit bisa disalurkan pada dirinya, maka Rafan akan menanggung semua itu.
"Kamu operasi aja, ya? Mas nggak mau kehilangan kamu, M-mas ..."
"Shuut ... Mas lihat aku." Lisa menangkup wajah tegas Rafan dengan kedua tangannya sembari menahan rasa sakit.
Lisa kini bisa melihat mata elang itu yang mulai memerah. "Lisa nggak sendirian, ada Allah bersama Lisa. Mas harus yakin kalau Lisa bisa melewati ini semua. Aku sama dedek bayinya masih bisa bertahan sampai persalinan tiba." Tangannya mengusap cairan bening di mata Rafan.
Kini pria itu tak kuasa menahan tangisnya. Pecah sudah air mata Rafan yang sedari tadi ia tahan.
"Kalau ini kemauan kamu, Mas turutin. Tapi kalau nggak kuat bilang Mas, yah? Biar kita ambil jalan pintas," ucap Rafan begitu lirih akibat tangisannya.

Lisa mengangguk. "Kita berjuang sama-sama, yah? Kamu yang kuat di sana, Bunda di sini akan berusaha bertahan sampai kita bisa bertemu," kata Lisa tersenyum getir.
10 jam berlalu, kini Lisa memasuki pembukaan sepuluh dan Lisa dipindahkan ke dalam ruang bersalin.
Di dalam ruangan Lisa berusaha mengejan dengan instruksi dari dokter. "Ayo Bu dorong ...."
"Arghhhh ...."
Percobaan pertama belum bisa. Lisa mengatur nafasnya dan kembali mengejan kedua kalinya.
"Arghhhh ..." teriak Lisa dengan wajah yang penuh keringat.
"Ayo sayang, kamu pasti bisa," ucap Rafan memberi semangat. Tak henti-hentinya Rafan berdoa agar persalinan bisa berjalan dengan lancar.
"Sedikit lagi, Bu kepalanya sudah kelihatan." Dokter tersebut memberi instruksi lagi dan Lisa mulai mengejan ketiga kalinya dengan sekuat tenaga.
"ARGHHHH ...."
Lisa menjatuhkan kepalanya lemas, bersamaan dengan suara tangisan Bayi yang memenuhi ruangan. Tepat saat itu juga tubuh Rafan membeku, tenggorokannya tercekat dalam satu waktu.
"Alhamdulillah bayinya laki-laki," kata dokter, lalu ia meletakkan bayi yang masih berlumuran darah ke dada Lisa.
Rafan menatap penuh haru pada bayi berjenis laki-laki yang masih berlumuran darah itu. Anak pertamanya lahir ke dunia, dari hasil cintanya dan Lisa.
"Aku benar-benar jadi ayah sekarang," bisik Rafan gemetar di telinga Lisa. Tak lupa ia membumbui wajah Lisa dengan ciuman kasih sayang.
"Terimakasih, Bee. Terimakasih kamu telah berjuang melahirkan malaikat kecil kita." Rafan mencium kening Lisa penuh kelembutan.


Ending

PESONA GUS  ( SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now