53. Redupnya sang mentari

53.2K 3.7K 957
                                    

"GUBOS!!"
Suara teriakan dengan bersamaan suara tembakan menggema di penjuru ruangan. Satu Peluru menembus perut bagian kiri pada seseorang yang berusaha melindungi Rafan dan Lisa. Rafan yang masih memeluk tubuh Lisa berbalik kebelakang dan detik itu juga Lisa terbelalak kaget saat melihat Kila berada di depannya sebagai tameng untuk melindungi dirinya.
"Kila!" Seketika itu tubuh Kila ambruk ke lantai dengan darah yang mengucur keluar dari perutnya.
Lalu Lisa merengkuh tubuh Kila dalam dekapannya. "Kila kenapa kamu ngelakuin ini?" Lisa bergetar saat memegang tubuh Kila.
Kila tersenyum tipis. "Tenang gue gak papa kok," seraya menahan sakit di perutnya, Lisa mulai terisak.
"Adek!" jerit Anza yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu. Buru-buru ia berlari cepat ke arah Kila. Dari arah belakang Panji dan Irul juga ikut menyusul setelah mendengar suara tembakan yang berasal dari ruangan.
Kila menoleh kesamping. "Abang?" ucapnya lemah.
Anza mengambil alih tubuh kecil Kila dalam pangkuan Lisa. "Gue hebat, 'kan?" Lirih Kila, rasa sakit mulai menjalar keseluruhan tubuhnya.
Anza tersenyum getir. "Iya, Adek Abang yang paling hebat." Anza menekan luka di bagian perut Kila agar menahan darah yang keluar.
"Kila... maaf, Kil." Lisa menggenggam tangan Kila yang mulai mendingin.
"Shuut! Lo jangan nangis. Gue gak suka liat air mata lo," ucapnya terbata-bata.
Lisa makin terisak. Dadanya sesak tak karuan. Lisa tidak menyangka atas tindakan Kila yang rela tubuhnya di tembak untuk melindungi dirinya.
Tiba-tiba ia merasakan sakit begitu dahsyat. "S-sa-kit... Bang," adu Kila mulai merasakan sakit.
"Adek bertahan, ya. Kita ke rumah sakit sekarang." Anza menggendong tubuh Kila ala bridal style.
"Pakai mobil gue di luar," tutur Aslan. Lalu Anza membawa tubuh Kila keluar menuju mobil Aslan.
"Awasi semua jalanan, jangan sampai ada kemacetan sedikitpun!" titah Aslan pada anak buahnya.
"Siap Bos!"
Lalu Aslan menghampiri mayat Key yang sudah tak bernyawa lagi. "Ck! Baru juga gue mau bermain sama tubuh Lo. Udah keduluan sama malaikat Izrail," ucap Aslan tersirat rasa kecewa.
Melihat kepergian Kila, Lisa semakin terisak sembari memegangi tangannya yang terdapat darah Kila.
"Bee." Rafan membawa Lisa dalam pelukannya.
"Kila Mas..."
"Iya, iya Bee. Kamu tenang dulu, Mas yakin kalau teman kamu bakalan baik-baik aja," ucap Rafan lembut.
"Tapi Mas..." kalimat Lisa terpotong di kala Rafan tiba-tiba mencium bibirnya.
"Dasar modus," gumam Aslan pelan saat tak sengaja melihat adegan 17+ dimatanya.
"Udah ya, nangisnya. Mas gak bisa liat kamu nangis kayak gini. Mending kita nyusul kerumah sakit aja," ajak Rafan seraya menghapus jejak air mata di mata Lisa.
Lisa terdiam dan kembali memeluk tubuh Rafan lagi.

*****

Di dalam mobil, Anza tak henti-hentinya menangis pilu melihat keadaan Kila yang begitu lemah. Tangannya sedari tadi menggenggam erat tangan Kila. "Tahan ya, Dek. Lo harus bertahan."
"Gu-e nggak kuat Bang. Apa gue nyerah aja?" Anza menggeleng kuat.
"Gak, gak. Lo gak boleh nyerah dulu, Dek. Lo harus bertahan demi Mami Papi. Jangan ngomong kayak gitu Dek... Abang mohon... bertahan..." jawab Anza tak kuasa menahan rasa sedihnya.
"Mana Adek gue yang kuat? Mana Adek gue yang suka marah-marah? Mana Adek gue yang hobi teriak-teriak?" tanya Anza mengelus wajah Kila yang mulai pucat pasih.
Kila tersenyum samar. "Abang maaf, ya. Selama ini gue nyusahin Abang, maaf kalau gue gak bisa jadi Adek yang baik bagi Abang," cicit Kila.
Anza menggeleng kuat. "Lo definisi Adek yang terbaik di dunia ini. Gue bersyukur banget mempunyai Adek sekuat, lo," ujarnya, "Jadi lo harus berjuang jangan nyerah dulu katanya lo mau ikut wisuda?" celetuk Anza menekan luka diperut Kila.
Mendengar itu. Kila tersenyum haru. Air matanya mengalir di sudut matanya. "Gue izin tidur dulu, ya? Gue ngantuk banget. Badan gue sakit semua. Tidur sebentar doang kok nggak lama. Nanti kalau udah sampai, bangunin gue lagi." Anza menggeleng kuat.
"Gue udah bilang jangan tidur dulu, Dek!" Namun mata Kila mulai menutup sempurna. Genggaman ditangannya mulai melonggar.
"TIDAKKK! BUKA MATA LO, DEK! GUE GAK NGIZININ LO UNTUK TIDUR! BANGUN DEK! JANGAN KAYAK GINI... PLISSS!!" Raung Anza melihat mata Kila terpejam sempurna.
"JANGAN HUKUM ABANG, DEK!" jerit Anza semakin pilu.
"ARGHHH!!"

****

Mobil hitam melesat cepat memasuki halaman rumah sakit. Semua staf sudah standby di depan. Dan puluhan anak buah Aslan juga berada disana. Sekarang rumah sakit sudah di kelilingi para anggota Raimond atas perintah dari Aslan sendiri.
Dengan cepat Anza meletakkan tubuh Kila di atas branka. Semua suster mendorong branka Kila memasuki keruangan operasi.
"Siapkan peralatan secepat mungkin!" titah salah satu Dokter.
Saat Anza ingin masuk. Salah satu suster menahannya. "Gue mau nemenin adek gue didalam!" bentak Anza.
"Maaf Pak. Bapak tidak bisa masuk ke dalam karena akan menggangu jalannya operasi," terang suster tersebut.
"Gue cuman mau nemenin Adek gue doang! Apa susahnya sih?!"
Azam dan yang lainnya yang baru tiba. Langsung menghampiri Anza yang beradu mulut dengan salah satu suster. "Ada apa ni Suster?" tanya Azam.
"Maaf Pak. Teman bapak bersikeras ingin masuk kedalam." ujarnya.
"Zam. Lo bilangin sama dia kalau gue mau nemenin Adek gue di dalam," pinta Anza memohon.
"Za. Lo gak bisa masuk kesana. Biarlah para Dokter yang nanganin Adek lo di dalam." Seraya membawa Anza menjauh.
Anza menatap tajam ke arah Azam. "LO GAK TAHU PERASAAN GUE, ZAM. DI DALAM SANA ADEK GUE BERJUANG SEORANG DIRI UNTUK HIDUP!! GUE CUMAN MAU NEMENIN DIA DOANG! GAk LEBIH!" Murka Anza bersamaan air matanya semakin mengalir deras.
Bugh!
"SADAR ZA! SADAR! BUKAN LO JUGA YANG SEDIH TAPI KITA JUGA!" Irul memukul wajah Anza. "Kalau lo kayak gini, nanti Adek lo bakalan sedih." Irul mengusap wajahnya kasar.
Dada Anza naik turun. Anza tak bisa menopang tubuhnya sendiri yang sudah lemas. Anza meraung keras. Lorong rumah sakit hanya terdengar suara tangisan dari sosok pria yang rapuh. Sosok Abang menangis melihat keadaan sang adek. Anza sebenarnya sangat sayang pada Kila. Walau Kila selalu membuatnya kesel tapi dibalik itu ia begitu menyayanginya.
Lisa melihat keadaan Anza yang begitu memprihatinkan. Lisa juga sedih saat melihat keadaan sahabatnya yang tak berdaya.
"Kenapa harus Kila, Mas? Kenapa harus dia? Kenapa buka Lisa aja yang jadi posisi Kila..." lirih Lisa.
Rafan menangkup pipi sang istri. "Kamu mau liat Mas kayak gitu, Bee?"
Lisa terdiam. "Maaf mas." Cicit Lisa menunduk kebawah.
"Kita duduk disana." tunjuk Rafan membawa Lisa duduk di kursi.
"Ya Rabb. Selamat kan Adek gue. Jangan ambil dia, gue mohon." lirih Anza menelungkupkan kepalanya di kedua lututnya.
"Za, sabar Za dia orangnya kuat, Za. Lo harus yakin itu." Azam menepuk bahu kanan Anza.
Anza masih terisak di tempat. Ia benar-benar kacau saat itu. Air matanya semakin lirih membasahi pipinya. Sampai beberapa suster keluar tergopoh-gopoh dengan raut panik.
Anza melihat itu langsung bangkit dari duduknya. "Ada apa Sus?" tanya Anza menahan lengan sang suster.
"Pasien kehilangan banyak darah. Tapi stok darah yang cocok buat pasien saat ini sudah habis," tutur Suster tersebut yang sukses membuat orang disana tercengang.
"Golongan darah Adek gue apa, Sus?"
"Golongan pasien Ab+," jawab Suster.
"Aa-apa Sus, Ab+?" tanya Anza kaget.
Suster tersebut mengangguk.
Seketika tubuh Anza kembali mundur kebelakang. Nafasnya tercekat. Ia menggeleng frustasi lantaran golongan darahnya dan Kila sangatlah berbeda. "Arghhhh!" Anza memukul dadanya yang sesak.
"Golongan darah gue sama Sus, pakek darah saya aja." sahut Azam tiba-tiba. Menghadap pada Suster.
Anza mendongak ke atas. "Zam."
Azam menoleh pada Anza. "Kita selamatkan Adek lo, ya. Gue juga pengen nyelamati calon istri gue," ungkap Azam pada Anza yang terdiam membisu.
Lalu Azam kembali menghadap pada Suster tersebut. "Ayo Sus. Jangan kelamaan, kita selamatkan calon istri saya." ajak Azam seraya berjalan.
Azam yang masih terdiam di tempat tak bergeming sedikitpun. Ia syok mendengar pengakuan dari sahabatnya itu. Bukan Anza saja yang kaget tapi juga yang lainnya.
Lisa tiba-tiba pingsan dan beruntungnya dengan sigap Rafan menahan tubuhnya.
"Bee," Rafan menepuk pelan pipi berisi istrinya itu. Tak ada respon apapun. Rafan mengangkat tubuh Lisa ala bridal style dan membawanya pada ruang rawat.
"Dok! Dok! Tolong istri saya!" ucap Rafan menatap khawatir pada wajah Lisa yang pucat.
Buru-buru dokter cowok menghampiri Rafan dan menyuruh Rafan meletakkan Lisa di atas brankar.
Ketika Dokter tersebut ingin menyentuh lengan Lisa. Tangannya sudah ditahan oleh Rafan. "Jangan sentuh istri saya!" desis Rafan dingin seraya menatap tajam pada dokter tersebut.
Dokter itu bergetar lantaran mendapatkan tatapan tajam dari Rafan. "Ganti Dokter perempuan, saya tidak mau ada laki-laki lain yang menyentuh milik saya!" tekan Rafan.
"Ba-baik. Saya akan memanggilkannya," ucapnya terbata-bata seraya keluar dari ruangan tersebut.
Selang beberapa menit. Seorang Dokter perempuan masuk dan langsung memeriksa keadaan Lisa.
Mulai memeriksa denyut nadi, mata, dan juga perutnya. "Alhamdulillah tidak ada masalah serius. Istri bapak hanya kelelahan akibat kurang istirahat saja," tutur Dokter tersebut.
Rafan menghela nafas pelan.
"Kemungkinan ini efek dari ibu hamil, jadi saya sarankan agar istri bapak istirahat secukupnya." tambahnya.
"Ha-hamil?" tanya Rafan kaget.
Dokter tersebut mengangguk. "Bapak tidak tahu kalau istrinya lagi hamil?"
Rafan menggeleng bodoh.
Senyum tipis di wajah Dokter itu. "Usia kandungan sekarang ini masuk dua Minggu. Jadi saya harap kepada Bapak untuk menjaga kesehatan istri Bapak."
"Kalau begitu saya permisi dulu," pamit Dokter tersebut keluar dari ruangan Lisa.
Rafan beralih menatap wajah lemah Lisa. Ia tersenyum haru setelah mendengar berita yang sangat mengejutkannya. Hadiah dari Allah untuknya sangat berharga bagi diri Rafan. Di usapnya wajah Lisa dengan penuh rasa cinta. Sehingga membuat sang empu perlahan terbangun.
"Bee, ada yang sakit?" Lisa menggeleng lemah.
"Terima kasi, Sayang," ucap Rafan mencium kening Lisa lembut.
Dahi Lisa mengkerut bingung. "Mas terima kasih kenapa?"
"Terima kasih telah menghadirkan malaikat kecil di dunia ini," kata Rafan menatap manik Lisa.
"Maksudnya?" Lisa masih tak mengerti ucapan yang dilontarkan oleh Rafan.
"Kamu hamil, Bee."
"Jadi di perut Lisa ada dedek bayi?" beo Lisa masih tak percaya.
"Iya sayang. Ada anak kita di sini," seraya menunjuk perut rata Lisa.
Satu tetes cairan bening keluar dari pelupuk mata Lisa. Ia sungguh tak percaya ada janin yang hidup dalam perutnya. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu.
Lisa kemudian bangkit yang di bantu oleh Rafan. "Mas, Kila. Gimana keadaan Kila?"
"Dokter masih menanganinya, Bee. Kamu jangan khawatir, ya?"
"Kamu istirahat di sini dulu."
"Tapi Mas, Lisa mau liat keadaan Kila," rengek Lisa yang hampir menangis.
Rafan menghela napas panjang.
"Dengerin Mas dulu. Sekarang kamu tidak sendirian lagi, ada makhluk kecil di dalam perut kamu. Anak kita," ujarnya sembari memegang kedua tangan Lisa lembut.
Lisa menunduk guna melihat ke arah perutnya yang rata. "Maaf ya sayang. Mama cuman khawatir aja sama Aunty Kila," cicit Lisa mengusap perutnya.

*****
Sudah dua jam lamanya, Anza dan yang lainnya menunggu kabar dari Kila. Anza menatap sendu kearah pintu operasi. Berharap ada keajaiban mengenai keadaan sang adek.
"Za," panggil Azam.
Anza tak menggubris panggilan Azam. Ia enggan menolah atau sekedar menyahut. Tenangnya sudah terkuras habis akibat banyak menangis. Bahkan ia tak bergerak sedikitpun dari tempatnya. Azam, Irul, dan Panji melihat Anza dengan rasa iba. Seandainya mereka berada di posisinya maka mereka juga merasakan apa yang dirasakan Anza.
Begitulah rasa sayang seorang Abang terhadap adeknya sendiri. Bahkan tak jarang ada seorang Abang begitu terpuruk saat melihat keadaan adeknya sendiri. Sungguh beruntung banget Kila mempunyai Abang seperti Anza.
"Lo makan dulu, Za," ajak Azam yang berada di sampingnya. Tapi cowok itu tak bergeming.
Lagi-lagi Azam menghela nafas kasar. "Makan dulu ya, Za. lo harus punya tenaga supaya adek lo gak khawatir sama lo," ucap Azam lagi.
"Gue mau makan sama adek gue," jawab Anza dengan nada lemah.
"Iya nanti pas dia bangun. Tapi sekarang Lo makan dulu."
"Gak Zam! Kalau gue bilang gak, ya gak!" bentak Anza menatap tajam ke arah Azam.
"Gue makan nanti sama Adek gue!"
Azam hanya menghela napas pasrah. Ia bangkit dan meninggalkan Anza seorang diri.
Tiba-tiba ruangan operasi terbuka dan beberapa suster keluar dengan panik tergesa-gesa. "Ada apa lagi Suster?"
"Detak jantung pasien mulai melemah," ucap suster berlalu dari hadapan Anza.
Deg!
Lagi dan lagi Anza kembali terisak keras. "Arghhhh.... JANGAN TINGGALIN ABANG, DEK! GUE MOHON!" raung Anza memegangi dadanya, "Siapa yang bakalan marahin gue kalau Lo gak ada?" lelaki itu kini bersimpuh di atas lantai.
"Arghhh.... Gue mohon Tuhan selamatkan Adek gue."
Semua melihat Anza tak kuasa menahan tangis. Mereka juga ikut merasakan kesedihan dari Anza. Suasana di sana semakin mencekam. Di lorong rumah sakit hanya terdengar suara langkah kaki saling berlari mengejar waktu. Semua panik seakan akan kiamat datang menghancurkan bumi.
"JANGAN AMBIL ADEK GUE TUHAN! Gue gak sanggup kehilangan dia. Tolong jangan sekarang, Ya Allah." Anza tak henti-hentinya memukul tembok sambil mengutarakan seluruh harapannya.
Di dalam ruangan para medis berusaha keras menyelamatkan nyawa Kila. "Siapkan alat defribrilator, sekarang!"
"Kita mulai."
"Tekanan darah menurun."
"Naikkan 150 joule," ujar sang Dokter.
"Mulai!"
Garis hijau di layar monitor semakin rendah.
"Tekanannya tak kembali normal!"
Semua orang melihat ke arah layar monitor di mana garis hijau yang semakin menurun. Tanpa berpikir panjang, Dokter tersebut langsung bertindak cepat dengan memompa dada Kila menggunakan kedua tangannya.
"Satu, dua, tiga ..."
"Satu, dua, tiga ..."
Tapi layar monitor tersebut perlahan menampilkan garis lurus dan bunyi nyaring memenuhi ruangan operasi. Semua perawat dan Dokter seketika terdiam membisu.

PESONA GUS  ( SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now