54. Merelakan

59.2K 4K 780
                                    

Suara sirine mengalun keras di sepanjang jalan raya. Disusul  segerombolan mobil dan motor juga ikut mengiringi dari arah belakang seraya membawa bendera kuning di tangan mereka masing-masing. Di bawah rintikan hujan yang turun menemani perjalanan mereka, seakan-akan penghuni langit turut merasakan apa yang terjadi.
Tangisan dari seorang laki-laki di dalam ambulance sedari tadi tak henti-hentinya mereda. Rasa pedih di hatinya begitu dalam saat ia kehilangan seorang wanita yang berarti bagi hidupnya. Sembari pria itu memeluk erat pada keranda yang berlapis kain hijau bertuliskan lafadz Lailahaillallah.
Sedangkan di sampingnya juga terdapat seorang perempuan menatap kosong pada keranda dihadapannya dengan deraian air mata mengalir tanpa henti. Tatapannya tak beralih sedikit pun pada objek di depannya. Sampai suara lembut mengalun di telinganya.
"Bee," panggil Rafan lembut. Melihat sang istri seperti itu, membuat Rafan hancur sehingga ia tidak menyadari satu tetes cairan bening lolos dari kelopak matanya.
Wanita yang dipanggilnya itu enggan menjawab dan masih terdiam tak bergerak. Matanya sembab, air matanya mengalir tanpa ia pinta.
"Dek ... bangun yuk!" pinta Anza dengan suara serak akibat menangis terus menerus.
"Cepat banget sih Dek ninggalin Abang ... Abang gak kuat Dek kalau kayak gini." Lagi dan lagi Anza berucap dengan suara yang makin pilu.
"Kalau nggak ada lo, siapa yang berantem sama gue nanti?"
Kila di nyatakan meninggal dunia tadi sore setelah ia menjalani operasi. Nyawanya tak bisa tertolongkan dan para dokter sudah melakukan semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawanya namun takdir berkata lain. Allah lebih mencintainya dan mengambil Kila terlebih dahulu.
Kematian tak bisa kita prediksikan kapan datangnya. Kematian bisa datang kapan saja dan dimana saja. Jodoh dan maut hanya sang penciptalah yang tahu. Kita sebagai manusia hanya bisa mempersiapkan diri sebelum maut menjemput kita.
Sesampainya di TPU pondok indah. Beberapa anggota Grexda terutama Anza beramai-ramai mengangkat keranda mayat sembari melantunkan kalimat tahlil begitu kerasnya.
La Ilaha Illa Allah ...
La Ilaha Illa Allah ...
La Ilaha Illa Allah ...
Iringan dzikir begitu keras mengiringi perjalanan mereka menuju ke liang lahat tempat di mana akan menjadi peristirahatan semua manusia kelak.
Kedua orang tua Kila juga ikut serta mengantarkan putri kesayangannya menuju ke tempat peristirahatan terakhirnya. Dengan iringan tangisan begitu pilu menyelimuti pemakaman di sore itu. Ibunda Kila tak bisa menahan tangisnya. Berjalan pun ia tak sanggup lagi sehingga ia harus di papah oleh suaminya.
Para keluarga besar pesantren Al-Hakim, terutama ketiga sahabatnya juga ikut berada disana.
Uswah, Sa'adah, dan Zahra juga hadir mengantarkan sahabatnya ketempat peristirahatannya. Walau berat sekali untuk menerima kenyataan ini, namun mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mau marah tapi entah kepada siapa? Yang mereka lakukan adalah mengikhlaskan kepergiannya.
"Tenang aja, kita beli di koprasi sambil beli jajanan dan cuci mata."
"AAAA... LIPSTIK BAHENOL GUE ILANG!"
"Cus ke kantin kita!"
"Beb tungguin gue!"
"Gue laper nih."
"Apapun masalahmu, jangan lupa untuk makan."
"Nggak sabar pengen keluar dari pondok mau cari cogan diluar."
"Kalau keluar kita tetap jadi sahabat, ya."
"Jangan lupa ngasih keponakan sama gue. Gue pengen liat anak Lo."
"Gak nyangka kita wisuda bareng!"
Sepenggal kenangan indah terekam sempurna di ingatan mereka. Semakin mengingat kenangan itu membuat hati tak sanggup menerima kenyataan begitu pahit.
Semua kenangan akan selalu menjadi kenangan. Kenangan akan selalu berada diingatan.
Tangisan semakin pecah di kala tubuh Kila perlahan dimasukkan kedalam liang lahat. Tangisan histeris dari sosok ibu yang telah melahirkannya yang terdengar sangat memilukan. Saat ia menyaksikan sendiri dimana tubuh yang selalu ia peluk, tangan yang ia genggam dan wajah ceria yang selalu menghiasi wajahnya tidak akan ia lihat lagi.
Di bawah sana, Anza turun seraya menerima tubuh kaku sang adik. Dengan tangan gemetar ia memegang kuat tubuh yang tak bernyawa itu. Perlahan ia membuka kain penutup di wajah Kila. Di pandangnya wajah Kila yang seperti orang sedang tertidur.
"Sekarang lo gak merasa sakit lagi, Dek."
"Selamat tidur Adek. Jangan lupain Abang, ya? Gue bakalan jagain Mami sama Papi selama lo gak ada," lirih Anza menahan tangis.
"Abang sayang Adek."
Setelah rangkaian peletakan jenazah selesai, kini dilanjutkan penimbunan tanah ke liang lahat. Saat lubang tersebut hampir tertutup sempurna. Teriakan seorang wanita membuat para penggali harus menghentikan penimbunan.
"Tidak!! Jangan, Pak! Sahabat saya ada di dalam," cegah Lisa menghalau para penggali, "Sahabat saya ketakutan, Pak. Jangan ditutup," jerit Lisa bersimpuh di tanah.
Semua terperangah melihat tindakan Lisa terutama Rafan.
"Bee," panggil Rafan mendekat ke arah sang istri.
Lisa mendongak. "Kila didalam Mas. Dia pasti kedinginan di dalam sana," ujar Lisa seraya menggali tanah itu.
Rafan langsung menarik tangan Lisa dengan lembut. "Bee, dengerin Mas," ucap Rafan begitu lembut. Ia menarik nafas sebelum melanjutkan ucapannya.
"Kila udah gak ada Sayang, dia udah tenang di sana. Kamu harus mengikhlaskan kepergian dia," tutur Rafan menatap netral mata Lisa yang masih ada genangan air mata.
Lisa menggeleng kuat. "Gak Mas, Kila nggak mungkin ninggalin Lisa. Dia udah janji terus bersama Lisa sampai kita lulus."
Mendengar ucapan Lisa membuat semua orang yang berada disana semakin menangis. Mereka tahu kepedihan yang dirasakan oleh Lisa.
Mami Dita melangkah maju ke depan untuk menghampiri Lisa. "Nak Lisa, kila udah pergi. Kamu ikhlasin, ya?" tutur mami Dita menatap sendu.
Lagi-lagi Lisa menggeleng tak percaya. Ia menoleh pada gundukan tanah dan batu nisan yang bertuliskan nama Syafikilla. Nama sahabatnya.
"Gak mungkin! Kila masih hidup, Tante. Dia masih hidup!" raung Lisa.
"KILA!!!"
Lisa terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu. Netral matanya melihat seisi  ruangan putih itu namun ia tak menemukan sosok wanita yang berada dalam mimpinya.
"Kila..." gumamnya.
"Kila!" panggil Lisa lagi. Ia turun dari atas branka dan langsung mencabut tali infus di tangannya.
"Awws."
Rintihnya kesakitan. Tapi wanita itu tak peduli rasa sakit pada tangannya walaupun darah mengucur deras akibat ia mencabut infus dengan paksa.
Kaki kecilnya melangkah cepat keluar ruangan dan matanya menelusuri lorong rumah sakit. "Kila!!" panggil Lisa seraya berjalan.
Lisa berjalan sebelah kanan tempat ruang operasi dimana Kila berada.
Saat di perjalanan. Lisa melihat dua Suster keluar dari ruang operasi dengan membawa branka di mana seluruh badannya tertutup kain.
"Kila?" Lisa langsung mencegah dua Suster itu.
Refleks dua suster tersebut kaget.
"Kila," lirih Lisa. Tangannya bergetar hebat. Matanya mulai berkaca-kaca.
Tubuhnya terasa kaku saat melihat jasad Kila yang berada di matanya.
Lisa langsung memeluk tubuh yang sudah terbujur kaku. Tangisannya pecah sampai dua suster tersebut bingung harus berkata apa.
"Maafin Lisa Kila. Maaf..." ucap Lisa, lirih.
Dari ujung lorong, seorang pria berjalan cepat dengan raut wajah paniknya. "Bee" panggil Rafan lembut. Rafan langsung menarik tubuh istrinya agar menjauh dari branka tersebut.
"Sayang, hey! Lihat Mas," ujar Rafan memegang pipi Lisa.
"Kila, Mas."
Rafan membawa Lisa kedalam pelukannya sembari mengelus punggungnya. Kembali lagi Lisa menumpahkan tangisannya dalam pelukan sang suami.
"Istighfar, Bee."
Merasa tangisan Lisa mereda, Rafan mengurai pelukannya. Lalu Rafan menghapus jejak air mata di sudut mata Lisa.
"Itu bukan Kila, Bee," kata Rafan.
"Terus dimana Kila? Dia baik-baik aja, 'kan?" tanya Lisa.
Rafan mengangguk. "Ayo ikut Mas." Rafan membawa Lisa dari sana.
Sesampainya di depan ruang operasi, disana sudah ada keluarga Kila dan kedua orang tuanya. Mereka melihat keberadaan Lisa dan tanpa membuang waktu, Ummah langsung memeluk tubuh Lisa.
"Kamu baik-baik aja kan, Nak? Ummah sangat khawatir sama kamu," kembali lagi Ummah memeluk Lisa dengan perasaan senang.
"Lisa baik-baik aja, ummah," jawab Lisa menyakinkan.
Lisa beralih menatap sendu. "Kila di mana Ummah?" tanya Lisa setelah melepaskan pelukannya.
"Kamu yang tenang dulu ya, sayang. Kita di sini lagi nunggu kabar dari Kila," kata Ummah membawa putrinya untuk duduk.
Tak lama dari itu. Pintu ruangan operasi terbuka. Seorang dokter keluar dari ruangan tersebut seraya membuka masker di wajahnya. Semua atensi tertuju pada Dokter yang baru keluar tersebut.
"Dok, gimana keadaan putri saya?" tanya Mami Dita selaku ibu kandung dari Kila. Terlihat jelas dari wajahnya yang sangat menghawatirkan keadaan putri semata wayangnya.
Dokter itu menarik napas panjang sebelum ia menjawab pertanyaan dari Mami Dita.
"Alhamdulillah Qadarullah, operasi berjalan dengan lancar dan pasien telah melewati masa kritisnya," ungkap dokter tersebut yang dimana membuat semua bernafas lega.
"ALHAMDULILLAH!" Mereka semua mengucapkan syukur kepada sang pencipta karena telah mengabulkan doa-doa mereka.
"Alhamdulillah calon bini gue masih hidup," ucap batin Azam bersyukur.
Setelah mengatakan keadaan Kila pada keluarganya. Tak lama dari itu beberapa petugas medis keluar dengan mendorong branka dimana Kila yang masih tertidur.
"Kila."
"Adek."
"Calon istri," ucap Azam yang didengar oleh Anza.
Anza menoleh pada Azam yang dimana Azam menatapnya, "Lo restuin gue, 'kan?" tanya Azam, berharap direstui.
Anza terdiam. Kemudian ia mengangguk setuju, "Beneran lo?" tanya Azam, senang.
Anza menepuk pundak Azam. "Semua tergantung dari Adek gue," jawab Anza.
Kini giliran Azam yang terdiam. Lelaki itu juga berpikir mengenai Kila yang akan menerimanya atau tidak.
Melihat perubahan dari raut wajah sahabatnya itu. "Perjuangin Adek gue, Zam. Lambat laut benih-benih cinta bakalan tumbuh dengan seiring waktu berjalan," ujar Anza memberi semangat.
"Thanks, bang ipar," kata Azam mengangguk semangat.
"Masih c.a.l.o.n," balas Anza mempertegas kalimatnya.
"Hehe ... iya bang ipar. Eh, calon Abang Ipar maksudnya," ceplos Azam yang mendapatkan tatapan maut dari sang lawan bicara.
"Sensi amat dah calon Abang Ipar gue nih," seraya merangkul bahu Anza dan berjalan menuju keruangan istrinya eh, maksudnya calon bini. Saat ingin masuk kedalam ruangan Kila. Salah satu Suster berucap.
"Yang mau jenguk pasien bisa besok aja pak, Bu. Pasien sekarang tidak boleh diganggu dulu," jelas Suster tersebut.
"Baik, Sus," sahut Pak Zaki.
"Kalau begitu saya permisi dulu," pamitnya, berlalu.
"Iya Sus, makasih banyak," ucap Pak Zaki.
Suster tersebut mengangguk dan berjalan pergi dari sana.
"Bee, kita pulang, ya?" ajak Rafan pada sang istri.
Lisa menoleh ke arah Rafan. "Tapi Lisa pengen di sini sampai Kila sadar," pinta Lisa.
"Ingat kamu butuh istirahat sayang, sekarang ada dedek bayi dalam perut kamu."
"HAH! DEDEK BAYI!" seru semua orang disana dengan serentak.
Rafan dan Lisa menatap semua orang yang juga menatap mereka dengan tatapan kaget.
"Oh-iya, Rafan lupa ngasih tahu pada kalian semua. Kalau Lisa istri saya tengah berbadan dua alias hamil anak saya," ungkap Rafan.
Mendengar ungkapan dari mantunya itu. Membuat Ummah Halimah langsung menghampiri Lisa.
"Kamu beneran hamil, Sayang?" Lisa mengangguk malu.
"Masya Allah, selamat ya Sayang," ucap Ummah seraya memeluk tubuh Lisa.
"Bakalan nimang cucu, nih," ujar Adam.
"Masyaallah tabarakallah, selamat buat Nak Lisa. Pasti kalau Kila ada disini bakalan senang banget dia," ucap Mami Dita memegang tangan Lisa seraya tersenyum lebar.
"Makasih Tante," kata Lisa tersenyum getir.
Benar kata Tante Dita, seandainya Kila mendengar kabar kalau dirinya hamil, pasti ia akan paling heboh di antara yang lainnya.
"Usianya berapa, Sayang?" tanya ummah lagi.
"Dua minggu, Ummah," jawab Lisa.
"Dijaga ya kandungannya. Jangan sampai kecapean, dijaga cucu pertama Ummah," ucap Ummah menasehati.
Lisa mengangguk. "Iya, Ummah."
"Ummah pamit pulang dulu ya, sayang."
"Nak Rafan tolong jagain cucu Abah dan Anak Abah," sahut Abah Adam menghampiri Lisa dan memeluk sang putri begitu sayang.
"Insyaallah, Abah. Rafan akan menjaga mereka berdua," jawab Rafan tersenyum.
"Mbak Dita sama Pak Zaki saya pamit dulu, ya. Semoga putri Mbak cepat sadar dan membaik," ucap ummah kepada kedua orang tua Kila.
"Terimakasih doanya, Mbak."
"Iya Mbak sama-sama. Memang sepatutnya kita sesama manusia saling mendoakan satu sama lain," ujar Ummah memeluk tubuh Dita.
"Kalau gitu saya pamit, Mbak." Setelah melepaskan pelukannya.
Setelah kepergian kedua orang tuanya. Lisa kini menatap pintu yang dimana tempat Kila berada.
"Bee, kita pulang, ya?" Rafan merangkul bahu Lisa.
Lisa mendongak sebentar ke arah Rafan sebelum kembali menatap pintu ruangan kila. "Lisa pulang dulu, Kila. Besok Lisa ke sini lagi," gumam Lisa yang masih didengar oleh yang lain.
"Gubos," panggil Anza.
Rafan menoleh. "Thanks Gubos. Dan selamat atas kehamilan anak pertama. Mudah-mudahan junior biar gue ajarin balap motor," celetuk Anza cengengesan.
Namun Rafan tak menanggapinya melainkan tatapan datar yang ia tunjukkan. Hal itu sontak membuat Azam, Irul, dan kedua orang tuanya menahan tawa. Kecuali si manusia buku yang tetap memperlihatkan wajah biasa aja.
"Senyum ngapa, Gubos. Datar Mulu perasaan," ucap Anza kembali tersenyum. Setelah beberapa jam yang lalu dibuat nangis kini Anza sudah kembali pada sifat aslinya.
Khodam Anza udah kembali nih.
"Gue juga ngucapin selamat buat, Bubos. Ditunggu kelahirannya." Irul berucap seraya tersenyum tipis.
"Baru juga dua minggu udah di suruh keluar aje, Lo. Kepala, tangan, kaki sama titit-nya belum kebentuk juga. Sabar napa," protes Anza memberi kecerahan pada Irul.
"Bubos selamat, bentar lagi kita bakalan dapat gelar Sugar Paman, "Kini Azam memberi selamat.
"Sugar Daddy kali! Bukan Sugar Paman." Anza membenarkan ucapan Azam yang kelewat tak normal.
"Ya kan, sama. Di wattpad-wattpad sebutnya Sugar Daddy, kalau di kita Sugar Paman. Sugar artinya kan gula, paman itu om-om. Jadi..."
"Om-om gula dong," sambung Anza cepat.
"Nah bener."
Mendengar perbincangan yang tak berfaedah itu. Membuat Lisa sedikit terkekeh. Ia beralih menatap Rafan yang dimana Rafan juga menatap dirinya. Melihat tatapan sang istri, Rafan menaikan satu alis tanda bertanya.
"Kita pulang Bee." Ajak Rafan menggenggam tangannya.
Lisa mengangguk. Sebelum itu ia berpamitan pada sahabat Rafan.
"Kak Anza, Kak Azam, Kak Irul dan..." ucap Lisa melirik pada pria berkaca mata itu.
"Namanya Panji. Dia orangnya emang jarang ngomong kayak Gubos. Tapi tenang kok dia udah jinak," sahut Anza menjawab kebingungan Lisa.
Bukannya marah. Panji hanya diam tak bersuara. Ia enggan menjawab ucapan aneh dari sahabatnya itu jadi ia memilih tak menghiraukannya.
Lisa mengangguk.
"Kak Panji, Kakak semuanya Lisa terima kasih udah nolongin Lisa dan Kila." Lisa berucap terima kasih pada empat cowok yang beda sifat itu.
"Sama-sama Bubos. Itu sudah menjadi kewajiban kita semua untuk melindungi Bubos terutama pada calon istri gue," sambung Azam.
Lisa mengulum senyum. "Kalau gitu Lis—" ucapan Lisa terpotong, lantaran Rafan sudah menarik tubuh Lisa ke arahnya.
Rafan beralih menatap anggota inti
"Sebagian berjaga di sini dan sebagian ada di markas," titah Rafan tegas.
"Tenang Gubos. Serahkan semua ini kepada detektif Anza dan Azam," jawab Anza dan Azam menirukan layaknya serial Upin dan Ipin.
Setelah mengatakan itu. Rafan berlalu dari sana seraya memegang lembut tangan Lisa. "Assalamualaikum, kakak semua. Lisa pamit dulu," salam Lisa sebelum melangkah pergi.
"Waalaikumsalam, Bubos. Hati-hati di jalan."
Melihat kepergian Rafan dan Lisa. Tinggal lah mereka bertiga di depan ruangan Kila. Anggota yang dapat perintah untuk berjaga-jaga di sana telah stay by di tempatnya. Sebagian lagi sudah pergi ke markas.
"Gubos kalau mode posesif ngeri, cuk!" seru Azam bergidik ngeri.

*****
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh. Kini suami istri tersebut sudah sampai di pondok pesantren. Kedatangan mereka berdua disambut haru oleh keluarga besar pesantren terutama kedua mertuanya.
Mobil hitam milik Rafan berhenti di depan ndalem. Kemudian Rafan turun dan beralih membukakan pintu untuk Lisa.
"Ayo, Bee. Ummi sama Abah udah nunggu kita di dalam," ucap Rafan menjulurkan tangannya.
Lisa menerima juluran tangan dari Rafan. Lalu mereka berdua berjalan masuk ke dalam dan ummi Safitri langsung memeluk erat tubuh Lisa.
"Alhamdulillah, Nak. Kamu selamat!" ucap nyai Safitri memeluk erat Lisa. Tangisannya pecah seketika saat melihat keadaan menantunya dalam keadaan baik-baik saja.
"Ayo kita masuk, sayang." Ummi Safitri mengajak Lisa masuk kedalam terlebih dahulu.
Rafan beserta Kyai Zainullah juga ikut menyusul kedalam.
"Gimana ceritanya kamu diculik? Ummi disini khawatir banget sama kamu," tutur Ummi Safitri.
Lisa mendengar itu hanya menunduk bingung. Lantaran ia bingung harus menjelaskan dari mana.
"Ceritanya besok aja, Ummi. Istri Rafan butuh istirahat," ucap Rafan menyela.
"Yang penting Lisa udah selamat dan kembali kerumah ini." Abi menyahut.
"Istirahat ya, Sayang. Istirahat yang cukup," ujar Ummi tersenyum hangat.
"Iya Ummi." Seraya bangkit dari tidurnya dan membawa Lisa menuju ke kamar. Sesampainya di dalam kamar, Lisa merebahkan tubuh kecilnya di atas kasur. Sedangkan Rafan memilih untuk mandi. Tak membutuhkan lama, Rafan sudah mandi dengan baju santai yang telah melekat di badannya. Saat hendak mengeringkan rambut, ia melihat kearah kasur dimana sang istri kecilnya yang tertidur meringkuk seperti anak kecil.
Senyum tipis terbit diwajah tampannya. Ia berjalan ke arah kasur dan berniat membangunkan Lisa.
"Bee," ucap Rafan penuh kelembutan.
Lisa menggeliat. "Hem..." gumam Lisa tak jelas.
"Mandi dulu Bee, baru tidur."
Lisa langsung duduk dan tangannya ia rentang kedepan, "Gendong...." rengek Lisa seperti anak kecil.
Rafan tertawa kecil. Ia sungguh tak tahan melihat kegemasan dari istri kecilnya. "Ayo Mas, gendong ..." rengek Lisa karena Rafan tak kunjung menggendongnya.
"Manja banget sih bumil," ucap Rafan menggendong Lisa ala koala.
Dalam gendongan Rafan, Lisa mengalungkan tangannya pada leher Rafan. Ia juga membenamkan wajahnya di dada sang suami.
Rafan terkekeh. "Mas mandiin ya, Bee." Rafan berbisik pada telinga Lisa dengan suara berat.
Kesadaran Lisa belum sepenuhnya terkumpul. Jadi ia hanya mengangguk saja. "Yakin Mas mandiin?" tanya Rafan, menggoda. Namun Lisa mengangguk pasti.
Rafan tersenyum tipis. "Jangan nyesel ya, Bee." Seraya masuk kedalam kamar mandi.
"MAS RAFAN!"

PESONA GUS  ( SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now