45. Amaraha Rafan

63.6K 4.1K 1.3K
                                    


"Alhamdulillah perut gue kenyang banget!" seru Kila mengelus perut buncitnya.
"Jangan tidur di kelas! Lo mau Pak Bondo marah sama Lo lagi?" tegur Sa'adah.
Pak Bondo yang biasa dipanggil ustad Dodo. Merupakan guru sejarah paling kiler di pondok Al-hakim. Badan kurus, kumis tebel layaknya Jarwo di film Adit. Tak lupa tatapan garangnya bila yang melihat akan menciut takut.
"Gue kebablasan waktu itu. Mana gue lupa lagi kalau itu pelajaran pak Dodo," ujar Kila.
Kejadian lima hari kemaren yang dimana Kila tertidur pas pelajaran sejarah ketika pak Dodo yang masuk. Pak Dodo tidak suka saat pelajarannya ada santri tertidur bahkan tidak mendengarkan penjelasannya. Dan hasilnya Kila mendapatkan hukuman dijemur di bawah tiang bendera selama jam istirahat. Bayangin aja panasnya tuh kayak gimana.
"Kila akhir-akhir ini tidur dikelas, ya?" tanya Lisa.
"Dia dari santri baru Sampek sekarang, sukanya tidur dikelas," sahut Sa'adah.
"Ya, namanya juga ngantuk, beb. Kita harus adil pada tubuh kita, termasuk mata. Bangun tahajud, subuh harus bangun, pagi² harus sekolah, nanti habis sekolah ada kegiatan," ujar Kila mengeluarkan unek-uneknya.
"Kalau mau enak, pulang," komentar Sa'adah. Sembari duduk di bangkunya.
"Namanya juga cari ilmu. Mencari ilmu tidak semudah membalikkan telapak tangan, kita yang susah dari awal akan menikmati hasil dari usaha kita, kelak." Zahra menyahut yang duduk disamping Uswah.
Kila hanya menyengir kuda, "hehe... iya gue bakalan janji nggak tidur dikelas lagi," ujarnya.
"Jangan janji tapi tepati," sambung Sa'adah. Uswah, Zahra, dan Lisa hanya terkekeh kecil melihat perbincangan kedua sahabatnya itu.
"Kapan Gus Rafan mau pulang, Lis?" tanya Uswah.
Mas Rafan udah dapat satu Minggu pergi keluar kota, apa sekarang, ya. Mas Rafan pulang? Batin Lisa.
"Lis!"
"Eh, iya?"
"Malah bengong lo? Pasti mikirin Gus Rafan, kan, Lo?" tebak Kila dengan nada mengejek.
"Iya- eh nggak kok," jawab Lisa, keceplosan.
"Ciee ... yang rindu mas Raffann...." goda Kila menjadi-jadi.
Wajah gadis itu memerah seperti tomat hijau. Ia menunduk untuk menyembunyikan wajah merahnya.
"CK, diem nggak Lo!" tegur Sa'adah. Kila langsung kicep.
Dua jam berlalu. Tibalah waktu pulang. Ada yang keluar dengan wajah kucel. Kerudung ada yang miring. Wajah kantuk dan wajah kelaparan.
"Yeayy... akhirnya pulang! Welcome to kasur I'am datang!" seru Kila antusias berjalan.
"Kan,'kan udah kambuh tuh penyakitnya," sahut Sa'adah. "Untung cuman satu modelan dia di dunia."
Yang lain tertawa kecil saat mendengar ucapan Sa'adah. Saat melewati lorong kelas. Mereka mendengar celotehan dari beberapa santri yang belum pulang.
"Iya gue baru dengar kalau barang dia hilang dalam lemarinya. Padahal udah digembok."
"Kapan emangnya yang hilang?"
"Pas jam istirahat."
"Kasian banget sih dia. Mana pemberian alm. Ibunya lagi."
"Tega banget yang ngambil."
Mendengar ucapan dari santri tersebut, seketika itu Kila berbalik
"Kayaknya ada pencuri di asrama," tebak Kila. Mereka heran baru kali ini ada pencuri di pondok.
"Kok bisa?" sahut Sa'adah bertanya.
"Mana gue tahu!"
"Emangnya yang diambil barang atau uang?" Giliran Lisa bertanya.
"Mending kita masuk asrama. Cari tahu barang siapa yang diambil," ajak Sa'adah.
Mereka bergegas masuk untuk mengetahui siapa yang dicuri barangnya. Sesampainya di kamar, Kila langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Dan disusul yang lain.
"Huft! Enak banget tiduran di kasur," seru Kila sembari berguling-guling kesana kemari.
Kila duduk dipinggiran kasurnya
"Eh. Gue penasaran nih, siapa pencuri nya? Bisa-bisanya nyuri dalam pondok." Geram Kila.
"Nggak takut apa ya mereka nyuri di pondok?!" ucap Uswah.
"Palingan nggak ada uang jadi mereka terpaksa mencuri ditambah jarang kiriman itu bisa jadi faktor bagi mereka buat nyuri," jelas Sa'adah.
"Semoga aja mereka sadar ya, atas perbuatan yang nggak bener itu." Sambung Lisa.
"Periksa semua per-kamar!"
"Eh. Ada apa itu?" Kila bangkit dari tidurnya.
"Sepertinya ada yang nggak beres nih?!" Kata Sa'adah. Lalu berjalan keluar.
"Geledah semua kamar!!" titah Dinda. Beberapa pengurus masuk ke dalam kamar Lisa.
"Ada apa ni kak? Kok kamar kita digeledah?" tanya Uswah panik. Tidak ada jawaban. Beberapa pengurus itu sibuk mengobrak-abrik lemari di dalam kamar itu.
Dinda masuk disusul yang lain dari belakang. "Cari yang bener! Jangan sampai ada yang kelewatan!" perintah Dinda dari belakang.
Semua kamar digeledah tak terkecuali pun. Dari lemari sampai rak buku semua digeledah. Dengan wajah tegang, Lisa beserta yang lain hanya pasrah melihat mereka menggeledah lemarinya.
Tak lama dari itu. Salah satu dari pengurus mengeluarkan cincin emas bermata berlian dari kotak pensil hitam. "Kotak pensil ini punya siapa?" tanya Dinda mengangkat satu koak pesil. Menatap satu persatu dari mereka.
Betapa terkejutnya Lisa saat mengetahui sebuah cincin dari kotak pensilnya. "Punya saya kak," jawab Lisa mengangkat satu tangannya.
Tatapan Dinda beralih ke arah Lisa. "Benda ini kenapa ada di kamu?! Hm?" tanyanya dengan sorot penekanan sambil memperlihatkan cincin emas.
Kila, Uswah, Sa'adah dah Zahra saling menatap tak percaya. Mereka juga ikut kaget kenapa cincin itu bisa berada dalam kotak pensil Lisa.
"A-aku nggak tahu kak. Kenapa itu bisa ada di kotak Lisa," jawab Lisa gemetar.
"Kapan kamu mencurinya?!" sentak Dila berada samping Dinda.
"Kak, Lisa nggak pernah mencuri," sela Kila cepat.
"Kamu diam Kila! Saya cuman bertanya pada Lisa bukan kamu!!" sergah Dila menukik tajam alisnya.
"JAWAB LISA!!" bentak Dinda tak tahan.
Lisa terlonjat kaget. "Bener, Kak, Lisa nggak mencuri itu."
"Jelas-jelas cincin ini ada di kotak kamu! Masih nggak mau ngaku. HAH!!" murka Dinda. Kemarahan Dinda sukses membuat warga santri putri mendekat ke arah kamar Lisa. Mereka melihat Lisa menangis di sana dengan Dinda yang berada di depannya.
"Sumpah demi Allah Kak! Lisa tidak pernah mengambil cincin itu. Bahkan tidak pernah terlintas di pikiran Lisa buat mencuri..." kata Lisa dengan nada bergetar.
"Ala! Jelas-jelas cincin ini ada di sini. Masih nggak ngaku, lo?!" Dila berucap marah.
"Cantik-cantik tukang maling!"
"Percuma mondok tapi cuman jadi maling di sini."
"Sekalian jangan mondok kalau niat mau curi."
Umpatan demi umpatan mereka yang menonton dilontarkan pada Lisa.
"Kita saksinya kalau Lisa nggak mencuri, Kak," sahut Sa'adah tak terima.
"Iya. Tadi istirahat aja Lisa bareng kita di koperasi," sambung Uswah yang disetujui oleh Kila dan Zahra.
Dila menoleh ke samping. "Kalian membela yang jelas-jelas bersalah? HAH!! Udah ga waras kalian?!" cecar Dila dengan nada tinggi.
Kila maju. "Ini ada yang memfitnah Lisa dengan menyimpan cincin ke dalam kotak pensilnya. Benda yang baru kita lihat bentuknya tiba-tiba berada dalam kotak pensil Lisa! Apa ini maksud akal? Hm?" Balas Kila menahan amarahnya. Terlihat jelas urat-uratnya menonjol keluar.
"Sangat jelaslah. Karena teman kalian dari kalangan tak mampu, terus nggak ada uang milih nyuri di pondok!" Mely menyela. Ia baru datang bersama pengurus lainya.
Bukan hanya Mely yang masuk. Ternyata para ustadzah juga ikut serta dalam penyelidikan tersebut.
"Lisa benar, kamu yang mencuri cincin ini?" tanya ustadzah Indri
Lisa menggeleng keras. "Sumpah demi Allah, ustadzah. Lisa tidak mencuri cincin ini." Jawab Lisa lirih.
Lisa sungguh sakit hati mendengar tuduhan seperti itu terhadapnya. Lisa tidak pernah berfikir untuk melakukan perbuatan keji seperti itu apalagi mencuri. Karna ia tahu mencuri adalah larangan terbesar dari Allah yang harus kita hindari.
"Jangan bawa nama Allah! Kalau Lo itu jelas- jelas maling!" tegur Nina sambil bersidekap dada.
Kila maju. "Ustadzah. Ini fitnah ustadzah! Lisa. Tidak. Pernah. Mencuri," kata Kila menekankan perkata.
Mely menyinggung senyumnya. "Kila, kalau kamu membela yang salah. Kita tidak segan-segan menghukum kamu dan seluruh anggota kamar ini!" ucap Mely sedikit mengancam.
Kila ingin berucap namun di tahan oleh Lisa. "Udah, Kil. Mungkin ini salah Lisa," sela Lisa menahan pergerakan Kila.
"Iya ustadzah. Saya yang mencurinya," jawab Lisa terpaksa. Mely tersenyum smirk.
"Lo gila, Lis! Lo itu nggak salah. Ini fitnah. Ini fitnah ustadzah!" marah Kila tersulut emosi.
"Ustadzah harus percaya. Kalau Lisa tidak pernah mencuri," sahut Sa'adah semakin maju. Sedangkan Lisa hanya menunduk menangis. Nafasnya naik turun akibat ia menahan tangis.
Ustadzah Indri bergeming. Ia bingung harus percaya atau tidak.
"Tapi ini ada barang buktinya!" Ustadzah berucap mengangkat cincin ditangannya. "Masih mengelak lagi? Hah!"
"Bawa dia ke lapangan!" titah ustadzah Indri untuk membawa Lisa.
Kila menggeleng dan menatap nanar ke arah Lisa. "NGGAK! Nggak! Jangan bawa Lisa ustadzah. Teman saya tidak bersalah!" cegah Kila menahan pengurus yang mau membawa Lisa.
Sampai ustadzah Indri ikut berhenti. "Kalian mau di keluarkan dari pondok karna mencegah hukuman ini?!"
Lisa menoleh ke arah empat sahabatnya. "Jangan ditahan, ya. Biar Lisa ikut ustadzah Indri. Lisa ikhlas kok nerima hukumannya," ucap Lisa lirih bersama air matanya yang luruh membasahi pipi chuby nya.
Lisa berjalan sembari di pegang oleh dua pengurus menuju ke ruangan tempat persidangan. Seperti penjahat beneran yang dikawal oleh dua polisi. Saat keluar dari kamar. Banyak sorakan keluar dari mulut santri yang berada di sana.
Uswah, Zahra, Sa'adah dan Kila. Melihat punggung Lisa yang kian menghilang dari pandangan mereka. Tatapan mereka kosong seakan ruang tersebut gelap tanpa penerangan sedikit pun.
Kila memukul tembok sampai tembok tersebut sedikit retak olehnya. Dan ada sedikit bercak merah ditangannya.
"Kila! Cukup!" tahan Sa'adah saat Kila kembali memukul tembok itu.
"Arghhhh! Gue gagal jagain Lisa! Gue nggak becus jadi sahabat Lisa!" raung Kila dalam pelukan Sa'adah. Air matanya keluar begitu derasnya.
Uswah dan Zahrah memeluk tubuh Kila. Mereka juga merasakan hal yang sama saat ini. Merasa bersalah karna tidak bisa membela Lisa.
"Gue yakin pasti ada yang ngejebak Lisa?!" ucap Kila.
"Uswah juga yakin banget. Ada yang sengaja naro cincin dalam kotak Lisa," sambung Uswah.
"Ini kejadian pas kita istirahat, kan?" tanya Zahra.
"Bener banget. Pasti ada yang sengaja gunain kesempatan saat kita lagi istirahat."
Setelah melepas pelukan. Mereka terdiam sejenak.
Di ruangan tempat sidang. Para ustadzah dan pengurus putri berada di sana. Dimana Lisa duduk di ataran mereka dengan satu kursi. Seperti kejadian satu Minggu yang lalu.
"Mas cepat pulang. Lisa takut." Lirih Lisa dalam hati.
"Saudari Lisa! Apakah bener kamu mencuri cincin milik Azizah?" tanya ustadzah Aisyah.
Prakk
"Kalau ditanya, dijawab Lisa!" bentak Dinda geram. Lantaran Lisa hanya menunduk.
Lisa mendongak. "L-lisa.. ng—gak mencuri, ustadzah." Jawab Lisa parau. Lihatlah Lisa. Keadaannya sangat berantakan. Kerudung kusut, rambut keluar sedikit tak lupa mata sembabnya kalau dilihat sangat kacau sekali. Tidak ada raut kebahagiaan yang hanya ada raut ketakutan di wajah cantiknya itu.
"Kamu mau berbohong sama saya? HAH!" murka ustadzah Aisyah setelah memberi satu tamparan di wajah chuby Lisa.
Senyum menyeringai dari wajah Mely dan kawan-kawan. Kecuali satu. Lisa langsung memegang pipi kanannya yang terasa panas akibat tamparan kuat dari ustadzah Aisyah. Saking kuatnya Lisa tertoleh kesamping karena tamparan keras.
"Bener ustadzah. Lisa tidak bersalah..." balas Lisa meringis kesakitan.
"MASIH MAU NGELAK KAMU, YA?!!" sentaknya dengan nada tinggi.
"Hukum aja ustadzah biar kapok," sahut pengurus yang lain.
Ustadzah Aisyah menjauh dan berdiskusi pada ustadzah yang lainnya.
Lisa meremas ujung bajunya. Menyalurkan rasa sakit yang ia terima hari ini. Dari tuduhan sampai sebuah tamparan di wajahnya.
"Bawa dia kelapangan pondok. Umumkan seluruh santri agar berkumpul di lapangan!" titah Ustadzah Aisyah pada salah satu pengurus.
"Dan yang lain, bawa dia ke lapangan."
"Baik, Ustadzah."
Lisa menggeleng keras. "Jangan Ustadzah! Lisa tidak bersalah. Demi Allah. Lisa tidak mencuri, ustadzah." Lisa membela dalam cengkraman para pengurus.
Tidak ada yang mendengarkan raungan Lisa. Mereka hanya menjalankan peraturan di pondok saja. Siapa yang bersalah maka harus menerima konsekuensinya.
Semua telah berkumpul di lapangan maupun santri putri dan santri laki-laki. Dan ustadz juga ikut berkumpul di sana. Terlihat ustad Alif juga berada disana di antara ustad – ustad yang lain.
"Lisa!" ucap ustadz Alif kaget saat melihat siapa yang di seret di tengah lapangan.
"Kalian liat ke sana! Itu salah satu santri yang telah melanggar aturan pondok!" ucap Ustadzah Indri. Semua mata tertuju pada Lisa yang tertunduk menangis.
"Saudari Khalisa Salsabila. Akan di eksekusi cambuk dua puluh kali dan akan di keluarkan dari pondok Al- hakim," ucap ustadzah Indri menggelegar.
Seketika itu tubuh Lisa merosot ke bawa tanah. Tangannya bergetar hebat tat kala mendengar keputusan apa yang ia dapatkan. 'dikeluarkan' sungguh Lisa menangis sejadi jadinya. Pipinya basah terkena air mata yang keluar begitu derasnya.
Semua terkejut mendengar pernyataan itu. Terdengar bisikan- bisikan yang keluar dari mereka.
Di sebrang sana. Para sahabat Lisa tak kalah kagetnya saat mendengar hukuman untuk Lisa. Mereka menangis di tempat. Sedih dikala melihat sahabatnya akan di hukum cambuk.
Mas kamu dimana? Cepat pulang Mas, batin Lisa.
Salah satu orang mendekat ke arah Lisa yang tertunduk di bawah sana. Ia membawa satu cambukan di tangannya untuk bersiap mencambuk punggung Lisa.
"ALLAHU... AKBAR!"
"ALLAHU... AKBAR!"
"ALLAHU... AKBAR!"
Suara takbir bergemuruh di lapangan. Mereka bersorak ke arah Lisa. Sorakan semakin keras dengan bersamaan air mata dari Lisa.
"Ini konsekuensinya karena Lo udah berani deketin Gus Rafan!" ucap Mely tersenyum puas.
"Bismillahirrahmanirrahim."
Ctass!
"Argh!" Satu cambukan mendarat dipunggung yang tertutup baju dan beserta suara rintihan dari mulut Lisa.
Ctass!
"Argh! S—sakit." rintih Lisa mengadu.
Uswah, Zahra, Sa'adah, dan Kila terlihat menangis di kerumunan santri di sana.
"Lisa! Lisa! Kamu bertahan Lisa!!" Teriak Kila menangis. "Allah tahu siapa yang salah dan yang benar! Lo bertahan, Lis."
Saat akan ke tiga kalinya tangan siap akan mencambuk dan tiba-tiba...
"HENTIKAN!!!"
Suara teriakan dari seorang laki-laki yang berjalan membelah kerumunan santri. Yang disusul beberapa orang berpakaian hitam berlambangkan sayap putih pada bagian punggung mereka adalah anggota Grexda. Mereka semua menoleh ke arah sumber suara tersebut. Yang tak lain adalah Gus Rafan.
"Mas Rafan," lirih Lisa tersenyum lemah.

PESONA GUS  ( SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now