ABIDAH harus terus berlari dan bersembunyi. Semua itu terjadi hanya lantaran sang suami, Muslihin, dituduh terlibat dalam peristiwa peledakan bom di Bali. Abidah sempat diperiksa di Polda, namun ia hanya dimintai keterangan sebagai saksi. Tetapi setelah ada tujuh lelaki berpakaian safari yang memeriksanya secara marathon selama 13 hari berturut-turut - yang tak ia ketahui di mana diperiksa dan siapa pemeriksanya - status Abidah berubah. Ia bukan lagi sebagai saksi namun sudah dianggap sebagai bagian dari organisasi teroris itu. Cap itu sangat melekat. Apalagi tiga orang yang mengaku sebagai pengacara dan siap mendampinginya memberitahukan latar belakang keluarga Abidah, bahwa ternyata ayahnya adalah aktivis DI/TII, pamannnya yang tinggal di Kuala Lumpur pun aktivis gerakan yang sama. Dua hal yang sebelumnya tak pernah didengar oleh Abidah. Lebih dari itu, suaminya pun ternyata aktivis Jamaah Islamiyah. Maka, cap itu pun semakin tebal. Apalagi setiap hari Abidah selalu mengenakan burka yang senantiasa diidentikkan sebagai seorang yang radikal. Kampung tempatnya tinggal tak lagi mau menerimanya. Abidah diusir. Bersama anaknya yang belum genap lima tahun, Hanifah dan ibu mertuanya, Abidah harus menggelandang. Sampai kemudian ia ditolong oleh seorang satpam sebuah pompa bensin. Ternyata satpam itu mantan pencoleng, bahkan pernah dicap sebagai PKI. Di rumah satpam bernama Dulhadi itu, Abidah merasa tenteram. Para tetangga memperlakukannya secara wajar. Namun ternyata, keberadaan Abidah tetap tercium. Berkat keterangan yang diberikan oleh salah seorang operator di pompa bensin tempat Dulhadi bekerja, orang-orang yang mencari Abidah mencium keberadaannya. Rumah Dulhadi pun digerebek.
26 parts