Keep Your Smile

Av Arbayahs

17.3K 2.6K 524

Aluna, satu dari sekian banyaknya mahasiswi yang merasakan pahit-asamnya kehidupan perkuliahan. Tingkat kenor... Mer

Bab 2. Jungkir Baliknya Aluna
Bab 3. Rahasia Garda
Bab 4. Rahasia Aluna
Bab 5. Lempar Kode, Mental?
Bab 6. Drama Abal-Abal
Bab 7. Bapak Maunya Gimana?
Bab 8. Buat Itu Jadi Mungkin
Bab 9. Praduga Tak Bersalah
Bab 10. Pendekatan Mode Serius
Bab 11. Yang Sebenarnya Terjadi
Bab 12. Kapan Nyambung?
Bab 13. Salfoknya Aluna
Bab 14. Kecemburuan Satu Kubu
Bab 15. Menembus Dinding Kewarasan
Bab 16. Karena Kamu, Tokoh Utama
Bab 17. Menuju Kejelasan
Bab 18. Upil Bermasalah
Bab 19. Dengan Jujur
Bab 20. Tanam, Rawat, dan Panen
Bab 21. Ini Jadi Lanjut?
Bab 22. Mati Kutu, Mati Gaya
Bab 23. Ibu dan Ayah
Bab 24. Dua Pertemuan
Bab 25. Keputusan Kita - Good Bye!

Bab 1. Jebakan Permen Karet

2.7K 220 97
Av Arbayahs

Aku tak akan menyerah, akan kupastikan lulus dengan nilai terbaik dan menjadi sarjana cum laude, tapi ngibul.

-SemangatMabaMepetResign-

______________________________


         Seorang mahasiswi bercepol dua dengan kaos oversize-nya berjalan muram. Mulutnya merapalkan beberapa mantra, entah mantra mbah dukun atau mantra hari puter. Intinya ia sedang tak ingin bertemu dosen kampret lagi, selamanya. Tak sengaja ia melewati beberapa gerombolan mahasiswi baru yang asik nongkrong di bangku koridor. Dilihat dari tampangnya sih, anak maba.

"Gila, kampusnya keren banget! Gue harap bakalan bisa ketemu jodoh di sini."

   'Dikepret Garda lo ngomong begitu.'

   Salah satu temannya yang berkacamata kotak ikut menimpali. "Amin, gue juga mau dapet jodoh dosen cogan masih muda dan single kayak di novel-novel halu gitu."

   'Hilih, kutil kuda. Kehaluan kalian malah menjadi tiket jalur undangan resmi pengangguran.'

    Aluna menggaruk ketiaknya. Sumpah, bahkan keteknya lebih wangi ketimbang masa depan tiga maba di sana. Miris kali.

"Kapan dosen badass jadi jodoh hamba, Ya Tuhan?"

  Aluna ikut menadah, sesuai seperti yang tengah dilakukan tiga mahasiswa tersebut. Ia nampak ikut kagok kalau begini ceritanya.

"Please, halu kalian nggak tau tempat banget."

Oh, ada juga yang masih berlogika.

   Itulah segerintilan komentar semangat maba yang kebelet mau dikawini para pejantan. Baru juga masuk kuliah niat sudah nyeleweng. Lagipula jarang sekali ada dosen muda masih single, kalaupun ada percaya deh itu pasti hanya ada dalam dunia fiksi saja.

   Sebenarnya ada sih di dunia nyata, tapi dosennya mau gak sama kalian?

   Berbeda dengan Aluna yang sudah mengibarkan bendera putih pada dunia perkuliahan, rasanya dia ingin resign, tapi sayang duit dong. Kalian pikir gampang apa mencari rupiah?

   Secapek-capeknya anak kuliahan ditimpa tugas. Lebih capek kalau sudah masuk dunia kerja, meskipun harus melewati fase pengangguran dulu.

"Mahasiswi sekarang kok banyak yang gatel, ya?" celutuk seseorang di belakangnya.

     Ia menoleh pada Ciko, teman kampusnya yang namanya sama dengan kucing sepupunya. Bahkan selalu mengingatkannya pada film Hachiko, si anjing setia—ending tragis. Bergender pure perempuan Jawa-Jepang.

"Kayak lo gak gatel aja tiap lihat pak Bara."

       Aluna memutar bola mata malas melihat cengiran lebar dari Ciko. Bara itu merupakan salah satu dosen panas berstatus duda tanpa anak di kampus ini.

   Yang bilamana doi keringetan mahasiswi auto piktor sambil gigit jari. Sayang Aluna tidak terkena pelet online sama itu batu bara, imannya cukup kuat meski sholat masih belang kambingan.

    Mereka duduk di salah satu bangku dekat pohon beringin yang katanya banyak pocong dan sering dijauhi para manusia ber-indigo. Mitosnya sih pernah terjadi pembunuhan perasaan di sini, makanya banyak cewek patah hati di sini. Katanya, loh.

"Edan, selama semester akhir kita bakalan ketekin terus sama pak Garda."

   Alis Aluna tertaut, "Siapa tuh? Gak kenal ada dosen yang namanya segitu menggelikannya." Moodnya langsung terjun bebas begitu mendengar nama laknat barusan.

   Ciko langsung melihat kondisi sekitar was-was, takut ada yang mendengar atau si pemilik nama sendiri yang memergoki mereka.

"Jangan dendam sama dosen, nanti kualat. Lagian itu salah lo juga tidur pas doi ngoceh." Ciko membuka tasnya dan mengambil beberapa aneka camilan manis berbahan dasar coklat. Dia bukan penggila cokelat, lebih tergila-gila akan sesuatu yang bernama uang ketimbang cinta dan sebagainya.

"Iya, tapi masa muka maha—suci gue kena imbasnya? Mana divideo-in terus disebar di grup seangkatan kampus? Gila-gila-gila! Kating kalau ketemu gue pasti bawaannya ngakak mulu. Mau pakai masker atau enggak, mereka masih ngenalin gue."

    Ciko terbahak mendengar temannya bercerita penuh membara. Setidaknya ia salah satu kameramen suruhan Garda, tentu ada upah setelahnya.

     Ayolah. Tidak ada yang namanya teman sejati susah-senang. Yang benar hanya teman setia jalan senang-senang saja.

   Aluna mencomot brownies milik Ciko kemudian melahapnya ganas, kekesalannya kian membuncah kala teringat wajahnya dicoret dengan spidol. 

    Bertuliskan rumus kimia dan jangan lupakan tanda tangan sang dosen terpampang nyata di jidat lebarnya. Kalau gampang dihapus sih mending, ya. Lah kenyataan itu spidol permanen, bikin muter otak cara menghilangkannya dalam waktu dekat.

"Gue duluan."

   Aluna bangkit, ia harus mempunyai strategi matang supaya terbebas dari kekepan dosen tidak sialan itu.

"Loh, kemana?"

    Buru-buru Ciko membereskan beberapa sampah yang berserakan. Jangan sampai ia dijadikan contoh buruk bagi maba, kan ia juga yang malu.

"Nyari sajen!" balas Aluna berlari cepat.

    Ciko bercebik kesal ditinggal begitu saja padahal ada gosip yang dighibahi. Selain itu, ia juga mau memamerkan hasil potret diam-diamnya.

  Aluna berkeliling kampus sebentar, upaya olahraga tanpa membakar lemak. Matanya berbinar kala mendapati sosok yang tengah membawa tas kerjanya.

"Mas Bara!"

"Sst. Kalau di kampus gini panggil Pak, jangan Mas. Nanti ketahuan gimana? Kan sudah sepakat."

   Wangi dan rapi. Itulah gambaran Bara, si duda panas yang menjadi tatapan lapar mahasiswi sini.

    Alunan mengangguk dan menyingkirkan tangan Bara yang membekap mulutnya.

"Maaf, Pak." Ia agak penasaran, parfum mana lagi yang digunakan lelaki itu. Setahunya bau ini belum pernah dipakai sebelumnya.

"Ada apa?" tanya Bara akhirnya. Beberapa pasang mata sudah melirik mereka. Bukan ja takut tersandung skandal, tetapi ia lebih khawatir kalau mahasiswinya ikut terlibat.

  Aluna memberikan tanda, mendekatkan wajahnya dan berbisik pelan. "Oh, begini. Tahu yang namanya Garda, kan? Iya-iya, namanya di blacklist, tapi tolong, dong."

"Tolong apa?" Kernyitnya menundukkan kepala.

"Bisa bujuk dekan atau petinggi univ buat ganti dosen yang tadi?"

"Lapor sama kaprodi saja, atau kamu yang langsung bicara sam-"   Sebuah telapak tangan malah menutup mulutnya.

"Nggak! Nggak perlu, jawabannya udah jelas."

"Santai saja, Al. Selama kamu bersikap baik, tidak akan terjadi hal yang buruk." Usapan di kepala itu membuat pasang mata yang iri menjadi dengki yang hakiki.

"Hm, Mas nggak ngerasain, sih."

"Haha, sudah. Ayo, kamu ada kelas saya, kan?"

"Iya, Pak. Sini tasnya saya bawakan, sekalian bonus nilainya jangan lupa."

   Lupakan soal kudeta nya. Ia akan pikirkan cara lain supaya bisa bebas dari jeratan Garda. Atau satu cara agar si dospret tidak lagi mengajar di sini. Apakah tragedi kopi Vietnam bakalan terulang?

<><><><><><><><><><><><>

    Aluna keluar kelas Bara dengan perasaan berbunga, memang cuma dialah yang bis membuat perasaannya kembali tenang dan nyaman. Mau sujud syukur tapi mager, mending dibayangin aja. Baru juga beberapa detik mau dibatinkan, sang pelaku sudah nongol saja.

   Buru-buru ia berbalik arah, namun keapesan melanda nasibnya. Terpeleset dengan jidat yang menabrak tiang. Kurang apes apalagi dia kalau bersinggungan dengan dosen mistis itu walau hanya setengah biji atom.

"Kamu tidak papa?"

Ma-malaikat? J-jodohku? Eh?

  Ekspektasi Aluna ambyar kala yang dilihatnya bukan malaikat apalagi pangeran berkuda putih atau pangeran vampir Edward Cullen's, melainkan si Garda.

   Mimpi apa sih, aku semalam?!

    Dari sekian banyak mahasiswa yang ada di kampus ini apakah tidak ada satupun yang menaruh empati padanya sampai harus Garda segala yang turun tangan?

"Baik kok, Pak!"

  Badannya langsung bangkit, memasang wajah ceria di depan Garda. Ini cuman kamuflase, supaya tidak terlibat lebih jauh lagi dengan sosok yang rasanya ingin ia buang ke rawa-rawa.

"Tidak sakit?"

   Jiwa bar-bar Aluna bangkit menyumpahi Garda yang bertanya begitu baiknya tapi tangannya benar-benar laknat, menjentik area jidat Aluna yang kejedot.

  Ia bahkan menggigit bibir dalamnya kuat-kuat lalu mengangguk kecil. Kurang baik apalagi Aluna sebagai manusia?

"Oh, lain kali kalau lihat saya jangan suka kabur. Kan, kamu kualat juga."

  Oh, nyindir nih ceritanya?

   Tetap memasang senyum ceria sembari menahan sabar mendengar ucapan Garda bernada mengejeknya. " Mana berani saya, Pak. Mungkin hanya perasaan Bapak saja."

    Senyum Garda terbit makin membuat Aluna memundurkan langkah perlahan. Ada apa dengan kedua tangan keramat dosennya yang menguncinya? Harusnya yang melakukan adegan tersebut adalah babang Hari Puter, bukannya si genderuwo.

"Oh, ya? Lalu bagaimana insiden kamu masuk ke dalam bak sampah? Kejedot dinding, disengat semut merah, jatuh dari pohon dan masih banyak lagi." Aluna tertohok pada ucapan dosen mahanya.

     Jadi, yang dikatakan Ciko itu benar? Melarikan diri dari dosen itu merupakan kutukan?

"Ha-ha, itu cuma kebetulan aja kok, Pak." Senyum di depan genderuwo itu hukumnya wajib. Kalau tidak, auto-enter neraka.

      Beberapa mahasiswa yang lewat hanya menatap miris dan ada yang menahan tawa, dikira dia sedang nge-lawak kali.

"E-em, maaf Pak, saya permisi dulu." Merosotkan badannya hingga ia berhasil lepas dari pojokan Garda. Sayang, itu cuman halu.

"Tunggu."

  Aluna berjengit kaget, bulu kuduknya berdiri menatap ngeri lengan dosennya yang menahan lengannya.

     Ampun, ia yakin kalau tangan Garda yang berurat itu masih sering memukul samsak atau sesuatu yang bisa ia lepaskan. Secara, doi masih sering latihan nge-gym atau ikut parade seni bela diri.

"A-ampun, Pak. "

"Kamu ini kenapa, sih? Takut banget saya bikin ngulang."

   Aluna melotot mendengarnya. Batinnya berteriak memaki-maki sosok itu, ia hampir keceplosan absen nama binatang tatkala tangan itu malah terulur padanya.

  "Duh-duh, jangan gini dong, Pak!" sergahnya mencegat tangan Garda yang hendak merogoh tasnya.

   Akan tetapi, di mata mahasiswa yang lewat. Keduanya seperti oknum bandar yang tengah bertransaksi. Sungguh dan sangat menggelikan.

   Setelah adegan tarik-dorong yang Aluna lakukan demi kebebasan. Akhirnya ia tepar di bangku kantin, hanya Ciko yang masih ketawa-ketiwi sebagai saksi tanpa mau jadi pahlawan.


    Aluna menatap horor permen karet digenggamannya, barang bukti yang membuatnya seperti oknum bandar narkoba.

"Lo kenapa lihatin permen karet sampai segitunya?" tanya Ciko heran.

   Tak mungkin kan temannya itu jatuh cinta dengan sebuah permen karet? Terdengar sangat frustasi dan menyedihkan, tapi hal semacam itu kan memang ada.

"Menurut lo mungkin gak, sih? Komposisi permen karet ini mengandung sianida atau racun tanpa wujud tapi sangat mematikan yang kalau disentuh se-atom saja lalu membunuh perlahan-lahan?"

Ciko memutar bola mata malas. "Hiperbola. Kalau gak mau, buat gue aja." Aluna memukul keras tangan usil Ciko.

"Jangan-jangan ini bom? Pak Garda ngasih gue beginian apa maksudnya? Fix, gue yakin ini tanda permusuhan?" Angguknya yakin. Membuka bungkusnya dan mengunyah isi permen tersebut.

"Wah, rasa jeruk."

   Sayangnya permen karet ini bukan dari pabrik yang Yosan. Kan cita-cita kecilnya adalah mengumpulkan lengkap huruf dari permen tersebut.

"Menurut gue, Pak Garda kasih ke elo sekedar kasihan aja mungkin, atau itu jebakan doi." Keduanya saling pandang dengan segudang pemikiran yang hampir sama.

"Maksudnya dia ngasih ini sebagai pemanis awal dari segala kepahitan dan penderitaan akhir semester gue nanti!?"

     Ciko mengangguk kuat, Aluna malah menangis tanpa diminta. Beberapa mahasiswa menatapnya aneh dan bingung, beranggapan kalau Aluna tengah putus atau patah hati.

   Sementara itu di kejauhan ada sepasang mata yang menatap bingung Aluna lantaran menangis sambil mengunyah permen karetnya.

"Dia gak suka permen ya?" gumamnya berlalu meninggalkan tempat pengintaian. "Kalau begitu apa coba bunga bank saja, ya? Eh, tapi haram, kan?" gumamnya, menggaruk kepala belakang kasar.

"Bu, nasi goreng kukusnya satu. Lauknya terserah."

   Garda pergi, meninggalkan si ibu penjaga kantin yang melongo kebingungan. "Minumnya?"

"Teh manis tanpa gula."

❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️

Vote dan komen, ya.

Written by : Arbayahs

Post : 20-11-20

Revisi : 10-08-21

Fortsett å les

You'll Also Like

24.7K 1.3K 32
Arumi Sekar & Andi Prayoga, 2 orang anak manusia yang sama - sama terbelit dengan permasalahan hidupnya. hingga membuat mereka berdua benar - benar s...
5.6K 879 20
OPEN PO 15 - 21 November 2021 Link pemesanan ada di bio Sultan Bagaskara, Direktur Utama PT Tambang Bagaskara, ditugaskan untuk mendapatkan hati Fasy...
59.5K 4K 19
Fanfic ini pernah post di blog saya. Berhubung saya lanjut nulis di sini. Saya share ulang dengan chapter baru. Happy reading^^ "Meeting by chance w...
32.8K 4.1K 24
- Zona dewasa 21+ - Bijaklah bagi para pembaca yang belum cukup umur - Sudah tersedia versi pdfnya (nggak ada versi ebooknya) - Dihapus sebagian - Pr...