Cerewet Couple [E N D]

By trifenadeva

13.7K 2.1K 1K

[ Follow dulu sebelum membaca, terima kasih!✨ ] "Aarghhh!" teriak Arkan begitu melihat seorang gadis yang dud... More

|Perkenalan Tokoh|
Arkano Aldrey Devandra
Fiona Meila Gresditya
CC•1
CC•2
CC•3
CC•4
CC•5
CC•6
CC•7
CC•8
CC•9
CC•10
CC•11
CC•12
CC•13
CC•14
CC•15
CC•16
CC•17
CC•18
CC•19
CC•20
CC•21
CC•22
CC•23
CC•24
CC•25
CC•26
CC•27
CC•28
CC•29
CC•30
CC•31
CC•32
CC•33
CC•34
CC•35
CC•36
CC•37
CC•38
CC•39
CC•40
CC•41
CC•42
CC•43
CC•45
CC•46
CC•47
CC•48
CC•49
CC•END??
E N D I N G

CC•44

130 22 4
By trifenadeva

Fiona berjalan lambat memasuki kelasnya. Hari ini Fiona sangat tidak bersemangat. Kemarin ayahnya berkata jika mereka berdua, beserta Arkan juga, akan mengunjungi sekolah lama Fiona, yaitu SMA Nusa Dua. Bukan untuk bernostalgia, melainkan mengusut kasus Fiona yang sebenarnya tidak diperlukan.

Fiona menghela napas berat sembari menarik kursi dan meletakkan ranselnya di bawah meja. Fiona duduk, lantas menoleh pada Arkan yang tampak tertidur pulas. Dalam hati Fiona mendengkus kesal. Teman sebangkunya itu terlihat menjengkelkan sekali hari ini. Ia datang dengan suasana hati yang tidak baik, bukannya ditunggu tapi dia malah asik-asikan tidur.

"Ar." panggil Fiona kemudian membangunkan Arkan sedikit tak bersahabat.

Tidak ada jawaban ataupun gerak-gerik tubuh Arkan yang merespon panggilan Fiona.

Fiona berdecak pelan. "Ar ...." panggilnya untuk kedua kali.

Namun lagi-lagi Arkan masih saja pulas dalam mimpinya. Fiona pun akhirnya menggoyang bahu Arkan dengan kuat sampai beberapa kali.

"Ar!" Fiona sedikit berseru.

Detik itu juga lah Arkan mengangkat kepalanya. Arkan mengucek kedua matanya, menatap Fiona dalam keadaan yang masih setengah sadar.

"Udah masuk, Pio-pio?" tanya Arkan dengan suara serak, khas orang bangun tidur.

Fiona berdecih. "Bangun juga lo akhirnya, gue kira udah mati." sengit Fiona.

Arkan tercengang mendengar perkataan Fiona barusan. Netranya yang sebelumnya masih menyipit langsung terbuka lebar. Kesadarannya pun akhirnya terkumpul sempurna.

Arkan memandang Fiona yang duduk menghadap papan tulis. Bibir gadis itu mengerucut ke depan, netranya tampak redup, tidak seperti biasanya. Aura Fiona sangat terasa perbedaannya. Dalam sekali tebak saja Arkan tau, teman sebangkunya itu keadaannya sedang tidak baik-baik saja.

Kondisi seperti ini, Arkan memilih mengalah. Arkan tidak mau memperkeruh suasana hati Fiona yang sudah buruk. Dengan penuh kelembutan, Arkan meraih dagu Fiona, membuat gadis itu bertatapan dengannya.

"Lo kenapa, hm? Siapa yang buat lo gak mood?"

Fiona melepaskan tangan Arkan dari dagunya, lantas memutus pandangan mereka dan menggelengkan kepalanya. "Gak. Gue gak kenapa-napa."

"Jangan bohong, Pio-pio. Gue tau lo lagi badmood. Kenapa sih?" tanya Arkan penasaran.

"Siapa yang bohong coba? Orang gue beneran gak kenapa-napa." elak Fiona tetap tidak menatap Arkan.

Arkan menghela napasnya untuk terus sabar. "Pio-pio, gue tanya sekali lagi, lo kenapa? Kalau ada masalah cerita sama gue, siapa tau gue bisa bantu. Gue gak mau lo pendam sesuatu sendirian, Pio-pio."

"Gue gak kenapa-napa, Ar!" Fiona berdecak, kali ini sambil menoleh menatap Arkan sengit.

Alih-alih membalas kemarahan Fiona, Arkan justru tersenyum lebar. Arkan lalu meraih tangan Fiona. "Mau gue cium di depan temen sekelas, atau mau cerita ke gue sekarang?"

"HAA?!" pekik Fiona cukup keras, sampai membuat seisi kelas menatapnya bingung. "Maaf-maaf, gue gak maksud kagetin kalian." ujar Fiona kemudian pada teman sekelasnya.

Setelah teman-temannya kembali dengan kesibukan mereka, Fiona menatap Arkan jengkel. Fiona menghempaskan tangannya yang masih dalam genggaman Arkan.

"Lo gila ya!" geram Fiona.

Arkan terkekeh. "Gapapa gue gila, daripada gue stress mikirin lo yang gak mau cerita ke gue." balas Arkan santai sembari menjulurkan lidahnya. "Jadi sekarang gimana? Masih gak mau cerita? Gue tarik ke depan kelas nih."

Fiona mencebik. "Iyaa udah iyaa, gue cerita sekarang." dengus Fiona sebal dan Arkan pun tersenyum penuh kemenangan.

"Kemarin gue udah jelasin semuanya ke bokap, terus bokap gak terima. Hari ini rencananya bokap mau ke sekolah lama gue, ngusut kasusnya ke kepsek. Kalau Raka sama Reihan gak dapet hukuman yang adil, bokap mau nuntut sampe ke kepolisian."

"Haa?" Arkan tidak tau harus merespon bagaimana, dirinya cukup terkejut saat ini.

Arkan teringat dengan ucapan ayahnya Fiona saat di telepon waktu itu. Ternyata benar, beliau akan menuntut kasus ini demi putrinya. Astaga, pantas saja jika Fiona tampak lesu pagi ini.

"Nanti istirahat kedua bokap bakal ke sini. Jemput lo ama gue buat ke Nusa Dua."

"Gue?" Arkan menunjuk dirinya sendiri, bingung dengan maksud perkataan Fiona.

Fiona mengangguk. "Bokap minta lo jadi saksi. Lo mau gak?"

Arkan menggaruk pelipisnya. Bagaimana sekarang? Haruskah ia menolak? Tapi rasanya tidak mungkin ia menolak. Pada saat kejadian kan memang dirinya ada di tempat, dan dirinya juga lah yang mengetahui rencana Reihan itu.

Arkan menghela napasnya. "Ya udah deh, gapapa. Demi lo gue juga mau pelakunya dapat hukuman. Biar mikir-mikir lagi kalau ke depannya mau ngulang kesalahan yang sama."

"Ya udah. Puas kan lo sekarang? Itu yang buat gue gak mood." Fiona melirik Arkan sebal lalu mengalihkan tatapannya pada papan tulis di depan.

Dari samping Arkan terkikik geli. Fiona kembali mengerucutkan bibirnya ke depan. Gadis itu benar-benar menggemaskan jika sedang cemberut.

Pio-pio, Pio-pio, masalah gitu kok badmood sampe marah-marah ... padahal kan tinggal bilang gue, "Ar, ntar kita berdua ke Nusa Dua, bareng bokap juga buat ngusut kasus kemarin," nah, gitu kan, selesai.

Suara pikirannya itu membuat Arkan mengulum senyumnya sembari menggelengkan kepala mengingat tingkah Fiona beberapa menit yang lalu. Tapi jika dipikir-pikir, pikirannya benar juga. Fiona kan bisa tinggal bilang seperti itu, mengapa harus marah-marah lebih dulu?

Apa ada hal lain yang ganggu Pio-pio ya? Pikiran Arkan kembali bersuara.

"Eh, Pio-pio, tapi ya gue masih bingung. Lo kan bisa tuh ngomong ke gue tanpa marah-marah, terus kenapa tadi kayak emosi banget? Padahal kan gue juga udah nanyain lo baik-baik awalnya, kenapa lo nya kayak sewot gitu? Apa gue salah sesuatu?" tanya Arkan akhirnya menyuarakan isi kepalanya.

Fiona menoleh sekilas ke Arkan. "Niatnya gitu, tapi salah sendiri lo tidur. Buat gue jengkel aja."

"Haa?" Arkan mengangkat satu alisnya tak mengerti.

Fiona mendengkus. "Makanya jangan tidur mulu. Lo kan tau alasan bonyok gue balik. Terus kenapa kemarin gak tanya gimana? Hari ini juga, ketemu di sekolah malah lo tidur. Harusnya kan lo nunggu gue dateng, terus tanya." oceh Fiona panjang lebar.

Untuk beberapa menit Arkan terdiam mencerna semua keluhan Fiona tentang dirinya dengan seksama. Satu hal yang Arkan sadari kemudian. Senyum lebar pun mengembang sempurna di wajah tampannya.

Tepat ketika bel masuk berbunyi, Arkan mencondongkan tubuhnya ke Fiona lalu berbisik, "Makasih ya, udah buat gue sadar kalau dua hari ini gue kurang merhatiin lo. Makasih juga udah mau jujur kalau lo butuh perhatian dari gue."

Detik itu juga, giliran Fiona yang membeku di tempat dengan debaran jantung yang sudah tidak lagi terkontrol.

---

Seperti perkataan Fiona pagi tadi, kini Arkan, Fiona, dan ayah Fiona sudah berada di dalam mobil dan sebentar lagi akan memasuki lingkungan SMA Nusa Dua. Aldi duduk di balik kemudi, sementara kedua remaja berlawanan jenis itu duduk bersama di tengah.

Bukan disengaja sebenarnya Arkan dan Fiona duduk berdua, melainkan atas perintah Aldi lah yang meminta mereka untuk duduk bersama. Alasannya klise, hanya supaya Arkan menemani Fiona yang tampak tak bersemangat. Dengan senang hati, Arkan pun menerima permintaan Aldi tersebut.

Kini mobil sudah berbelok memasuki gerbang SMA Nusa Dua. Fiona di samping Arkan tampak gelisah. Kesepuluh jarinya saling bertautan dan meremas satu sama lain. Melihat itu, Arkan menghela napasnya.

Setelah mobil terparkir di tempat yang telah disediakan, mereka bertiga pun turun. Aldi berjalan lebih dulu, sementara Fiona masih terpaku memandangi setiap sudut sekolah lamanya.

Arkan berjalan mendekat ke Fiona, lalu mengikuti arah pandang gadis itu. Baru Arkan sadari kalau ternyata SMA Nusa Dua lebih besar dari sekolahnya. Gedung tinggi nan megah menyambut begitu mereka memasuki gerbang utamanya. Namun saat ini sekolah tampak sepi. Mungkin belum waktunya istirahat, atau istirahatnya sudah habis. Entahlah, Arkan juga tidak peduli.

"Sekolah lo besar juga ya ternyata." kagum Arkan.

Fiona tersenyum kecut. "Isinya tapi menakutkan. Gue takut, Ar, untuk masuk." cicit Fiona.

Fiona tidak berbohong. Ia benar-benar takut masuk ke dalam. Sekelebat bayangan masa lalu menari-nari di kepalanya. Daun telinganya seakan berdengung mengingat bagaimana dulu teman seangkatan, guru-guru, dan kakak kelasnya menghujatnya habis-habisan.

Arkan kembali menghela napasnya. Lalu Arkan berpaling pada Aldi yang belum begitu jauh. "Om Aldi," panggil Arkan.

Aldi berbalik badan, sedikit terkejut menemukan putrinya dan Arkan masih berdiri di tempat. Aldi kemudian berjalan mendekat ke mereka.

"Kalian belum jalan daritadi?"

Arkan menggeleng. "Belum, om. Fiona ... Fiona takut masuk ke dalam ...." Arkan melirik gadis yang berdiri di sebelahnya itu, lalu menatap Aldi lagi. "Om, Arkan izin gandeng Fiona ya? Kasian dia kalau ketakutan kayak gini."

Beberapa detik Aldi termangu mendengar permintaan Arkan. Aldi sama sekali tidak menyangka Arkan berani izin seperti itu kepadanya. Bukannya ia tidak boleh, hanya terkejut saja ada laki-laki yang masih sopan seperti Arkan.

Aldi kemudian mengangguk sambil tersenyum penuh arti. "Silahkan. Terima kasih sudah mau peduli sama putri om. Sekarang ayo, jalan."

Arkan mengangguk sembari membalas senyuman Aldi. Sebelum berjalan, Arkan meraih tangan Fiona, menyatukan kelima jari mereka dan mereka pun masuk ke dalam SMA Nusa Dua sambil bergandengan tangan.

Hamparan lapangan luas menyambut kedua netra mereka. Fiona menghela napasnya lemah kala ia dan Arkan menyebrangi lapangan tersebut.

"Dulu gue pernah dipermaluin di sini ...." lirih Fiona.

Mendengar itu Arkan langsung memindahkan tangannya. Tidak lagi menggandeng Fiona, tetapi bertengger manis di pundak gadis itu.

"Udah, jangan diinget lagi, oke? Kan lo udah bangkit. Tata yang baru, jadiin yang kemarin sebagai pelajaran dan jangan sampai keulang lagi."

Fiona melirik Arkan sambil tersenyum samar. "Thanks, Ar." ucap Fiona.

Arkan mengangguk. "My pleasure, Pio-pio. Btw, tunjukkin gue kelas lo dulu dong ... sekalian bawa gue ke tempat favorit lo di sekolah ini. Mau kan?"

"Kalau ruang kepala sekolahnya masih sama, kita bakal ngelewatin kelas gue. Kalau tempat favorit ... mm ...," Fiona menggeleng, "gue gak ada tempat favorit di sini. Paling kantin aja, cuma buat nongkrong sih. Makanannya juga enak-enak."

Arkan tersenyum lebar. "Boleh tuh kantin. Tadi kan lo istirahat pertama belum makan, nanti kalau ini ada waktu, kita ke kantinnya ya? Gue pingin nyoba juga ...." ajak Arkan.

Fiona mengangguk. "Oke."

Mereka pun kembali melanjutkan langkah mereka dalam diam. Ruangan kepala sekolah berada di ujung lorong lantai dua. Kini Arkan dan Fiona sedang menaiki tangga, sementara Aldi sudah berdiri di anak tangga paling atas.

Di lantai dua, ketiganya berbelok ke sisi kiri. Setelah melewati dua ruang kelas yang cukup besar, mereka akhirnya berdiri di depan ruang kepala sekolah. Aldi berbalik badan menatap putrinya yang masih dirangkul oleh Arkan.

"Fiona, kamu tunggu di luar dulu. Nanti kalau diperlukan baru papa panggil kamu masuk." Aldi lalu beralih pada Arkan. "Arkan, om titip Fiona ya ...."

Arkan mengangguk. "Siap, om."

"Oke .... Ya sudah, papa masuk dulu ...."

"Eh, pa, bentar." cegah Fiona tepat sebelum ayahnya mengetuk pintu.

Aldi kembali menatap putrinya. "Kenapa lagi?"

"Fiona sama Arkan mau ke kantin, boleh? Fiona belum makan, pa ...."

"Iyaa udah gapapa, tapi nanti kalau papa telepon langsung diangkat."

Fiona mengangguk. "Siap, pa ...."

Aldi balas mengangguk, lantas mengetuk pintu dan memasuki ruangan kepala sekolah.

Sepeninggal ayahnya, Fiona berbalik menatap Arkan yang berdiri di sampingnya. "Sekarang?" tanya Fiona.

"Cus lah!" seru Arkan dengan senyum lebarnya.

Arkan dan Fiona pun kembali berjalan ke arah tangga. Namun tepat sebelum menuruni tangga, Fiona tiba-tiba saja berhenti di depan ruang kelas yang bersebelahan langsung dengan anak tangga.

"Ini dulu kelas gue." kenang Fiona memberitahu Arkan.

Sontak Arkan menoleh memandangi kelas tersebut. "Waktu kelas berapa?"

"Kelas sebelas kemarin ... cuma bentar doang ... dua mingguan."

Arkan manggut-manggut paham. Ia masih ingat cerita Fiona waktu itu. "Terus yang kelas sepuluh di mana?"

"Di bawah, tapi ini kita gak ngelewatin. Beda sisi soalnya ama kantin. Lo mau ke sana?"

Arkan menggeleng. "Gak perlu, ke kantin aja langsung. Gue gak mau lo sakit gara-gara gak makan seharian."

Fiona merunduk, mengulum senyumnya malu-malu. Entahlah, Fiona bahagia karena Arkan lebih perhatian kepadanya setelah insiden di kelas tadi pagi. Fiona juga tidak mengerti mengapa dirinya bisa bahagia seperti ini hanya karena Arkan langsung memperbaiki kesalahannya itu.

Fiona dan Arkan kemudian melanjutkan langkah mereka menuju lantai satu. Ah, ralat, menuju kantin maksudnya. Namun lagi-lagi, tepat ketika mereka sudah menuruni kesembilan anak tangga, seseorang memanggil Fiona dari arah belakang.

Fiona berbalik, pun dengan Arkan. Senyum Fiona lantas mengembang saat mengetahui siapa yang memanggilnya.

"Bu Sit ...." sapa Fiona balik.

Seorang wanita yang mengenakan seragam batik bewarna coklat dengan celana panjang kain yang dipanggil Fiona Bu Sit itu berjalan mendekat sembari tersenyum lebar.

"Iya, Fiona. Selamat siang ... senang saya bisa bertemu kamu lagi di sini."

"Selamat siang, bu ... saya juga senang ketemu ibu lagi."

Bu Sit terus mengulas senyumnya. "Bagaimana kabar kamu?" Bu Sit lalu beralih pada Arkan yang berdiri di samping Fiona. "Ini siapa? Pacar baru ya?"

"Eh?" jawab Fiona kikuk seraya menoleh ke Arkan dan menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

Alih-alih menjelaskan yang sesungguhnya, Arkan justru mengangkat kedua sudut bibirnya jauh ke atas. Arkan kemudian mengulurkan tangannya ke hadapan Bu Sit.

"Arkan, bu ...." ujar Arkan memperkenalkan diri.

Bu Sit menyambut uluran tangan Arkan. "Oh iya-iya ... saya Sintyas, biasa dipanggil Bu Sit oleh anak-anak. Dulu wali kelas Fiona."

Arkan mengangguk sopan tanpa melepas senyumnya. Lalu setelahnya, Bu Sit kembali menatap Fiona.

"Kamu ada perlu apa, Fiona? Mengurus berkaskah?" tanya Bu Sit.

Fiona menggeleng. "Gak, bu .... Ada keperluan lain, bukan masalah berkas, hehehehe ...."

"Ooh ...." Bu Sit manggut-manggut, "saya kira ada berkas kamu yang kurang. Sekarang kamu sekolah di mana?"

"Mitra Bangsa, bu."

Bu Sit menaikkan kedua alisnya. "Wah, cukup jauh ya dari sini. Gimana di sana? Senang? Lebih enak sini atau sana?"

"Dua-duanya enak kok, bu ...." kekeh Fiona.

"Ah, masa? Pasti lebih enak sana kan? Buktinya ini kamu sampai udah punya pacar lagi ...." gurau Bu Sit seraya melirik Arkan sekilas.

Fiona tersenyum kikuk. Telunjuknya menggaruk pelipisnya. Sementara Arkan di sampingnya justru semakin melebarkan senyum saat kembali dianggap sebagai pacar Fiona.

"Ya sudah kalau begitu. Ibu senang bisa lihat kamu sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Jangan sampai mengulang kesalahan yang sama lagi ya, nak. Jadiin yang kemarin itu sebagai guru buat kamu. Ibu yakin, Fiona pasti bisa." ujar Bu Sri kemudian memberi wejangan.

Fiona mengangguk. "Iya, bu, terima kasih."

Bu Sit ikut mengangguk. "Iya, sama-sama. Ibu ke ruang guru dulu ya ...." pamit Bu Sri.

"Iyaa, bu ...." balas Fiona.

Bu Sit tersenyum. "Mari," pamit Bu Sit lagi, kali ini pada Arkan.

Arkan membungkuk sopan, "silahkan, bu."

Setelah Bu Sit pergi meninggalkan mereka, beberapa guru lainnya mulai menuruni tangga. Ketika pasang mata guru-guru tersebut bertemu dengan Fiona, ada beberapa yang langsung berbisik-bisik, tapi ada juga yang berani menyapa Fiona dengan maksud terselubung.

"Eh, Fiona .... Saya tidak menyangka bisa lihat kamu lagi di Nusa Dua. Sudah tidak malu ya sekarang? Gimana, masih merokok kah?"

Barusan adalah salah satu contoh guru yang menyapa Fiona dengan maksud terselubung. Namanya Bu Gita, guru bahasa inggris Fiona yang dari dulu selalu mencemooh Fiona akan masalah rokok waktu itu.

Ketika Bu Gita berkata demikian, Fiona hanya berusaha tersenyum agar tetap terlihat sopan. Nyatanya, hatinya terus berdenyut mendengar perkataan guru bahasa inggrisnya itu.

Selanjutnya ada Pak Bambang, guru matematikanya yang kurang lebih sama seperti Bu Gita.

"Wah ... Fiona terlihat lagi di Nusa Dua. Bagaimana kabarnya, Fiona? Sudah berhenti merokok?"

Lagi, Fiona hanya memaksakan senyumnya kepada gurunya itu. Sementara Arkan di sampingnya tampak memandang Pak Bambang tak suka.

Setelah kedua guru menyebalkan itu pergi, Arkan segera menarik tangan Fiona menuruni tangga menuju kantin.

"Guru kok mulutnya turah." cibir Arkan sengit.

Sesampainya mereka di kantin, Arkan langsung mencari tempat duduk yang kosong. Setelah menemukannya, Arkan duduk dan memangku dagunya dengan alis yang saling bertautan.

"Lo marah, Ar?" tanya Fiona ketika melihat kerutan ketus di wajah Arkan yang jarang sekali Arkan tampilkan kepadanya.

Arkan mendengkus. "Jelaslah gue marah. Mereka itu guru loh, tenaga pendidik, tapi kenapa mulutnya kayak gitu? Punya otak gak sih mereka?! Harusnya mereka tuh profesional! Gak bisa subjektif kayak gitu. Coba kalau anak mereka yang dicap begitu, mau gak?!" berang Arkan dengan tangan yang mengepal kuat di atas meja.

Fiona di sampingnya menatap Arkan takut-takut. Ini kedua kalinya Fiona melihat Arkan marah bukan kepalang. Pertama, sewaktu Arkan membabi buta menghajar Dion di kantin, dan sekarang, mungkin jika Arkan nekat, bisa saja kedua gurunya tadi langsung Arkan cibir habis-habisan.

"Lo kenapa sih tadi gak ngelawan? Kalau gue jadi lo ya, gue sindir itu guru. Gue balikin omongan mereka ke diri mereka sendiri. Gak peduli mereka mau marah kek atau ngancam gue atau bahkan ngasih gue nilai sikap c. Gue gak peduli! Mereka gak pantes disebut guru! Otak mereka kayak anak SD!" Dada Arkan kembang-kempis, menandakan bahwa laki-laki itu sudah di ambang batas kesabarannya. Bahkan Arkan tidak memedulikan keadaan kantin yang lengang, yang otomatis membuat sebagian besar ucapannya terdengar di setiap sudut kantin.

"Gue rasanya pingin ngehajar mulut itu guru." Kepalan tangan Arkan memukul meja pelan.

Nah, benar kan dugaan Fiona tadi. Fiona pun menghela napasnya untuk tenang. Arkan ketika sedang marah sedikit menakutkan.

"Ar ... udah dong, gue takut lihat lo marah ...." cicit Fiona.

Mendengar suara Fiona yang bergetar takut, Arkan memejamkan matanya. Arkan menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Setelah dirasa napasnya kembali normal, Arkan membuka lagi netranya. Arkan menatap Fiona penuh perhatian. Sungguh kesal rasanya ia bertemu langsung orang yang menghina gadis di sampingnya ini.

"Maafin gue ya? Gue tadi emosi banget lo digituin. Sekarang tolong jangan takut, gue udah gak marah kok ...." ujar Arkan lembut dengan tangan yang mengelus puncak kepala Fiona.

Fiona mengangguk pelan. "Gue udah biasa kok, Ar, digituin. Makanya gue biasa aja, mau melawan juga percuma."

"Mereka kebangetan, Pio-pio. Gak seharusnya guru seperti itu .... Ah, udahlah, gak usah dibahas lagi daripada gue emosi. Gue gak mau buat lo takut. Mending sekarang gue pesenin lo makan. Lo mau apa?" tanya Arkan dengan sikapnya yang mulai kembali seperti semula. Tengil, jahil, dan cengengesan.

Fiona mengitari seluruh penjuru kantin. Banyak sebenarnya makanan yang ia ingin makan. Apalagi rasa masakan di Nusa Dua ini sudah lama ia rindukan, karena memang benar-benar enak. Tapi suasana hatinya sudah terlanjur berubah, membuat Fiona akhirnya hanya menunjuk satu kios yang terletak di ujung selatan.

"Gue mau ayam geprek." celetuk Fiona.

Arkan mengikuti arah yang ditunjuk Fiona. "Cabai berapa?" tanya Arkan menatap Fiona lagi.

Fiona membalas tatapan Arkan, lalu merentangkan kelima jarinya. "Lima."

Arkan mengangguk paham, lantas bangkit berdiri. Namun baru saja Arkan akan berjalan, Fiona menarik tangannya lagi.

"Kenapa?" tanya Arkan.

"Lo gak makan?" tanya Fiona balik.

Arkan terkekeh. Tangannya terulur mengacak rambut Fiona. "Makan lah. Gue pesennya sama kayak lo, daripada gue kayak anak ilang milih makanan di sini." jelas Arkan menjawab pertanyaan Fiona yang sebenarnya.

"Ooh ...." Fiona manggut-manggut. Ternyata Arkan mengerti isi kepalanya yang memang bingung melihat dia tidak bertanya tentang makanan di kantin ini.

"Ya udah sana, titip es teh sekalian."

Arkan mencubit pipi Fiona gemas. "Siap." Setelahnya, Arkan kemudian meninggalkan Fiona seorang diri.

Bersamaan dengan langkah Arkan yang menjauh, bel istirahat berbunyi. Fiona menghela napasnya berat. Jujur saja, inilah yang ia khawatirkan sejak tiba di Nusa Dua beberapa menit yang lalu.

Bel istirahat. Ketika bel itu dibunyikan, maka semua siswa akan segera berhamburan keluar untuk mengisi perut yang sudah meronta-ronta. Tujuan mereka hanya satu, sebuah tempat yang disebut kantin.

Lalu apa alasan Fiona merasa khawatir? Tentu saja karena Fiona memiliki masa lalu yang suram di SMA nya ini. Banyak siswa yang mengenal Fiona. Tak sedikit pula yang menghujatnya secara terang-terangan. Kini dirinya berada di kantin, dan dengan dibunyikannya bel istirahat, semua siswa pasti akan menuju kantin.

Bisa kalian mengerti sekarang? Fiona di kantin, seluruh siswa pun demikian. Fiona khawatir, ah, tidak-tidak. Ralat. Fiona takut jika dirinya kembali jadi bahan olok-olokkan satu sekolah.

Dalam hati Fiona terus memohon agar tidak seorang pun mengenali dirinya. Namun sayang, ekor matanya menangkap seseorang yang cukup ia kenal dulu berjalan ke arahnya. Sepertinya Tuhan memang ingin membuatnya belajar untuk lebih kuat lagi.

"Hi, bitch ...." Gadis berambut pirang dengan seragam serba ketat itu duduk di hadapan Fiona dengan senyum miringnya.

Dia Monica, kakak kelas yang sedari dulu sudah membenci Fiona karena Fiona menjadi kekasih Reihan. Ya, Monica menyukai Reihan dan Monica cemburu dengan Fiona. Setelah ada kasus rokok itu, Monica lah yang menjadi provokator bagi siswa-siswa lain untuk menghujat Fiona.

Monica kemudian berdiri sembari menggebrak meja kantin, membuat seisi kantin memusatkan perhatian ke arah mereka.

"GAIS, LIHAT SIAPA DI SINI ... FIONA MEILA GRESDITYA, SI CEWEK NAKAL YANG BERANI BAWA ROKOK KE SEKOLAH." seru Monica lantang lalu tertawa puas melihat Fiona yang merundukkan kepala.

Fiona memejamkan matanya kuat-kuat sembari menggigit bibir bawahnya. Hatinya berdenyut-denyut ketika bisik-bisik siswa lain mulai menghunus indera pendengarannya. Sebisa mungkin Fiona menahan kristal bening yang sebentar lagi mengucur keluar dari sudut matanya.

"Heh, cewek nakal!" Monica mengangkat dagu Fiona secara kasar. Melihat Fiona yang matanya terpejam, Monica mendengkus. "Buka mata lo!"

Perlahan Fiona membuka matanya. Selaput bening mulai mengaburkan pandangannya. Fix, jika dirinya tidak menahan selaput itu, dipastikan Monica akan semakin senang mengolok dirinya.

"Mau nangis lo? Mau mewek? Dulu aja sok berani bawa rokok, eh terus kok kayak pengecut. Ngilang gitu aja, pindah sekolah. Coba sekarang ajarin gue dong, caranya ngerokok gimana sih? Gue gak bisa nih ... tangan gue gak bisa ngapit rokok." ejek Monica dengan senyum sinisnya.

Fiona semakin kuat menggigit bibir bawahnya. Rasa sakit yang timbul dari gigitan itu seakan menjadi pelampiasan Fiona atas rasa sakit di hatinya.

Detik berikutnya Monica melepaskan dagu Fiona. Monica lantas membuka botol air mineral yang sebelumnya telah ia beli.

Mengerti apa yang ingin kakak kelasnya lakukan, Fiona langsung memejamkan kedua netranya. Suara botol yang diremas pun kemudian terdengar bersamaan dengan Monica yang menyiramkan air ke wajah Fiona. Namun anehnya, sampai tiga detik Fiona menghitung, Fiona tidak merasakan wajahnya basah terkena air. Sepercik pun tidak. Akhirnya, dengan sedikit memberanikan diri, perlahan Fiona membuka matanya. Dan betapa terkejutnya Fiona menemukan Arkan berdiri tepat di hadapannya.

"Arkan?"

---

[ budayakan follow sebelum membaca✨ ]

Happy Reading Readers❣
Jangan lupa vote+comment
Follow My Instagram : trifenadeva

double up, jangan?

Continue Reading

You'll Also Like

250K 14.6K 74
'' mau lo apasi ?!'' tanya Chacha dengan sewotnya pada Rey. ''memang , anak sekarang tidak tahu sopan santun'' gumam Rey menyindir Chacha. ''PAK RE...
3.1M 261K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
1.4M 113K 46
FOLOW SEBELUM MEMBACA! "Saya minta kamu jadi istri saya!" sebuah kalimat yang merubah kehidupan seorang gadis dalam waktu yang sangat singkat. ••• ...
81K 3.7K 73
🌿🌿🌿🌿🌿🌿 # Rank 1-third 21 mei 2020 Silahkan baca sendiri yyyyy...... kalau mau tau kelanjutannya😂😂😂 #cerita ini Dinyatakan selesai finist..ja...