Cerewet Couple [E N D]

By trifenadeva

13.7K 2.1K 1K

[ Follow dulu sebelum membaca, terima kasih!✨ ] "Aarghhh!" teriak Arkan begitu melihat seorang gadis yang dud... More

|Perkenalan Tokoh|
Arkano Aldrey Devandra
Fiona Meila Gresditya
CC•1
CC•2
CC•3
CC•4
CC•5
CC•6
CC•7
CC•8
CC•9
CC•10
CC•11
CC•12
CC•13
CC•14
CC•15
CC•16
CC•17
CC•18
CC•19
CC•20
CC•21
CC•22
CC•23
CC•24
CC•25
CC•26
CC•27
CC•28
CC•29
CC•30
CC•31
CC•32
CC•33
CC•34
CC•35
CC•36
CC•37
CC•38
CC•39
CC•40
CC•41
CC•43
CC•44
CC•45
CC•46
CC•47
CC•48
CC•49
CC•END??
E N D I N G

CC•42

132 18 2
By trifenadeva

Kini Arkan dan Fiona sedang berada di lapangan yang sebelumnya pernah mereka kunjungi bersama juga. Arkan sengaja mengajak Fiona ke sini, selain untuk bermain, Arkan bermaksud ingin membicarakan kedua orang tua Fiona yang akan kembali ke Indonesia besok.

Sudah dari kemarin Senin Arkan belum memberitahu Fiona. Arkan pikir, kalau misal gadis itu diberitahu awal-awal, mungkin saja dia bisa kepikiran terus harus menjelaskan bagaimana kepada kedua orang tuanya. Makanya Arkan berencana memberitahunya hari ini saja.

Sementara itu, di tengah lapangan terlihat Fiona yang tengah asik menggiring bola. Berlarian dari ujung ke ujung, lalu berhenti di area shooting dan terakhir menembakkan bola masuk ke ring. Menatap Fiona yang bergerak lincah, Arkan tanpa sadar mengangkat kedua sudut bibirnya jauh ke atas.

Arkan kemudian bangkit berdiri, mengambil bola yang terpantul di bawah ring, lalu menggiringnya seraya ia berjalan mendekat ke Fiona.

Fiona memandangnya sampai Arkan berdiri di hadapannya. Tangannya lalu terulur, hendak mengambil alih bola, namun Arkan justru menjauhkan jangkauannya. Fiona pun jadi menatap Arkan bingung.

"Jangan main terus, istirahat sana. Bentar lagi kita pulang, gak baik kalau lo keringeten tapi kering karena AC." ujar Arkan menasihati.

"Haa?" Fiona memicingkan mata. "Gue masih mau main tapi ... udah lama juga gue gak basketan." rajuk Fiona.

Arkan menggeleng. "Di rumah gue kan nanti bisa, lo malah gak terbatas waktu kalau mau pake lapangan. Bebas. Udah sana lo duduk, gue beliin minum dulu."

Fiona menghela napasnya berat. Gini nih susahnya pergi berdua. Sepertinya lain kali ia harus pergi sendiri jika ingin ke sini. Akhirnya, Fiona pun melangkah ke pinggir lapangan, duduk di tempat yang sebelumnya Arkan tempati.

Fiona meraih ransel sekolahnya, membuka bagian paling depan, lalu merogoh ponsel untuk melihat pukul berapa sekarang.

16.53

Fiona mendongak ke atas. Waktu berjalan begitu cepat. Perasaan tadi waktu dirinya datang, langit masih terang-benderang, namun sekarang semburat jingga mulai mencampurkan diri, membuat langit tampak lebih gelap dari sebelumnya.

Tak lama kemudian, ekor matanya menangkap sosok Arkan yang berjalan mendekat. Fiona menoleh, Arkan tersenyum kepadanya sembari menyodorkan sebotol air mineral.

"Kok, gak dingin?" tanya Fiona sedikit memprotes.

Arkan duduk di samping Fiona, membuka tutup botol, lalu menegaknya hingga tinggal setengah. "Gak ada, habis."

"Ooohh ...." Fiona mengendikkan bahu, kemudian juga meminum sedikit air mineralnya.

"Yang banyak," tegur Arkan begitu melihat hanya seperempat botol yang berkurang dari milik Fiona.

Fiona menoleh, lalu menatap botolnya sekilas. "Iyaa, nanti lagi. Kita mau pulang sekarang?"

Arkan menggeleng. "Enggak, setengah enaman aja nanti. Mau ngobrol dulu sekarang."

"Ngobrol apa?" tanya Fiona.

"Gak tau, hehehe ...," cengir Arkan. "Lo gih cari topik gitu, gue belum ada ide."

Arkan sengaja menunda pembicaraanya tentang kedua orang tua Fiona. Nanti saja setelah ada topik, baru ia bawa topik itu pada inti yang ia inginkan.

Mendengar jawaban Arkan tadi, Fiona mengangkat satu alisnya. "Lo yang pingin ngobrol, tapi gue yang nyari topik." dengus Fiona kesal.

Arkan terkekeh. Detik berikutnya, mereka berdua hanya diam, baik Arkan maupun Fiona masing-masing sibuk dengan kegiatannya. Arkan yang memang tidak tau harus mengobrol apa tampak memainkan botol mineralnya, sedangkan Fiona, ia sepertinya serius memikirkan ingin membuka topik apa.

Sembari berpikir, Fiona menatap sekitarnya. Lapangan ini terbuka untuk umum, tapi mengapa setiap kali ke sini, ia jarang melihat orang lain bermain? Aneh rasanya. Sekarang saja hanya ada dirinya dan Arkan, seolah lapangan telah mereka berdua sewa khusus.

Sebenarnya sih ini menyenangkan, bisa datang secara bebas tanpa membayar apapun dan tidak merasa canggung dengan pengunjung lain. Tapi lucunya ya tadi, tempat umum kok jarang dikunjungi.

Fiona pun jadi bertanya-tanya, bagaimana Arkan menemukan lapangan ini?

"Eh, Ar, gimana ceritanya sih, lo bisa nemu tempat ini?" tanya Fiona kemudian saking penasarannya, dan tanpa sadar telah membuka topik obrolan.

Arkan menoleh ke Fiona, lalu menatap setiap sudut di lapangan. "Gimana ya? Lupa gue." jawab Arkan sembari menatap Fiona lagi.

Fiona membalas tatapan Arkan datar.  Dasar Arkan, gue tanya serius malah jawabannya kek bercanda. gerutu Fiona dalam hatinya.

"Emang sejak kapan lo nemu lapangan ini? Kok bisa udah lupa," Fiona kembali bertanya.

"Kapan yaa? Hmm ...." Arkan melirik ke atas, layaknya seperti menerawang sesuatu. "Kelas sembilan kalau gak salah ... atau kelas sepuluh ya? Lupa gue. Dua tahun dua tahun setengahan lah."

"Oh." jawab Fiona singkat. "Lo sering ke sini berarti?"

Arkan mengedikkan bahu, lantas meletakkan air mineral di sampingnya dan menatap lurus ke depan. "Kalau lagi suntuk aja di rumah. Tapi jarang sih, emang kenapa?"

Fiona menggeleng beberapa kali. "Gapapa sih, tanya aja. Lo ternyata bisa ya suntuk di rumah, gue kira gak."

" Ya bisa atuh," Arkan terkikik, menatap Fiona. "Kenapa lo mikir gue gak bisa suntuk di rumah?" tanya Arkan penasaran.

Fiona mengalihkan pandangannya, menatap lurus ke tengah lapangan. "Ya kan keluarga lo gak yang tipe ngekang gitu, bebasin juga kayaknya. Biasanya jarang anaknya suntuk di rumah. Kalau misal kayak gue gini kan, bonyok kerja, suntuk di rumah ya wajarlah."

Arkan menaikkan kedua alisnya sembari mengangguk dan tersenyum samar. Ini topik yang bagus, karena Arkan tidak perlu susah membawa perihal kedatangan kedua orang tua Fiona ke dalam topik pembicaraan mereka. Tanpa sadar Fiona sudah membicarakannya, sehingga Arkan pun hanya tinggal memasukkannya saja.

"Bonyok lo pulang kapan, Pio-pio?" tanya Arkan tanpa melepas tatapannya dari Fiona.

Fiona menoleh ke Arkan. "Kalau gak November akhir ya Desember awal."

"Oohh ...." Arkan manggut-manggut, "lo kangen gak sama mereka?" pancing Arkan.

"Ya kangen lah," sahut Fiona cepat dengan senyum tipisnya, namun sedetik kemudian ekspresinya berubah seratus delapan puluh derajat. Fiona memutus tatapannya dengan Arkan, beralih menatap nanar lapangan di depannya.

Berbeda dengan Fiona, Arkan justru terus melekatkan netranya memandang Fiona yang perlahan mulai tampak khawatir. Sorot mata yang sebelumnya ceria, kini tampak meredup. Entah apa yang gadis itu pikirkan, tapi wajahnya berkata seakan dia teringat sesuatu yang begitu memilukan.

Apa? Pio-pio mikirin apa? tanya Arkan dalam pikirannya.

Tangannya lantas terulur menyentuh pundak Fiona, membuat gadis itu menoleh padanya. Dagu Arkan sedikit terangkat, bertanya tanpa suara akan apa yang dia pikirkan.

Alih-alih menjawab, Fiona justru merunduk sembari menggeleng pelan. Bukannya Fiona tidak mau menjelaskan yang sebenarnya, hanya saja Fiona merasa kalau apa yang tengah ia pikirkan sekarang tidaklah harus Arkan ketahui. Biarkan hal ini menganggu dirinya saja, jangan Arkan juga.

Akhirnya karena Fiona yang tak kunjung menjawab, Arkan menarik napasnya panjang. Sepertinya ini saat yang tepat untuk membicarakan perihal kedua orang tuanya yang akan kembali ke Indonesia besok.

Semoga aja Pio-pio gak marah lah ama gue gegara gue gak bilang dari awal kalau bonyoknya udah tau masalah dia sama Reihan. rapal Arkan dalam hati.

Arkan menatap tangan Fiona yang berpangku di atas paha gadis itu, lalu meraihnya dan langsung menautkan kelima jarinya sehingga kini telapak tangan mereka saling berhadapan.

Fiona sontak menoleh, terkejut dengan perbuatan Arkan. "Lo kenapa?" tanya Fiona antara kaget, panik, juga khawatir.

Arkan tersenyum sambil menggeleng. "Gapapa."

Kedua alis Fiona saling bertautan, membuat keningnya tampak bergelombang. "Terus kenapa pegang-pegang?" tanya Fiona lagi.

Kali ini Arkan terkekeh. Satu tangannya yang bebas terangkat, mengacak puncak kepala Fiona gemas. Dan tanpa Fiona sadari, dadanya mulai bergemuruh di dalam sana. Perlahan tapi pasti, Fiona merasa senang dengan kedua perlakuan manis Arkan barusan.

"Mau ngobrol aja, mau mesra-mesraan juga. Boleh gak?" gurau Arkan.

"Haa?" Fiona menatap Arkan heran.

"Bercanda-bercanda ... makanya lo jangan cemberut dong, gue kan jadi khawatir .... Sekarang gue mau ngobrol serius sama lo."

"Serius ke mana? Pelampinan?" Kali ini Fiona yang bergurau.

Mendengarnya Arkan langsung tergelak, bahkan sampai melepaskan tangan mereka yang sebelumnya saling bertautan dan beralih memegangi perutnya karena saking kocaknya ia tertawa. Arkan menarik hidung Fiona gemas.

"Lo mau gak kalau gue ajak ke pelampinan?" tanggap Arkan.

Bukan. Barusan itu Arkan tidak hanya sekedar bercanda, ia sengaja bertanya untuk melihat bagaimana respon Fiona.

Fiona terkikik geli. "Gue bercanda, Arkan, jangan lo anggap serius. Udah, lupain aja, lo mau ngobrolin apa tadi?"

Ah, jauh di luar ekspetasinya ternyata. Ia terlalu berharap lebih kalau Fiona akan menjawab iya. Dengan sedikit merunduk, Arkan pun tersenyum kecut, namun sedetik kemudian ia kembali mendongak, seolah tadi itu memang hanya bercanda.

Arkan kembali meraih tangan Fiona, menggenggamnya erat. "Gue mau tanya lagi sama lo." Satu tangan Arkan yang bebas menepuk punggung tangan Fiona. "Lo kangen kan sama bonyok lo?"

Fiona mengangguk. "Iya, kenapa?"

Arkan mengulum senyumnya. "Besok mereka dateng, lo bisa lepas kangen sama mereka." jelas Arkan singkat, namun detik itu juga Fiona rasanya bagaikan tersambar petir.

---

Kanan-kiri, kanan-kiri, kanan-kiri. Fiona terus saja membalik badan dengan gelisah. Malam semakin larut, alih-alih mengistirahatkan dirinya yang memang sudah lelah, pikirannya justru terjaga, membuat matanya enggan menutup.

Setengah jam berlalu cepat dengan Fiona yang terus mencari posisi terenak. Di sebelahnya, Agatha telah terlelap nyenyak. Keadaan kamar gelap, semua lampu dimatikan kecuali lampu tidur yang ada di samping Fiona.

Akhirnya karena takut menganggu ketenangan adik bungsu Arkan itu, Fiona bangkit dari tidurnya. Fiona menarik kakinya dari selimut yang sebelumnya membalut keduanya, lalu bersandar ke belakang seraya mendongakkan kepala menatap langit-langit kamar.

Besok kedua orang tuanya akan kembali ke Indonesia. Di saat seharusnya ia bahagia mendengar kabar tersebut, kini dirinya justru memikirkan alasan dibalik kepulangan papa dan mamanya yang maju dari rencana semula.

Sore tadi sebelum Arkan mengatakan hal itu, tepatnya ketika Arkan bertanya apakah Fiona merindukan kedua orang tuanya, Fiona menjawab jikalau dirinya memang sangat merindukan mereka. Kalian ingat bukan, saat itu ekspresi Fiona tiba-tiba saja berubah. Mengapa? Ya karena Fiona teringat kalau ia mengecewakan kedua orang tuanya lagi dan Fiona bingung, jika orang tua nya nanti pulang, apakah ia bisa menceritakannya atau tidak. Namun nyatanya sekarang apa? Orang tuanya ternyata sudah tau dan mereka akan segera pulang besok.

Fiona tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati ayahnya ketika mendengar permasalahan putrinya ini. Pasti ada rasa kecewa, tidak terima, jengkel, dan juga marah. Membayangkan guratan-guratan di wajah ayahnya nanti, Fiona mendesah lirih sembari menunduk dengan mata yang terpejam.

Sekitar sebulan yang lalu, ketika papa dan mamanya akan berangkat ke Singapore, ia sudah berjanji untuk tidak lagi membuat mereka kecewa. Fiona bertekad untuk berubah. Tapi sekarang semuanya buyar. Untuk kedua kalinya orang tuanya akan kecewa atas kesalahannya yang seharusnya bisa ia hindari.

Tiba-tiba saja, di saat masih merenungi kesalahan yang telah ia perbuat, pintu kamar dibuka. Seorang wanita paruh baya yang amat Fiona kenal seminggu ini, masuk sembari menghidupkan lampu. Netra Fiona langsung ikut terbuka, pupilnya mengecil tatkala pandangannya beradu dengan terangnya lampu yang menelisik manik hitamnya.

"Loh, Fiona? Belum tidur?" tegur Audrey.

Fiona menatap Audrey sedikit terkejut. "Eh, belum, tante." jawab Fiona sambil mencengir.

Audrey tersenyum membalas Fiona, lantas berjalan mendekat dan berhenti tepat di hadapan Agatha. Ditariknya selimut hingga menutupi leher putrinya itu lalu dikecuplah keningnya dengan penuh kasih sayang.

Melihat interaksi ibu dan anak secara live, Fiona tersenyum haru. Andaikan mamanya ada, pasti ia bisa merasakan hal yang sama. Besok sebenarnya ia bisa bermanja ria lagi dengan kedua orang tuanya, tapi sayangnya itu mungkin hanya angan saja.

"Kamu kenapa belum tidur?" tanya Audrey lembut kemudian sembari duduk di tepi kasur.

Fiona menoleh ke Audrey. "Belum ngantuk, tante. Kalau tante kenapa?"

Audrey tersenyum. "Tante memang jam segini belum tidur, Fiona. Tante mastiin dulu anak-anak tidur, baru tante bisa tidur." terang Audrey.

"Oohh ...." Fiona manggut-manggut mengerti.

"Iyaa .... Kamu memang belum ngantuk atau karena kepikiran sesuatu?" tanya Audrey lagi.

"Eh? Enggak kok, tante, enggak kepikiran apa-apa ... hehehe ...." jawab Fiona sembari menggerakkan tangannya ke kanan kiri.

"Bener? Kalau memang kepikiran dan kamu butuh tempat cerita, tante gapapa kok, tante temenin sekarang."

Fiona menggeleng. "Gak, tante, gak usah. Fiona gak mau ngerepotin tante, ini juga udah malem." tolak Fiona sopan.

Audrey terus mengembangkan senyumnya. "Gak ngerepotin kok. Tante sebenarnya tau, besok orang tua kamu dateng, dan kamu kepikiran itu kan?"

"Eh ...." Fiona sedikit tercengang. Wajahnya mundur beberapa senti, telunjuknya menggaruk pelipisnya yang sebenarnya tidak gatal.

Sekarang apa? Haruskah ia menceritakan hal itu? Sejujurnya sih ini kesempatan baik, ia bisa bertukar pikiran dan melihat dari segi pandang orang tua, tapi rasanya ia canggung. Bagaimana tidak? Baru juga bertemu beberapa kali, jarang mengobrol pula, masa sekarang tiba-tiba curhat layaknya sudah dekat bertahun-tahun.

"Gimana? Beneran gak mau cerita?"

Fiona menatap mama Arkan itu sembari tersenyum kikuk. "Canggung, tante ...." ungkap Fiona akhirnya dengan lirih.

Mendengar itu, Audrey tertawa ringan. "Loh, kenapa canggung? Tante gak gigit kok."

Fiona terkekeh kecil. "Emang gapapa tante kalau Fiona cerita?"

"Ya gapapa dong, sayang. Ayo, mau di luar atau di sini?" ajak Audrey.

Fiona menggaruk cengkuk lehernya. Ini benar-benar canggung rasanya, tapi tak apalah ia akan coba, siapa tau mamanya Arkan itu bisa memberi nasihat bagi dirinya.

"Di luar aja, tante. Kalau di sini takut ganggu Agatha." jawab Fiona kemudian.

Audrey pun mengangguk. Keduanya lalu bangkit berdiri, keluar kamar dan berjalan bersama menuju ruang tengah. Lampu yang sebelumnya sudah dimatikan, kembali dihidupkan. Mereka lantas duduk di atas sofa panjang bewarna coklat.

Audrey mengambil bantal sofa, meletakkan di atas pahanya sembari memandang Fiona. "Gimana, nak?"

Fiona sedikit terkejut mendengar panggilan Audrey untuknya, tapi secepat kilat Fiona menyembunyikan keterkejutannya itu.

"Fiona bingung, tante ...." jawab Fiona kemudian memulai bercerita.

"Bingung kenapa?"

Fiona menghela napas berat. "Besok .... besok kan orang tua Fiona dateng, Fiona bingung Fiona harus gimana sama papa mama."

"Kamu lama gak ketemu masa gak kangen sama mereka?" tanya Audrey.

"Ya kangen sih, tan ...."

"Ya kalau gitu kenapa masih bingung? Peluk mereka, lepas kangennya. Tante yakin, mereka pasti juga kangen kamu."

"Tapi bukan itu, tante, masalahnya ...," Fiona menggaruk pelipisnya, bingung harus menyusun kata bagaimana.

"Kepulangan mereka besok itu maju dari rencana sebelumnya, tan, dan penyebabnya adalah masalah Fiona kemarin. Sebulan lalu, waktu mereka berangkat, Fiona sudah janji untuk gak mengulang kesalahan yang sama, tapi minggu lalu Fiona malah melakukannya lagi. Fiona buat mereka kecewa yang kedua kali. Fiona bingung, tante, Fiona merasa bersalah banget sama papa mama." jelas Fiona kemudian.

"Mmm ...." gumam Audrey seraya mengganguk paham.

Audrey lantas mendekatkan dirinya ke Fiona, meraih tangan gadis itu, memberinya kekuatan. Ia paham betul kebingungan yang Fiona rasakan, dan sebagai orang tua, ia juga mengerti bagaimana khawatirnya kedua orang tua Fiona.

"Gini, nak, tante ngerti apa yang kamu rasain. Tante juga paham gimana perasaan orang tua kamu saat ini. Alangkah baiknya waktu mereka datang besok, kamu langsung minta maaf. Jelasin ke mereka lebih dulu, jangan sampai mereka yang tanya."

"Tapi, tante ... Fiona tuh takut. Bukan takut karena bakal dimarahin, tapi lebih ke takut karena Fiona sudah ngecewain mereka lagi. Buat cerita tuh rasanya gimana ya ... kayak merasa bersalah banget lah ...."

Audrey mengangguk mengerti. "Fiona paling merasa bersalah sama siapa?"

"Dua-duanya sih ... cuma lebih ke papa." jawab Fiona lirih.

"Kenapa papa?"

Fiona merunduk penuh sesal. Pikirannya membuka lagi memori dua sampai tiga bulan yang lalu. "Yang pertama dulu, papa marah banget sama Fiona. Fiona berubah seratus depalan puluh derajat dari Fiona yang papa kenal. Waktu itu papa gak ngira Fiona bakal berubah sejauh itu, makanya dia shock. Fiona berusaha buat dapetin maaf dari papa. Awalnya susah, tante, tapi Fiona gak mau nyerah, sampai akhirnya papa maafin Fiona dengan satu syarat, Fiona gak boleh lagi kenal sama Reihan. Menurut papa, Reihan cuma akan bawa pengaruh buruk buat Fiona. Fiona janji, tapi kemarin Fiona justru ngelupain janji itu dan kembali kenal Reihan ...."

Fiona berhenti, mengambil napas sejenak, "Fiona jadi merasa kayak mengkhianati papa berkali-kali. Besok pasti papa diemin Fiona." lirih Fiona lagi diakhir kalimat.

"Gak mungkin, sayang." ujar Audrey yakin, membuat Fiona mendongak dan menatapnya bingung.

"Tante yakin papa kamu gak akan diemin kamu. Masalah kemarin itu kamu yang hampir celaka. Mungkin iya, mereka kecewa, tapi besok waktu lihat kamu baik-baik aja, pasti mereka langsung peluk kamu. Rasa kecewa mereka gak lebih besar dari rasa sayangnya buat kamu. Yang penting, kamu tau kamu salah, kamu akuin itu, minta maaf sama mereka dengan tulus."

"Apa iya papa gak akan diemin Fiona?" tanya Fiona ragu.

"Iyaa," jawab Audrey sembari mengangguk beberapa kali. Tangannya lalu terulur, menarik kepala Fiona ke dalam dekapannya. Mengelusnya lembut dan penuh perhatian. "Percaya deh ama tante. Kemarin itu kamu yang jadi korban. Mereka mungkin memang kecewa, tapi pasti gak akan lama. Paling papa mama kamu hanya minta kamu jelasin sejujurnya."

Fiona menghela napasnya dengan berat. Pikirannya sudah tidak tau lagi mau berpikir bagaimana. Dalam hatinya, ia hanya mengaminkan saja apa yang mamanya Arkan itu katakan. Semoga memang ayahnya tidak akan mendiamkannya, karena didiamkan oleh sang ayah bagaikan kegelapan bagi Fiona.

"Tante ... terima kasih ya untuk nasihatnya." ujar Fiona tanpa menarik diri.

Audrey masih terus mengusap puncak kepala Fiona. "Sama-sama, sayang."

---

[ budayakan follow sebelum membaca✨ ]

Happy Reading Readers❣
Jangan lupa vote+comment
Follow My Instagram : trifenadeva

huhuhuuuuhuuuuu harusnya kemarin, gengs, tapi mendadak aku ada tugas seabrek v: maapkan yaaa :'( sedih banget gak bisa nepatin janji :( maap bangetlah pokoknya😭

semoga aja part ini mengobati kalian yaa hehehe, muach :*

Continue Reading

You'll Also Like

185K 10.3K 40
[Follow sebelum baca sabi kali, bestie] Cerita ini bisa dibaca saat gabut atau kamu lagi berpikir pengen nikah muda, xixixi. Gak percaya? Coba aja! [...
1.5M 100K 54
Young Married _________________________________ "Pak Angkasa, jangan macem-macem ya! Saya bisa loh, laporin Bapak ke polisi sekarang juga!" -Mentari...
1.1M 65.8K 45
🚨CERITA INI KEMBALI LENGKAP🚨 "Kak Arga nanti maunya punya anak berapa?" "2" "2 aja?" "25 maksudnya" "Hahh??" °°° Mengkisahkan tentang dua anak m...
3.1M 259K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...