Detak. ✔

De fuchsiagurl

168K 22K 8.6K

Laksana jantung dan jam dinding yang berdetak, hadirmu terus mengintari hariku tanpa tahu malu, tanpa tahu wa... Mai multe

❱ DETAK : Prakata
BAB 0. Trailer
BAB 1. Galaksi yang berbeda
BAB 2. Antara Sena dan Ares
BAB 3. Firasat
BAB 4. Bimbang
BAB 5. Ketakutan Aksa
BAB 6. Pertengkaran
BAB 7. Air Mata
BAB 8. Sakit
BAB 9. Perspektif Ares
Hai, kesayangan.
Jawaban mereka
BAB 11. Baik-baik saja
BAB 12. Tetap di sini
BAB 13. Tiga Sisi
BAB 14. Jangan Pergi
BAB 15. Tahu diri
BAB 16. Alasannya
BAB 17. Pulang
Bab 18. Bandung malam ini
BAB 19. Saling menyakiti
BAB 20. Sekali lagi, jangan pergi
Question?
Answer.
BAB 21. Mimpi buruk
BAB 22. Kejadian tahun lalu.
BAB 23. Diam.
BAB 24. Tunggu aku bangun.
BAB 25. Cerita Devan
BAB 26. Seandainya.
BAB 27. Aksa.
BAB 28. Amarah
BAB 29. Percaya
BAB 30. Pergi
BAB 31. Daun yang gugur.
BAB 32. Bertahan.
BAB 33. Berkorban.
Last Conversation.
Last Answer.
[ PREVIEW ] BAB 34. Terikat.
[ PREVIEW ] BAB 35. Bangun
[ PREVIEW ] BAB 40. Jatuh
❱ DETAK : Bonus Chapter & Mini Series
OPEN PO BATCH 3

BAB 10. Sulit

3.5K 540 154
De fuchsiagurl

Benang merah yang terikat diantara jari kelingking Sena dan Ares cukup unik. Bila Ares sakit, maka Sena sehat dan bila Sena sakit, maka Ares sehat.

Menyebalkan, memang.

Bila diibaratkan, hal ini sama seperti ketika bulan mengalami gerhana total, maka bintang akan terlihat lebih terang sebab cahaya bulan perlahan memerah, redup dan kemudian menghilang ditelan gelap.

"Ares!"

Trak!

Cutter di tangan Ares terjatuh. Tangan Ares dicengkeram Aksa. Berulang kali Ares memberontak, berulang kali pula Aksa mengencangkan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Ares.

Begitu menyadari bahwa Ares berusaha mengambil cutter yang terjatuh, dengan terpaksa Aksa mendorong tubuh Ares. Punggung Ares membentur dinding kamarnya, suara benturan antar punggung Ares dan dinding terdengar keras sekali. Napas Ares tercekat sesaat dengan dada yang mendadak sesak kala punggungnya membentur dinding.

Ares berderai air mata dengan napas terengah. Kedua pergelangan tangannya di genggam erat oleh Aksa. Tubuh Ares merosot, kemudian jatuh duduk di lantai dengan bersandar pada dinding.

"Ares! Tenang dulu. Sena baik-baik saja." Aksa mengatur napas kemudian mengulang kalimatnya, "Kak Sena akan baik-baik saja."

Tangan Ares yang sedaritadi menegang, sontak mendadak lemas usai mendengar ujaran lembut sang ayah. Ares menyandarkan kepalanya pada dinding, bibirnya bergetar menahan tangis.

Aksa menghela napas, menoleh menatap Bibi Freya yang ragu-ragu masuk ke kamar Ares tempat mereka berada untuk memberikan air minum. Mereka baru saja pulang usai Leana datang ke rumah sakit untuk bantu menjaga Sena di IGD. Awalnya, Aksa berniat mengantar Ares pulang dan langsung kembali ke rumah sakit. Akan tetapi, sepertinya Aksa tidak bisa kembali ke rumah sakit karena Ares mulai seperti ini lagi. Ia harus menemani Ares.

Aksa mengisyaratkan Bibi Freya untuk meletakkan gelas berisi air minum di meja belajar Ares kemudian kembali menatap Ares.

"Ares, kenapa seperti ini lagi?"

Aksa melepas genggamannya pada pergelangan tangan Ares. Ia rengkuh Ares, diusapnya punggung Ares dengan lembut. Ares menyangga dagunya pada pundak Aksa seraya terisak-isak tanpa menjawab pertanyaan sang ayah.

Ares hanya ingin Sena sembuh, bagaimanapun caranya dan Ares ingin membunuh dirinya sendiri, agar Sena tetap hidup.

***

Sinar rembulan memang meredup tatkala gerhana bulan terjadi, namun gerhana bulan tersebut hanya terjadi dalam beberapa jam saja, bukan?

Sena membuka matanya perlahan, ia menatap sekeliling seraya menyesuaikan pandangannya. Setetes air mata tiba-tiba meluruh dari mata kirinya. Sena menyeka air matanya dan mengernyit bingung.

"Sudah lebih baik?"

Sena menoleh, menatap Leana yang berdiri di samping ranjangnya. Mata Sena berkaca-kaca. Ia menyeka lagi air matanya yang meluruh dengan jari telunjuk dan terpaku beberapa saat kala ia tiba-tiba teringat Ares. Sena menggeleng.

"Aku tidak tahu kenapa aku menangis," ucap Sena serak. Suaranya mendengung, teredam masker oksigen yang terpasang pada wajahnya.

"Sakit?" tanya Leana.

Sena menyentuh dadanya yang penuh dengan kabel dibalik baju seragamnya. Ia kembali menggeleng kala tidak merasakan nyeri pada dadanya. "Hanya sesak saja."

Sena menatap jari telunjuknya yang basah dengan bingung.

"Omong-omong, kenapa ibu di sini?" tanya Sena seraya menatap Leana.

Leana duduk di kursi, menatap Sena yang memakai masker oksigen berwarna hijau seraya menghela napas. "Bangsal kelas tiga dan dua penuh, Sena. Hanya tersisa bangsal kelas satu dan VIP. Ruang ICU juga penuh. Jadi, ibu memilih bangsal kelas satu."

Dahi Sena mengernyit. "Aku harus dirawat inap?"

Leana mengangguk.

"Ibu juga sudah mengurus administrasimu," Leana tersenyum samar. "Tapi, setelah kamu dipindah ke kamar rawat, ibu harus pulang karena anak ibu sudah menelepon. Tidak apa-apa sendirian?"

"Ayah?"

Hela napas terdengar, Leana lantas menjawab pertanyaan Sena. "Ayahmu tidak bisa kemari dan tidak bisa menemanimu di rumah sakit."

Sena terdiam beberapa saat kemudian tersenyum kecut.

Ada tiga alasan yang membuat Sena tidak pernah suka dirawat inap di rumah sakit. Pertama, punggung tangannya selalu sakit karena jarum infus. Kedua, makanannya hambar. Ketiga, ia selalu sendirian.

"Atau begini saja, Ibu bisa menemanimu di—"

Sena menyela dengan cepat seraya tersenyum tipis. "Tidak perlu repot-repot, Bu. Utamakan anak ibu saja dulu. Lagipula, aku sudah terbiasa sendirian setiap dirawat inap."

***

"Ayah benar-benar tidak bisa kemari?"

Sena membetulkan letak selang oksigen yang terpasang pada hidungnya. Layar ponselnya ia tempelkan pada daun telinga, tengah bertukar panggilan dengan Aksa. Ia menatap jemari telunjuknya yang terpasang alat pengukur kadar oksigen dalam darah dan detak jantung¹.

Beberapa menit lalu, ia dipindah ke ruang rawat inapnya dan Leana baru saja berpamitan pulang. Sandaran ranjangnya ia atur lebih tinggi agar ia bisa tetap berbaring dalam posisi setengah duduk. Dadanya masih sesak sekali, sulit untuk tidur dalam posisi badan yang lurus.

Di seberang sana, Aksa menjawab dalam panggilan yang sedang berlangsung. "Maaf, Sena. Kata dokter, kapan kamu boleh pulang?"

Sena meremas ponsel yang ia tempelkan pada telinga. Ponselnya panas, kehabisan baterai.

"Baterai ponselku habis, Yah. Pakaianku juga masih di rumah. Sekarang saja aku masih memakai seragam sekolah."

"Sebentar lagi ayah siapkan barang-barang yang kamu butuhkan. Ayah akan mengirimkannya ke sana dengan ojek online. Berapa nomor kamarmu?"

Sena mengernyit. "Aku hanya meminta ayah datang kemari sebentar saja dan ayah bisa pulang lagi setelah aku tidur. Aku tidak bisa tidur, Yah. Dadaku sesak."

Dadanya berdenyut nyeri. Sena lantas menyentuh dadanya pelan dan mengatur napas. Padahal, sejak tadi Sena sudah berusaha untuk tetap tenang agar jantungnya tidak kambuh lagi. Akan tetapi, kenapa rasanya sulit sekali?

Aksa menghela napas. "Tidak bisa, Sena. Ayah tidak bisa meninggalkan Ares sendirian di rumah jika keadannya seperti ini."

"Kenapa tidak ajak Ares untuk kemari?"

"Ares tidak mau ke sana."

Sena lantas menghela napas susah payah. "Besok ayah pasti tidak bisa menemaniku lagi karena harus berangkat bekerja pagi-pagi sekali. Malam ini saja, ya, Yah? Hanya sampai aku tidur saja."

"Sena, bukankah ayah sudah menjelaskan?"

Mata Sena berkaca-kaca kala ayah sedikit meninggikan intonasinya. "Pavilyun Bougenvil nomor 27."

Sena memutus sambungan telepon secara sepihak kemudian memandang layar ponselnya. Ia menggeleng pelan bersamaan dengan suara bedside monitor² yang semakin cepat. Sena meletakkan ponselnya, berusaha beranjak duduk. Kabel-kabel elektroda di dadanya yang tersambung pada bedside monitor membuat pergerakannya terbatasi.

Dengan napas terengah, Sena merangkak menuju tepi ranjang untuk menekan tombol pemanggil dokter di dinding. Sena merintih kala nyeri pada dadanya semakin menjadi.

Usai menekan berulang kali tombol di dekat ranjangnya, tubuh Sena kembali ambruk pada ranjang dengan tangan yang menggantung di sisi ranjang.

Air mata Sena meluruh, membasahi sprei ranjang rumah sakit. Kepala Sena pening, sekujur tubuhnya lemas. Alisnya bertaut, menahan sakit. Setetes air mata kembali luruh dari sudut matanya kala Sena memejamkam matanya rapat.

__________________________________
Notes :

¹) Alat pendeteksi oksigen dalam darah dan detak jantung : dalam medis, sering disebut sebagai alat sensor SPO². Alat ini dipasang pada jari telunjuk pasien dan tersambung pada bedside monitor.

²) Bedside monitor : suatu alat yang digunakan untuk memonitor vital sign pasien, berupa detak jantung, nadi, tekanan darah, temperatur bentuk pulse jantung secara terus menerus. Biasanya terletak di samping ranjang pasien.

Continuă lectura

O să-ți placă și

Secercah Darah De Tatia_dn

Ficțiune adolescenți

25.6K 2.3K 59
Tampan, kaya, cerdas. Sempurna. Kata orang, Alano itu sempurna. Padahal semua orang tau, tidak ada manusia yang sempurna. Sebuah alasan membuat Alan...
172K 17.7K 38
[TELAH TERBIT] Sendu sembilu merengkuh semesta luas yang sedih melihat seorang pemuda bernama Raflie Adhinata Bhanu Jaya Kusuma. Seperti angin, dia a...
HERIDA De Siswanti Putri

Ficțiune adolescenți

429K 15.5K 30
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
4M 311K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...