Elixir

By alettara

7K 1K 293

A good poison burst as a remedy between Ara and Kirino. All names credit to eskalokal on twitter. More

Prologue
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Epilogue
Sisi Lain

18

260 39 16
By alettara

Kirino

Mengabadikan setiap jengkal kamar gue yang sudah nggak lagi sepenuh kemarin, menjadi hal yang pertama kali gue lakukan selepas mandi pagi. Sebelumnya nggak pernah pergi sejauh ini, paling jauh ke Bali waktu study tour SMA.

Waktu itu, Mama udah uring-uringan banget dan menyiapkan banyak perlengkapan yang gue rasa sebetulnya nggak sebegitu penting. Wajar, gue cuma satu-satunya anak yang beliau punya. Tangan Mama melambai ke arah bis gue ketika berjalan menjauh meninggalkan sekolah. Mama sengaja ijin datang terlambat ke kantor hari itu karena mau mengantar gue.

Ketika sedang asyik mengabadikan setiap jengkal kamar, pintu kamar gue dibuka. Mama berdiri disitu, masih dengan baju yang beliau gunakan dari semalam. Matanya sedikit sembab, yang gue asumsikan Mama mungkin baru saja menangis. Atau mungkin sisa air mata yang mengering dan nggak sempat dihapus semalam.

"No, Mama boleh masuk?"

"Boleh. Kenapa enggak, Ma? Kan ini rumah Mama."

Beliau mendudukkan dirinya di ujung kasur gue yang sudah nggak dilapisi oleh seprei. Matanya bergerak melihat keluar jendela, kemudian memandangi setiap sudut kamar gue. Persis seperti apa yang gue lakukan tadi.

"Sini, duduk di sebelah Mama."

Mama menepuk tempat kosong di sampingnya. Garis-garis kerutan mulai kelihatan di wajahnya, menandakan kalau beliau sudah mulai memasuki usia tua. Nggak terasa, hidup udah berjalan sejauh ini.

"Kayaknya baru kemarin Mama gantiin popok kamu yang rewel setiap malam. Kelimpungan nyari dot kamu yang warna biru itu. Kalau nggak pake itu kamu nggak mau minum susu."

"Hehehe. Ino nyusahin ya, Ma?"

"Nggak, Kirino. Kamu nggak pernah nyusahin Mama atau Papa, sayang."

Tangan kanan mama mendarat di pucuk kepala gue dan membelai pelan, yang menyebabkan helaian rambut gue ikut bergerak searah dengan telapak tangannya.

"Tanpa kamu, mungkin Mama sama Papa nggak akan sekuat sekarang. Kamu itu semangatnya Mama."

Sebuah senyum melengkung di wajah gue. Rasanya hangat sekali. Jujur, selama ini kayaknya gue belum bisa jadi anak yang baik dan cukup membanggakan mereka. Tapi Mama dan Papa nggak pernah ada capeknya untuk memenuhi kebutuhan gue.

"Ma..."

"Kenapa, sayang?"

"Ino nggak tahu harus gimana sama Ara."

"No, kalau emang kamu sama Ara bisa ditakdirkan buat bersatu. Mau berjalan sejauh apapun kamu pasti kembali lagi ke Ara."

"Kalau enggak?"

"Pasti kamu nanti juga menemukan rumah yang memang seharusnya jadi rumah kamu."

"Tapi Ino sayang banget sama Ara, Ma. Ino udah salah besar kemarin."

"Mama sama Papa juga udah sayang sama Ara, No. Ara udah kayak anak sendiri. Tapi mau gimana lagi? Semua udah ada jalannya. Kamu nggak bisa asal serobot."

"Iya, Ma."

"Yang kuat, Nak. Kirino Isha Khalil itu anak Mama yang paling kuat."

"Soalnya anak Mama kan cuma Ino."

Sedetik kemudian Mama meledak dalam tawa. Beliau menarik gue dalam pelukannya yang hangat, dan mengusap bahu gue pelan. Kalau kayak begini caranya, gue jadi ikutan mau nangis juga.

"Udah gede beneran ya anak Mama."

Karena masih harus mengurus beberapa hal, Mama akhirnya berpamitan dan beranjak dari kasur gue. Langkahnya terhenti ketika berada di ambang pintu.

"Ma, makasih buat semuanya."

Mama tersenyum samar, matanya berkaca-kaca. Kepalanya mengangguk pelan kemudian berjalan menjauh dan meninggalkan gue sendiri di dalam kamar. Hari ini menjadi hari yang penuh dengan perasaan. Gue seneng, akhirnya bisa mendapatkan kesempatan buat exchange. Tapi disisi lain, gue harus pergi walaupun itu cuma sebentar.

Entah apa yang akan terjadi selama gue nggak ada disini. Semuanya pasti akan berubah. Kehidupan orang-orang disekitar gue nggak akan stagnan begitu saja. Mungkin sepulang dari Jepang Ayam, Bebek, sama Angsa udah berhasil menggoda kucing tetangga. Atau nasi goreng yang dulu jualan di bekas kost gue berhasil membuka warung tetap.

Sembilan Koefisien

Kirino Isha K
Gue pamit ya
Bentar doang kok

Felixiano Halim
Omg Kak Ino
Take care
Sorry, I cannot come ke bandara :(
But my prayer will always be with you, Kak

Kirino Isha K
Nggak apa-apa Felixiano Ganteng Halim
Belajar yang bener lo biar bisa buka konter pulsa dari Sabang sampe Merauke

Jusuf Nagara
Kak Inoooo
Jusuf dateng kok
Bunda bawain risol buat cemilan Kak Ino :'D

Kirino Isha K
Nggak usah repot2 cil
Makasih Bunda Jusuf
Besok kalo gue balik gue bawain oleh-oleh yang paling banyak

Abimayu Jinendra Adsy
KAK INOOOO
KOK LO TEGA SIH

Kirino Isha K
Yaelah, Ji
Bentar doang

Calvin Antares
gue males ngomong

Kirino Isha K
Ntar lo kangen nggak ada yang ngejekkin, Cal

Calvin Antares
males bgt bilangnya
hati2
nggak usah dengerin falling sampe 45 menit lagi disana

Kirino Isha K
Bisaan aja lo Ical Antares
Udah ya, gue mau siap2
Yang bisa dateng nanti dateng aja

Haris Januar
KAK INOO
GUE ESA SAMA BANG BAYU DATWNG
*dateng

Kirino Isha K
Iya dateng aja, yis
Ati2 lo pada
Nyasar berabe

Gue mematikan ponsel dan kembali menata beberapa barang untuk yang terakhir kali sebelum mengunci koper. Pandangan mata gue berhenti ketika menangkap selembar foto yang diambil beberapa tahun lalu, waktu drama musikal di sekolah. Kebetulan Ara waktu itu berperan sebagai script writer.

Perempuan itu terlihat cantik dalam balutan gaun berwarna putihnya. Kedua tangannya memeluk sebuket bunga. Nggak usah dijelasin bunga itu dari siapa. Bunga itu dari temen-temennya Ara. Sedangkan gue memberi perempuan itu sebuah tote bag hasil danusan sepupu gue lantaran perempuan itu sering mengeluh kalau tote bag miliknya sudah hampir rusak.

Selembar foto itu sudah mampu merekam dan menceritakan betapa bahagianya diri kami saat itu. Gue merasa kagum sekaligus bangga dengan Ara dan pencapaiannya bahkan ketika perempuan itu masih duduk di bangku kelas 11. Mimpinya untuk menuliskan naskah terkabul sekaligus membuktikan kalau anak-anak di jurusannya adalah sekumpulan anak berbakat yang nggak bisa dipandang sebelah mata.

"Kak Ino!"

Sebuah suara memasukki indera pendengaran gue ketika sedang sibuk mengabsen koper-koper gue dan menenteng sebuah ransel yang berisi barang-barang penting.

Bayu, Haris, Esa dan Jusuf berjalan berdampingan ke arah gue. Haris tersenyum. Emang benar, anak ini gantengnya nggak main-main. Tawaran endorse yang masuk ke Haris juga semakin banyak gue denger dari Bayu.

"Woy, dateng juga lo pada."

"Ini dari Bunda Jusuf buat Kak Ino. Taruh mana, Kak?"

"Nggak usah, Suf. Biar gue aja yang naruh nanti. Makasih banyak ya, jadi nggak enak gue."

"Kak, jangan lupa sholat lima waktunya."

"Peringatan, gue udah bikin reminder sendiri di hape, Mahesa. Lo jangan nonton konser indie mulu. Duitnya ditabung."

"No, kesana nggak usah bawa masalah, ya. Lepasin semua beban lo disini dulu. Gue yakin lo pasti bisa berproses dengan hebat disana."

"Ya Allah Bang Bayu...."

"Kak, ini ada hoodie hasil endorse buat lo."

"Buset, pada repot-repot banget sih. Gue jadi enak."

Kami semua meledak dalam tawa. Tawa dari manusia-manusia ini akan menjadi salah satu hal yang bakal gue kangenin selama beberapa waktu kedepan. Belum selesai dengan percakapan-percakapan yang sebenarnya nggak penting-penting amat, kini suara seorang perempuan yang amat gue kenal menginterupsi.

Ara berdiri di belakang Esaㅡwalaupun perempuan itu terkesan sedang bersembunyi di balik laki-laki itu, gue masih bisa mengenalinya dengan jelas. Esa menggeser tubuhnya dan memberi akses bagi Ara untuk berdiri lebih dekat dengan gue.

"No, gue sama yang lain minggir bentar ya."

Bayu memberi kode ke Esa, Haris, dan Jusuf untuk menyisakan ruang buat gue dan Ara berbicara sebentar. Ara nggak mengguratkan suatu ekspresi yang jelas di wajahnya. Kami berdua hanya berdiri dalam keheningan, dengan gue yang sibuk memperhatikan wajahnya.

"Mau sampai kapan diem-dieman aja, Kirino?"

"Tadi kamu yang panggil aku, Ra. Kirain mau ngomong duluan."

"Aku pengen marah, tapi nggak ada gunanya juga marah."

"Ra, aku minta maaf sekali lagi. Nggak seharusnya aku ninggalin kenangan yang jelek kayak gini."

"Nggak ada yang jelek, Kirino. Semua kenangan sama kamu itu indah. Kamu... Baik-baik ya."

Kemudian kami kembali berhadapan dengan keheningan. Ara menatap ujung sepatunya, rambut panjangnya menutupi wajah yang membuat gue bertanya-tanya tentang apa yang perempuan itu sedang lakukan, sampai setetes air turun dan jatuh begitu saja. Perempuan itu terisak dalam diamnya yang pilu. Hati gue tergores hebat. Sebuah pisau sudah menancap dengan sempurna disana.

Tanpa basa-basi gue merengkuh perempuan itu dalam pelukkan. Bahunya bergetar dalam pelukkan gue. Ara masih belum bersuara juga.

"Ra, ini cuma sebentar."

"Iya, Kirino aku tahu ini cuma sebentar. Tapi apa setelah kamu pulang semuanya akan tetap sama?"

Apa semuanya akan tetap sama?

Aku juga nggak tahu, Ra. Aku takut ini jadi perpisahan terakhir kita.

Tangan kanan gue mengusap lembut punggung perempuan itu yang tertutup rambut panjangnya. Berharap semoga dirinya dapat menjadi lebih tenang.

"Bohong banget, Kirino kalau aku nggak apa-apa. Karena pertemuan yang aku mau itu bukan pertemuan semacam ini."

"Ra... Kita jalanin jalan sendiri-sendiri dulu, ya? Kalau kamu itu tempat aku pulang, sejauh apapun aku melangkah pasti aku kembali ke kamu."

HAAAAAAHHHHH sebentar, aku ikutan emo beneran ngetik part ini:")

Continue Reading

You'll Also Like

195K 13.8K 77
Tentang mereka yang dipertemukan disuatu ajang pencarian bakat berakhir dengan hadirnya ikatan persahabatan diantara mereka. Tentang dua anak manusi...
2.9K 1.9K 41
Terkadang cinta itu emeng buta. Gak terkadang sih tapi emeng kenyataan buktinya banyak orang yang saling membenci eh....tiba-tiba saling suka. Kejadi...
4.2K 1K 9
susah ya emang suka sama temen sendiri. seaceous, 2021
249K 36.9K 68
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...