youth | nct dream ✔

By chyntxa

461K 85.4K 17.6K

❝All we need just, HOME.❞ [ ft. 엔시티 dream local's ] × start : June, 19 × × end : November, 20 × © ch... More

° youth
meet
Hardian - Ayah...
Jovian - Ibu...
Januar - Adara...
Ciko - Tante...
Mark - Adik...
Jian - Kakak...
meet (2)
Raanan - Martabat...
the beginning of Hardian...
the beginning of Jovian...
the beginning of Januar...
The beginning of Ciko...
the beginning of Mark...
the beginning of Jian...
the beginning of Raanan...
second home
protect
escape
another rejection
she will recover
finding
namanya, Anggi
Hardi's celebration
selaras
malam pekan
coming home
strive
titik terendah kami
blood ties
inappropriate
embaran! cek ya
realized
wake up
hangat rengkuh ibu
it's called, pure love
di balik tiga ahad
beautiful pass
✉ dari hardi
teruntuk raanan ✉
📷 galeri enam juni
penutup kisah [end]
selebaran
Hardian Darmawan
bonchap : fatwa bunda
good news! (read please)

sisi intuisi diri

7.4K 1.5K 444
By chyntxa

"Halo?"

"Lo dimana, sih? Yang lain udah pada kumpul!"

"Haduh, maaf. Aku ketiduran."

"Tiga puluh menit, ya. Kalau gak datang, fotokopi lo yang tanggung semua!"

"Iya iya."

Helaan napas bertepatan dengan nada sambung yang diputus sepihak. Jemari jenjang dibawa menyugar rambut dengan retina tak lepas pandang dari refleksi diri di hadapan. Merapihkan kerah kemeja kotak-kotak tersayang pemberian Bunda, berfinalkan raihan tas hitam yang telah dipersiapkan.

Bibir penuh nan mungil tak hentinya menggerutu pada diri sendiri perihal kecerobohannya hari ini.

Sudah tahu mau kerja kelompok, pakai lupa minum obat segala. Jadi kambuh, kan. Untung pulihnya cepat.

Iya, ia dusta barusan.

Padahal tadi giliran si asma kambuh.

Langkah tergesa selesat ke kamar samping. Tak lupa berdeham kecil guna mengenyahkan sisa bunyi aneh kambuhan penyakitnya, serta guna menjaga intonasi.

Tok! Tok! Tok!

"Kak Clara?"

Berjawab senyap dihalau udara tanpa batas.

"Jian mau kerja kelompok dulu. Kak Clara mau makan apa? Seharian belum makan, kan?"

Bak ajeg familiar bagi Jian. Berpola suara-hening seperti biasanya.

Entah mengapa, dirinya mengulas lengkung tipis. "Kalau mau titip apa-apa bilang Jian aja ya, Kak. Jian udah bawa kunci juga, kok."

Kalau kata Januar sih, "ngomong sama candi! Komunikasi itu dua arah, bukan searah!"

Tapi seperti inilah perwujudan komunikasi bagi Jian dan sang kakak. Walau Clara tak mau berbalas ucap, tetap gadis itu memiliki telinga yang tak dapat menolak suara bariton Jian.

"Jian pergi, ya. Assalamualaikum."

Salam telah terucap, tumit telah diputar, bahkan ujung jari kaki sudah mengawang di tepi tangga. Tapi entah mengapa serasa ada segan di palung diri tuk tinggal lebih lama.

Maniknya kembali melirik pintu coklat yang berketuk tanpa jawab si puan. Seakan alam bawah sadar yang mengendali, tiba-tiba Jian sudah menjulang di hadapan lagi.

Entah. Ada yang... mengganjal. Di pusat hati.

Tok! Tok! Tok!

"Kak?" Lagi. Berbuah serupa. Hening. "Eum... Jian ijin masuk, ya?"

Selekas jemari mendorong, selekas jua pupilnya membola kala disambut potret semrawut kamar Clara. Beberapa barang tergeletak bebas di lantai serta ranjang dengan seprai yang tak berpola.

Tak biasanya.

Begitu-begitu, kakak bersurai birunya itu cukup apik. Terlebih pada ruang pribadinya sendiri.

Dan Jian baru sadar bahwa tak ada presensi lain di dalam sini. Padahal saat Jian berganti baju tadi, ia masih mendengar samar suara sang kakak yang berbicara melalui pesawat telepon.

Luput sudah peringatan dari kawan seberang. Seakan lupa dengan dirinya yang dikejar waktu, Jian malah meraih benda-benda yang berserakan guna ditaruh kembali pada tempatnya.

Dugh!

"Aduh!" Spontan mengelus telapak kaki yang tak sengaja menginjak benda tumpul. "Heh kamu! Ngapain di situ, sih? Bikin sakit aja!"

Mencebik pundung, tetap dirinya merunduk tuk meraih. Namun saat hendak bangkit, iris Jian tak sengaja bertemu dengan secarik kertas di kolong ranjang Clara.

Mungkin saja itu hanya kertas putih tak terpakai.

Mungkin saja itu hanya media tuang kisah si tambatan hati.

Mungkin saja itu hanya print skripsi yang dicoret dosen tuk revisi.

Tapi lagi, lagi, dan lagi. Si intuisi kian memersuasi.

Tanpa ragu ia meraih dan meluruskan kertas lecek kekuningan itu. Disusul tukikan alis kala membaca kalimat pertama.

"Rumah... sakit?"

Perlahan nan lamat-lamat ia membaca rentetan huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat. Hingga guliran itu terhenti pada dua kolom yang tersaji di tengah surat.

Kolom diagnosa dan statusnya.

Sejurus sekujur tubuh Jian terserang tremor hebat. Kerongkongannya mendadak kering. Bahkan Jian rasa jantungnya sempat stagnasi beberapa sekon yang selanjutnya bekerja berkali lipat hingga mau meledak rasanya.

"Lo... ngapain di sini?"

Si puan sudah kembali hadir. Berjalan sempoyongan seraya bertumpu pada dinding dan buffet, menyebabkan beberapa barang kembali jatuh nyaring. Clara bahkan nyaris tersungkur jikalau Jian tak sergap membantunya.

Kedua obsidian berlawanan aura itu menyatu pandang. Yang satu khawatir, yang satu redup hampa. Hingga Clara menyadari kertas dalam genggaman adik tirinya.

"Oh? Udah baca?"

Jian mengangguk kecil. "Kenapa gak pernah cerita?" Lirihan penuh getar mengudara.

Tapi tepisan genggam dan derit ranjang yang diduduki lah menjadi jawaban.

"KENAPA ENGGAK PERNAH CERITA KALAU KAKAK MENGIDAP AIDS?!"

"Bukan urusan lo!"

"TENTU ITU URUSAN AKU KARENA KAMU ITU KAKAKKU!" Pekik penuh frustasi diiringi hentak kaki yang bersambut hening setelahnya.

Jian berdecak nyaring lalu mengusap air mata yang lolos di tepi netra.

"Kak, kertas itu bahkan udah enam tahun yang lalu. Kenapa nggak cerita, Kak. Kenapa?"

Pantas.

Akhir-akhir ini sorot mata kakaknya nampak kosong tak bergairah. Bibirnya juga pucat pasi. Bahkan Jian tak sengaja menangkap deretan bercak ungu di lengan Clara.

Terlalu cepat untuk dicerna ketika Jian berlutut di samping ranjang dengan tangan bertaut memohon. Pupilnya bergetar mewakili kalut yang melanda.

"Jian mohon... kakak ke rumah sakit, ya? Jian janji enggak akan bilang Ayah Bunda."

"Gue... nggak mau." Nadanya dingin dan acuh, tapi terselip jelas getar di sana.

Jian tahu gadis di hadapannya ini masih belum bisa menerima rencana tuhan. Ia takut menghadapi penyakit yang digadang-gadang sarang maut itu. Niat mengulur waktu tuk mencerna semuanya.

"Jian mohon sangat sangat--"

"Ini hidup gue! Jadi ya suka-suka si empu, dong! Lo bukan siapa-siapa gue, jadi nggak usah ikut campur! Lo Hanya saudara tiri yang bahkan nggak pernah gue anggap!"

Remuk. Buyar kepingan. Dan sialnya, tepat sasaran.

Sudah. Jangan ditanya rupa hati Jian seperti apa. Terlalu hancur tuk sekadar dibayang.

"Jian berjanji dengan pencipta, semesta, dan isinya sebagai saksi. Untuk kali ini aja Jian minta tolong ke kakak. Ke rumah sakit, ya? Jian enggak akan bilang Ayah Bunda...."















Kicauan burung gereja dan pias jingga menjadi pendukung sorot sendu yang terpancang pada gadis brankar seberang.

"Kakak belum makan. Mau makan apa? Jian beliin." Sungguh lembut bariton Jian bertanya.

Clara sempat melirik sebelum kembali melempar pandang pada jendela sebagai bingkai senja yang terhalang pohon rindang.

"Kalau kayak gini, mau bilang apa ke Ayah Bunda? Gue nggak mau pusing mikirin, ya. Karena lo yang maksa gue ke sini."

Selalu tak berkejawaban sungguh tanyanya.

"Kakak nggak usah khawatir. Biar Jian yang cari alasan."

"Ya. Emang begitu seharusnya."

Padahal intonasinya tak bersahabat, tapi kurv tipis dicetak jelas oleh Jian.

Drrt! Drrt!

Oh. Jian sampai lupa acara kerja kelompoknya.

"Hal--"

"JIAN MAHARDIKA PRANAJA! DIMANA LO--"

"Jian mau keluar sebentar ya kak, kalau mau apa-apa bilang aja," pamitnya selekas beringsut keluar.

Setelah menutup pintu dan memantapkan mental serta gendang telinga, barulah Jian kembali mendekatkan ponselnya.

"Halo?"

"HOLA HALO HOLA HALO MULU KAYAK CUSTOMER SERVICE! TINGGAL DITAMBAH SELAMAT SIANG JADI PEMBAWA KUIS LO!"

Jian meringis. "Iya kenapa?"

"Pake nanya kenapa lagi nih si bujang tiang satu! Lo dimana? Dikasih waktu setengah jam malah molor sampai dua jam!"

"Maaf--"

"Jangan mentang-mentang cuman lo doang ya di kelompok kita yang punya laptop jadinya seenak udel. Ini kita-kita udah pada ngumpul, loh!"

"Iya maaf--"

"Ih, maaf mulu kayak lagi idul fitri!"

Jian menggaruk tengkuk lalu menyisir rambut asal. Antara pusing dengan ocehan temannya dan bingung mencari toilet yang dituju. Setelah bertanya pada suster yang lewat, barulah ia menemukan plang toilet.

"Emang lo ngapain, sih? Kok bisa sampai jam segini belum datang? Ngebo lagi? Hibernasi aja sana sekalian!"

"Eum... itu... kakak aku masuk rumah sakit."

"E-eh? Serius?"

"Seribu rius, malah."

"Aduh. Kalau gitu maaf deh, ya." Nada sesal dan ucapan maaf kawan-kawan seberang dapat ditangkap Jian. Pasti ini teleponnya di-loudspeaker.

"Nggak apa. Maafin aku juga nggak ngabarin kalian dulu. Tugasnya aku aja yang kerjain, ya. Sebagai permintaan maaf."

"Ih, jangan--"

"Jangan sungkan. Kalian kirim aja bahannya nanti aku yang cari dan ketik."

"O-oke deh. Kita bagian ngeprint fotokopi aja ya?"

"Iyaudah."

"Get well soon buat kakak lo ya? Stay safe juga, Ji. Sekarang musim penyakit."

"Siap! Makasih juga, ya."

Helaan napas untuk kesekian kalinya mengudara bebas untuk hari ini. Siap-siap begadang nanti malam karena deadline tugasnya adalah besok. Tak apa. Jian kuat!

Setelah selesai berkutat dengan panggilan alam, Jian mendadak bingung linglung menatap lorong rumah sakit.

Tadi belok kanan, lurus, atau belok kiri ya?

Ya gusti. Dirinya tersesat. Gara-gara berjalan sambil menelepon jadi dirinya tak fokus mengingat arah yang dilewati.

Drrt! Drrt!

Yeyen behel 👍
| Nih ya Ji bahannya

| Bahan-bahan:
- 2 genggam kerupuk (redam di air biasa 2 jam)
- 6 butir bakso
- 200 gr ceker

Bumbu halus:
- 4 siung bawang merah
- 3 siung bawang putih
- 3 butir kemiri
- 1 ruas jari kencur
- 8 cabai merah keriting
- 6 cabai rawit pedas
- 5 cabai rawit hijau (untuk irisan)
- Gula, garam, kaldu bubuk, lada bubuk
- 1 bonggol sawi sendok
- 1 batang daun bawang
- Air kaldu rebusan ceker (sesuai selera)
- 2 butir telur yang sudah di orak arik

Cara membuat:
- Tumis bumbu hingga matang
- Tambahkan bakso, ceker, kerupuk yang sudah direndam, garam, gula, lada, saos tiram, kaldu bubuk. Masak sebentar
- Tambah air kaldu, masak hingga mendidih
- Masukkan daun sawi, daun bawang, dan cabe rawit iris, masak hingga sayuran matang

| Astagfirullah salah copas bahlul!

Jian terkikik geli membacanya. Tanpa sadar melangkahkan kaki menelusuri lorong.

Yeyen behel 👍
| Sori sori tadi emak gue minta cariin resep seblak soalnya ehe

| Nih ji bahan makalahnya

| Bab 7 :
  A. Kehidupan Awal Manusia Indonesia
  B. Perkembangan Kehidupan Manusia Purba di Indonesia
  C. Budaya Bascon-Hoabinh, Dong Son, Sa Hyunh, India, dan Indonesia

Jian ganss 😎
Ashiap! |


Menutup aplikasi chatting tersebut, langkah Jian juga terhenti di pertengahan koridor yang familiar. Menoleh kanan-kiri, mendapati pintu bernomorkan 67.

Ini kamar kakaknya... kalau nggak salah.

Ah, tapi benar! Seingat Jian memang 67, kok!

Memutar knop, dirinya memasuki kamar tersebut dengan percaya diri. Duduk di sofa dan menghela napas panjang namun terbatuk sedetik kemudian.

Bau obat nya menyengat. Tidak seperti kamar Clara yang masih ada wangi-wangi lavender pengharum ruangan.

Dan benar saja,

ia salah kamar.

Namun bukan itu yang membuatnya terkejut hingga bergeming menutup mulut.

Melainkan eksistensi di brankar hadapan.

Berbaring lemah dengan katup tertutup damai seakan-akan tak merasa linu oleh jarum infus yang setia menancap pada nadi. Bunyi pendeteksi detak jantung bahkan seakan menjadi lagu penghantar tidur agar katup itu semakin lama menutup.

Jian kembali jatuh bersimpuh untuk kedua kalinya hari ini. Pelupuk bengkaknya kembali menumpahkan air mata duka. Dadanya sesak tiada tara.















Lagi lagi intuisi memersuasi dengan baik hati. Menuntunnya pada kepingan puzzle yang raib dan begitu mengganjal beberapa waktu ini.



Dan Jian baru sadar, kamar rawat kakaknya bernomor 87,

Bukan 67.




Kita sudah sampai di semi - klimaks ya gengs uhuhu 😭

Definisi up seminggu sekali banget ya ini? Wkwk

AYO MARI DOAKAN SIN SEMOGA LANCAR IDE DAN JANGAN MALES NGETIK!


btw ada yang ikut utbk? Gimana? Lancar?

Ayo sini curhat curhat aku mau denger perjuangan teman sejawat. Karena aku nggak bisa merasakan tahun ini atau bahkan di waktu mendatang, jadinya mau merasakan euforia bersama kalian.

Boleh, kan? 👉👈


Yang MPLS juga ayooo curhat curhat ke kak sin sini! Xixi

U did well, sweetie. Semangat!! /hug u tightly/






Bonus foto yeyen behel ah hshs

karena aku juga rindu jeongin with braces:(

Continue Reading

You'll Also Like

47.1K 9K 32
At the end, he's never wake up from his nightmare. ©elsanursyafira, 2021
8.7K 1.2K 51
"Untuk dia yang selalu menganggap bahwa aku adalah warna di setiap lukisannya. Dia yang selalu berusaha baik-baik saja, Huang Renjun." --- HINDARI PL...
23.9K 3.1K 22
"Sinar di rumah ini akan redup. Kebencian menampakan dirinya jelas. Kemarahan tak lagi bersembunyi. Kesedihan hanya diam. Dan kegembiraan ikut hilang...
8.5K 1K 15
Hanya tentang Na Jaemin yang berusaha menemukan dirinya yang lain. Na Jaeyoung. Mereka kembar. Tapi takdir memisahkan mereka. Akankah mereka bersama...