The Last Saver

By asabelliaa

345K 28.8K 3.4K

Ognelion : Dihuni oleh Peri dan beberapa Manusia Istimewa. Pencinta kedaiaman. Voldent : Tempat berkumpulnya... More

Bagian 2 (Meeting Julian)
Bagian 3 (Elena's Memories)
Bagian 4 (Now I Understand)
Bagian 5 (Sorry)
Bagian 6 (The Wedding Day)
Bagian 7 (Finding Power)
Bagian 8 (Out of Control)
Bagian 9 (I Surrender Myself To You)
Bagian 10 (Love)
Bagian 11(Pregnant)
Bagian 12 (Unwanted Memories)
Bagian 13 (Meets Elena)
Bagian 14 (The Crown)
Bagian 15 (Bad News)
Pemberitahuan (PRIVATE)
Bagian 17 (New Feelings)
Bagian 18 (Worse)
Bagian 19 (Covenant)
20 (The War -1)
Bagian 21 (The War II)
Bagian 22 - Recovery
Bagian 23 (Stranger)

Bagian 1 (The Secret)

54.2K 2.3K 154
By asabelliaa

Ulang tahunku tinggal beberapa hari lagi. Semuanya telah dipersiapkan dengan sangat rapi dan nyaris sempurna.Ayahku bahkan sudah menyewa sebuah hotel besar di kawasan Time Square hanya untuk pesta hari lahirku yang ke-17. Aku sudah menyebar ribuan undangan sejak dua minggu yang lalu. Aku juga sudah memesan gaun bergaya Vintage warna merah untuk pakaian utamaku nantinya.

Jamison Osric Maxwell merupakan seorang Menteri Kehutanan sekaligus Ayah terbaik di dunia. Bayangkan saja, dia baru saja menghubungiku danmengatakan bahwa akan ada beberapa wartawan yang datang untuk meliput pesta ulang tahunku. Oh, yang benar saja, aku pasti akan sangat malu dan juga bangga. Aku selalu tersenyum setiap kali membayangkan bahwa pesta ulang tahunku akan dimuat pada majalah New York Times sebagai pesta ulang tahun termewah tahun ini. Bayangkan saja jika wajah seorang Sychelles Avalee Maxwell mendadak menjadi begitu terkenal setelah pesta ulang tahunnya yang ke 17.Ya, meskipun aku sudah cukup populer di sekolah dan di klub teaterku. Dan ya, orang-orang memang mengenalku dengan nama Sycheless, seperti nama sebuah negara kepulauan yang terletak di timur laut Madagaskar. Ibuku memberiku nama itu karena katanya, aku dilahirkan disana, dan lucunya itu terjadi saat Ayah dan Ibu sedang berlibur.

Well, saat ini aku bersekolah di Hairis Academy, sebuah sekolah yang lebih condong untuk menjadikan murid di dalamnya untuk menjadi seorang seniman atau budayawan. Oh, aku menyukai sekolah ini. Ini adalah tahun keduaku berada di sekolah yang hujani fasititas canggih ini, dan aku harus bersabar menunggu dua tahun lagi untuk bisa lulus untuk kemudian mewujudkan cita-citaku menjadi seorang pengamat seni, artis, model, atau mungkin juga guru tari.

Aku hobi berbelanja tapi aku benci jika disebut Shopaholic, meskipun sebenarnya memang benar.Ya, setiap minggunya aku selalu mengganti isi lemariku dengan baju-baju baru. Gucci, Chanel, Prada, Marc Jacob dan Versace adalah merk-merk favoritku. Itu sudah menjadi hobiku sejak aku hobi menonton American Top Model.Jangan salahkan aku, lagi pula Ayahku juga tak pernah memarahiku.

Aku tahu, dia begitu menyayangiku, bahkan terkadang aku merasa jauh lebih disayangi dari pada Grace Jayde Maxwell, alias kakak perempuan yang selalu iri padaku.Hubungan kami tidak pernah baik sejak kecil, dia seperti menyimpan dendam padaku. Dia begitu sensitif jika ada hal yang menyangkut tentang diriku, seolah aku adalah virus yang seharusnya ia jauhi. Dan saat ini aku masih sering bertanya tentang alasan apa yang selama ini membuatnya begitu membenciku.

Dalam seminggu aku dan Grace maksimal hanya berbicara empat sampai lima kali, yang di setiap pembicaraannya tak pernah lewat dari sepuluh kata seperti, "Ibu mencarimu," "Ayah mencarimu," "Jangan ganggu aku," "Pergilah," "Kau mengambil makananku?".

Benar-benar brengsek.

Jika dia bukan kakakku, aku pasti akan menendang bokong ratanya itu sampai patah. Huh, pantas saja tidak ada pria yang mau mendekatinya, dia benar-benar ketus, sok cantik padahal bentuk tubuhnya jauh di bawahku. Bagiku, Grace tak memiliki kelebihan apapun kecuali, otakknya. Dia begitu pintar di kampusnya, selalu mendapat nilai terbaik. Cukup membuat kedua orang tuaku bangga, namun tidak untukku.Cih,percuma dia punya otak tapi tidak punya hati.

*****

Bel tanda pulang di sekolah sudah berbunyi dan aku benar-benar lelah hari ini. Aku melirik murid-murid lain yang sudah berbondong-bondong keluar.Mereka sepertinya terburu-buru untuk pulang, aneh sekali. Akupun menengok jam digital yang terpasang di dinding kelas, padahal ini masih pukul empat sore, waktu dimana biasanya puluhan pasang kekasih itu memanfaatkan kelas-kelas untuk bermesraan. Sungguh memuakkan.

Aku bukannya iri karena tidak sedang memiliki kekasih.Banyak yang menyatakan cinta padaku, bahkan ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.Tapi, aku belum pernah ingin membangun sebuah hubungan dalam bentuk apapun selama aku belum sukses.Aku sering jatuh cinta, dan itu tidak pernah bertahan lama, aku hanya suka mencintai namun aku tak pernah ingin menunjukkannya.Dan saat ini aku menyukai salah satu teman teaterku, namanya Calvin Cam Redford, dan fakta yang paling kubenci adalah dia adalah teman sekampus Grace. Wajah khas timur tengahnya membuatku belakangan ini lebih memperhatikan apa yang ia lakukan. Menurutku dia adalah tipikal pria yang mandiri, dia sudah bekerja sebagai penjaga toko untuk membiayai kuliahnya sendiri. Dia pribadi yang selera humor yang baik, dan yang terpenting dia bukanlah pria gengsi, aku tahu dia adalah anak kaya, namun ia selalu menutupi hal itu.

Hubunganku dan Calvin cukup akrab, kami sering jalan berdua dan terkadang dia juga selalu bertindak seperti pacarku. Oh, aku begitu nyaman dengan Calvin. Bisakah kedekatanku bertahan sampai aku benar-benar sukses, dan aku selalu berharap bahwa perasaanku pada Calvin bertahan lama, meskipun aku tak yakin bahwa ini adalah cinta.Tapi, intinya aku ingin Calvin selalu berada di sisiku.

"Kenapa kau tidak pulang?"Jayce berhasil membuarkan lamunanku.Dia adalah Jayce Marden, si gadis keriting berkulit hitam yang ahli dalam ilmu sejarah kuno sangat terobesi dengan dunia supranatural. Berada di dekatnya sebenarnya membuatku merasa agak aneh.

Aku berusaha melemparkan senyum buatan terbaikku."Aku justru heran mengapa mereka semuanya pulang begitu cepat?"Aku hampir tak menyadari bahwa ternyata di kelas ini hanya tersisa aku dan Jayce.

Jayce mendelik padaku."Jadi kau tidak tahu?"

Aku terkejut, sepertinya aku sudah ketinggalan sesuatu. "Memangnya ada apa?"

"Apa kau tak mengikuti kelas pertama tadi?" tebaknya penuh selidik.

Aku meringis sambil menggaruk kepalaku lalu mengangguk pelan. Aku bolos jam pertama karena aku ingin tidur. Entahlah, beberapa hari belakangan ini aku selalu diteror mimpi aneh, itu membuatku tak bisa tidur.Mungkin aku terlalu banyak menonton film tentang vampire.

Jayce berdecak pelan."Sekolah mengundang seorang peramal asal Irlandia yang terkenal, dan pemaral itu mengatakan bahwa sebentar lagi akan ada badai dengan petir besar-besaran."Aku nyaris terkejut juga tertawa mendengar ucapan Jayce.

"Serius?" aku melirik keluar jendela sejenak dan mengernyit ketika melihat di luar sana bahkan begitu cerah. "Kau bercanda?Udaranya bahkan sangat panas? Mana bisa hujan apalagi petir datang."Suaraku sedikit merendah ketika menyebutkan kata 'petir' karena sejujurnya aku menyimpan phobia sendiri terhadap petir, atau yang lebih dikenal dengan istilah Astraphobia.

Jayce menggeleng padaku."Peramal itu bilang bahwa sebentar lagi pembatas antar dunia kita dengan sebuah dunia akan terbuka lebar," jelasnya tampak serius.

Aku mencerna dengan baik kata-katanya, aku percaya tentang semesta yang memiliki banyak dunia.Di kelas Ilmu Sejarah Kuno aku sering belajar hal-hal semacam itu, tentang orang-orang jaman dulu yang menganut paham anismisme dan sejenisnya.Tapi percaya bukan berarti tertarik, aku hanya menyimpan ilmu itu sebagai pengetahuan, tidak untuk didalami.Aku selalu mengaitkan segalanya dengan logika agar tidak terjerumus dan salah paham mengenai Ilmu Sejarah Kuno, dan kupikir penjelasan Jayce barusan membuatku setengah tidak yakin .Mana mungkin dijaman canggih ini ada fenomena macam itu!?

"Ugh, baiklah.Kupikir, aku memang juga harus pulang," ucapku sambil menguap. Sialan. Kupikir aku memang kurang tidur belakangan ini.Jayce mengangguk sebelum akhirnya meninggalkanku sendirian di kelas.

Sementara aku memasukkan buku-bukuku ke dalam tas tiba-tiba saja sebuah angin panas dari jendela masuk dan menerpa wajahku. Menerbangkan lembut ujung rambut coklatku. Mendesah pelan, aku meraih tas ranselku dan berjalan ke arah jendela untuk menutup selanya yang tidak sengaja terbuka. Namun alih-alih menutup, aku malah terkejut dengan pemandangan sekolah yang mendadak sepi.

Cepat sekali murid-murid ini bergerak. Apakah mereka semua percaya dengan apa yang diucapkan peramal itu?

Akupun menggeleng sejenak sebelum akhirnya menoleh ke atas langit dan memperhatikan perubahan yang sangat signifikan dengan langit terakhir yang kulihat lima menit yang lalu. Langit yang sekarang begitu gelap, awan-awan gelap yang entah darimana asalnya tiba-tiba saja mendominasi angkasa.

Aku jadi cemas sendiri.Lantas aku meremas tali ranselku dan cepat-cepat berlari keluar.Percakapanku dan Jayce barusan seolah berputar kembali di atas kepalaku.Jika saja badai benar-benar terjadi dan petir besar akan saling menyambar, aku pasti akan tewas karena phobiaku hari ini. Tidak, tidak! Aku harus cepat pulang.

Berlari menuju parkiran, lalu bernafas lega saat aku sudah menemukan Ferrari merah kesayanganku.Aku tak membuang waktu untuk berlama-lama di sekolah.Butuh waktu 30 menit untuk sampai ke rumah.Sialan.Cuaca buruk hari ini benar-benar merugikanku dalam banyak hal, termasuk latian teater dan menonton konser Ariana Grande nanti malam.

Awan semakin gelap, angin bertiup jauh lebih kencang,aku tidak pernah mengemudi dalam kondisi cuaca yang buruk.Tidak sekalipun.Aku selalu menghindari hal itu.

Sedari tadi aku mengigit bibir bawahku saat melihat titik-titik air hujan sudah mulai memenuhi kaca mobilku. Otomatis menyalakan pembersih kaca untuk memperbaiki pandanganku.Lalu lintas cukup sepi dan entah mengapa hari ini benar-benar aneh.Sementara itu aku mengecek ponselku yang kuambil dari saku jas sekolahku lalu kemudian memekik kesal saat melihat benda itu mati. Ah sialan, bisa-bisanya aku kehabisan batrai dan lupa membawa powerbank di saat-saat seperti ini.

Semakin panik, aku mengencangkan laju mobilku, menginjak gasnya dengan keras, sekeras hujan yang mengguyur saat ini.Aku bisa merasakan wajahku berkeringat seolah kulitku tidak peka terhadap AC yang ada. Ketakutanku semakin membengkak saat suara gemuruh dari atas sana mulai terdengar, suara gemuruh yang kemudian di susul oleh kilatan cahaya silau mirip dengan flash kamera.

Aku menahan nafas saat beberapa detik kemudian sebuah suara yang mirip seperti ledakan menusuk telingaku.Aku menjerit saat menyadari bahwa itu adalah suara petir. Rasanya jantungku seperti akan copot. Buru-buru aku berusaha tidak mempedulikannya dengan menambah laju mobilku.Yang ada dipikiranku saat ini adalah sampai di rumah secepat mungkin, setidaknya rumahku memiliki penangkal petir dan juga kedap suara.

Suara petir berikutnya terdengar lagi dan ini semakin keras, aku meringis dan menahan tangisanku.Tidak, aku tidak bisa mendengar semua ini terus.Aku bisa melihat bayangan diriku dari kaca mobil yang memperlihatkan kepucatanku.Aku menelan ludahku dan terus mencoba untuk mengabaikan semua ketakutanku.

Hal yang paling kubenci adalah ketika mendadak Ferrariku berhenti di pinggir tepat di pinggir jembatan.Aku memekik kesal dan akhirnya meneteskan air mata. Sialan.Kenapa aku tidak mengecek bensinya tadi pagi?

Aku menjatuhkan kepalaku di atas stir dan menangis di sana. Aku menangis sambil menutup kedua telingaku meskipun aku tahu usaha itu sia-sia, karena suara petirnya terus meledak-ledak di atas pikiranku. Ketakutan ini membuatku frustasi, aku menengok ke arah jalan dan mendapati suasana jalan sangat sepi.Hanya ada dua atau tiga mobil yang lewat dalam semenit.

Aku harus menemukan taksi dan pulang sepecat mungkin.Itu adalah jalan terbaik untuk terbebas dari ketakutan ini, aku tak ingin terjebak disini dalam waktu lama. Bisa-bisa aku mati dalam keadaan konyol sebelum sempat menginjak usia 17 tahun. Sangat tidak lucu.

Dengan satu helaan nafas panjang, aku memberanikan diri untuk membuka pintu mobil lalu keluar, dan pada detik itu pula hujan menyapu seluruh tubuhku, membuatku basah kuyup dan mengigil.Aku mendongakkan kepala dan melihat langit yang cukup mengerikan.Tidak pernah aku melihat fenomena seperti ini sebelumnya, gumpalan awan hitam tebal menutupi langit, dan aku bisa melihat dari kejauhan garis-garis kilatan petir yang mengerikan.

Aku memeluk tubuhku sendiri sambil berjinjit berharap akan ada seseorang atau taksi yang lewat. Namun sepertinya aku sedang sial, bukan karena tidak ada yang lewat, ada dua mobil yang lewat namun mereka tak ingin berhenti, padahal aku sudah melambaikan tangan dan berteriak.

Kali ini air mataku jatuh semakin deras, aku menjerit frustasi sambil bersandar di pintu mobil.Aku benar-benar takut, sangat, takut.Aku merasakan dingin semakin menusuk kulitku, jari-jari tanganku gemetar dan mulai keriput. Mendadak kepalaku terasa sangat pusing, jalanan ini terasa berputar dan aku akan benar-benar jatuh ke aspal jika saja seseorang tak menahan tubuhku.Orang itu menahan punggungku agar tidak jatuh ke belakang.

Aku sedikit terkejut ketika memandang orang itu.Sial, mataku begitu payah sehingga aku tak bisa melihatnya dengan jelas.Rasa pusing ini membuat pengelihatanku semakin memburuk.Aku sedikit terkejut karena tak menyadari kapan orang ini datang. Yang kutahu, dia adalah seorang pria bertubuh kekar dengan jaket hitam dan....

"Sychelles, kau harus tetap hidup," suara seraknya seolah menekanku. Aku terkejut lagi saat ternyata dia mengetahui namaku.Entah ini perasaanku saja atau bukan, namun ketika dia menyelipkan tangannya di belakang sendi lututku, aku merasa seperti tersengat listrik.Bukan, ini bukan listrik debaran hati atau semacamnya.Ini listrik sungguhan, aku merasakan seperti sedikit tersengat.Namun aku tak punya banyak tenaga untuk berbicara.

"Kalungkan tanganmu di leherku dan aku akan membawamu pulang," ucapnya penuh perintah. Dan nyatanya, ucapannya berhasil menghipnotisku, perlahan aku mengalungkan tanganku di lehernya dan hal terakhir yang bisa kulihat sebelum kesadaranku hilang adalah sebuah tanda yang ada di leher sebelah kanannya. Sebuah tanda mirip tattoo yang nyaris sama dengan garis-garis petir yang kulihat langit barusan.

*****

Aku kini berada di sebuah hutan yang sangat menyeramkan, aku tak tahu sejak kapan aku berada tempat ini.Aku berdiri di tempat ini dengan perasaan bingung yang luar biasa. Hutan ini begitu sunyi, tidak ada hal lain yang bisa dilihat selain pepohonan besar dan akar-akar tanaman yang menggantung dimana-mana. Udaranya begitu tenang namun juga lembab, seolah tak ada angin disini, cahaya disini tak begitu baik, suasananya seperti akan menjelang petang. Aku bahkan sudah tidak memakai seragam sekolahku lagi melainkan memakai sebuah gaun berat berwarna putih lusuh, seperti gaun pernikahan kuno.Aku sedikit ketakutan saat tiba-tiba sebuah cahaya yang cukup silau muncul di depanku.

Cahaya itu semakin lama-semakin membesar, angin yang semula tak kini muncul secara tiba-tiba, menerbangkan dedaunan kering yang ada disana, membuat tempat ini menjadi sebuah pusaran aneh yang dikelilingi banyak daun yang bertebangan.Aku berusaha menyingkirkan rambutku yang juga itu terkena sapuan angin, aku berusaha mendekat pada cahaya yang semakin lama, semakin besar itu.

"Sychelles."

Aku merinding saat tiba-tiba saja suara lembut itu muncul.Seperti suara seorang, ralat, banyak orang, dan suara itu adalah suara wanita. Aku menerka mereka lebih dari tiga orang atau bahkan lima orang. Aku menoleh dan ke kiri dan kanan, mencari-cari dari mana asal suara itu di antara pusaran angin yang sangat menganggu.

"Disini."

Lagi-lagi aku tercekat, saat menoleh pada cahaya silau putih yang berada satu meter berubah menjadi bayangan tujuh orang gadis cantik bak bidadari dengan mahkota perak dengan bentuk yang berbeda masing-masing bertengger di kepalanya.

Mulai dari yang sebelah kiri, dia memakai mahkota dengan bentuk Kristal Es di puncaknya, lalu di sebelahnya berbentuk Matahari, Kuda, Sayap, Pedang, Panah, dan yang terakhir, aku sedikit tekejut ketika tak menemukan bentuk apapun pada gadis ke-tujuh itu. Hanya mahkota dengan lekukan ombak sederhana, polos.

"Siapa kalian?"Aku merasakan kakiku gemetar sembari mundur satu langkah, berjaga-jaga, siapa tahu mereka berniat jahat padaku.

"Jangan takut, dear."Gadis bermahkota Kristal Es itu tersenyum padaku.Senyumannya begitu manis, bibir tipisnya terlihat begitu bersinar. Dia bahkan lebih cantik dari Barbara Palvin.

"Siapa kalian?"Aku mengulangi pertanyaanku dengan nada yang lebih keras.

Mereka semua menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan sampai pada akhirnya gadis ke tujuh mengangkat tangannya sampai sebatas dada lalu menoleh ke enam gadis yang ada di sampingnya, seolah mengisyaratkan bahwa dia akan bicara sebentar lagi. Keenam gadis lainnya mengangguk paham.

Gadis ke tujuh itu lalu menoleh padaku dengan senyum cantiknya,

"Sychelles, kami tak mungkin menyakitimu.Jangan takut," suara terdengar begitu anggun.Aku yakin dia bukan manusia, dia pasti seorang peri atau semacamnya."Kau adalah bagian dari kami."

Aku nyaris tersedak mendengar ucapan itu."Apa maksudmu?" tanyaku dingin.Aku ingin segera keluar dari tempat sialan ini.

"Kau adalah bagian dari diriku, dari diri saudara-saudaraku, kami menaruh harapan yang besar untukmu." Gadis itu menatapku dengan penuh harapan, seolah ia sedang memohon padaku.

Aku tak mengerti dengan maksud ucapanya barusan.Bahkan sebelum aku berhasil bertanya lagi, tiba-tiba saja sosok-sosok itu memudar bersamaan dengan cahaya di depanku yang mulai menghilang.Dan yang terakhir aku dengar adalah suara yang nyaris seperti bisikan memohon, "bebaskan kami, Sychelles."

Dan suara ituterus menggema di telingaku, sampai akhirnya aku berusaha untuk menutupnya dengan kedua tangannku.Suara itu tak hanya menyakiti telingaku tapi juga pikiranku, aku seperti tertekan dan ketakutan hingga membuatku terus bertanya-tanya. Suara apa ini?

"Sychelles!"

Aku tersentak dan spontan membuka mataku saat sebuah suara mengagetkanku.Aku bernafas lega saat melihat Ibu ternyata membangunkanku, dan dengan itu aku tahu bahwa yang tadi kualami hanya sekedar mimpi.Mimpi yang aneh.

"Syukurlah kau sudah sadar.Apa kau tidak apa-apa?" tanyanya cemas.Aku mengangguk pelan sambil tersenyum lemah.Wanita paruh baya itu pasti sangat khawatir padaku.Well, Ibuku adalah seorang kepala perawat. Jadi wajar jika ia begitu penyanyang dan perhatian, namanya Jarrel Oswald. Dan dia adalah wanita paruh paya tercantik versi penilaianku.Aku membalas menarik nafas pelan sambilmenarik selimutku lebih sampai ke atas dadaku.

"Kau tergletak di depan pintu rumah dengan kondisi basah kuyup. Dimana mobilmu?Apa kau berlari seorang diri dan pulang ke rumah?"Pertanyaan itu mengejutkanku.

Aku tak langsung menjawab dan buru-buru melihat keluar jendela dan ternyata benar, di luar masih hujan.Berarti soal pria yang menolongku tadi sore bukan mimpi?

"Sychelles?"Ibu mencoba membarkan lamunanku.

Aku menoleh padanya, "umh, ya.Maaf.Kau tahu, aku mengidap Astraphobia.Tadi aku kehabisan bensin dan aku meninggalkan mobilku dekat jembatan." Aku menjawab apa yang ingin ku katakan. Entah mengapa aku enggan menambahkan cerita dimana seorang pria misterius menolongku. Aku tahu Ibu adalah orang yang terlampau berfikir, dia pasti malah tidak berhenti mengintrogasiku jika ia tahu yang sebenarnya. Jadi kupikir, aku lebih mendukung dugaannya bahwa aku pulang dalam dengan cara berlari, meskipun itu tidak sangat mungkin.

"Oh honey, aku sangat menyesal. Kau harus beristirahat. Dan aku tidak akan menelfon Ayahmu, setelah ini. Aku juga akan menelfon orang untuk mengurus mobilmu."

Lagi-lagi aku hanya mengangguk lemah sambil menenggelamkan diriku dalam selimut tebalku.Aku menebak bahwa Ibu telah mengganti pakaianku, dia benar-benar sangat perhatian.Aku beruntung memilikinya.

"Turunlah untuk makan malam nanti jika kau sudah merasa baik, honey," ucapnya penuh kasih sayang sebelum akhirnya ia berdiri dan meninggalkanku. Aku terus menatapnya dengan senyum hingga sosoknya menghilang di antara ambang pintu, namun baru dua detik ibu pergi, tiba-tiba sosok Grace muncul di sana. Senyumku seketika memudar saat dia juga melemparkan tatapan sinis padaku, seolah mengataiku yang sangat manja.

Aku lantas membuang wajahku dan cepat-cepat menarik selimut untuk menutupi wajahku.Kupikir aku butuh istirahat lagi. Ya, aku masih sangat lemas, dan lagi, wajah dingin Grace membuatku merasa kembali buruk.

****

Tiga hari setelah kejadian itu, aku semakin membaik meskipun terkadang aku masih memimpikan mimpi hal aneh serupa. Tapi, aku ingin mencoba lebih realistis, aku akan mengurai porsi menonton film yang berbau fantasi. Kupikir itu akancukup membantu.

Semua orang tengah sibuk mempersiapkan hari besarku besok, begitupun diriku yang sibuk mengingatkan seluruh teman-temanku agar datang tepat waktu.Mereka terlihat begitu bersemangat dengan hari besarku, kuharap hadiahku kali ini jauh lebih banyak daripada tahun kemarin. Aku jadi penasaran kado apa yang sudah disiapkan oleh Ibu dan Ayah? Apakah merekaakan memenuhi kamarku dengan koleksi terbaru dari Victoria's Secret, Dior, Guess, Chanel, atau Armani seperti tahun lalu?

Atau mungkin mereka akan membelikanku sebuah Bugatti Silver keluaran paling baru yang hanya dibuat sepuluh unit di dunia? Oh, pasti aku akan menjadi gadis paling beruntung. Aku akan membuat banyak orang iri. Aku sangat tidak sabar.

"Kau lelah?" sebuah suara yang penuh perhatian itu membuatku terkejut, namun detik berikutnya aku menarik sebuah senyuman ketika melihat seorang pria duduk di sampingku. Calvin.

"Tidak juga.Aku bahkan sangat senang mendapat peran ini.Aku akan melakukan yang terbaik."Ucapanku terdengar seperti sebuah janji sakral. Aku menatap dan ia hanya mengangguk paham.

Saat ini aku tengah berada di klub teater.Klub ini bukanlah sebuah lembaga resmi yang terikat dengan sekolah, ini hanyalah tempat dimana berkumpulnya orang-orang pecinta seni drama.Klub ini cukup terkenal di New York, sering mengisi acara-acara peringatan ataupun festival tahunan.Dan rencannya bulan depan klub kami akan tampil di Brooklyn Bridge Park.

Aku bangga bisa bergabung dengan klub ini sejak dua tahun lalu, dan aku juga bangga bisa mengenal Calvin di sini.Dia adalah pria tampan berselung pipit yang kukagumi.

"Kau bahagia bukan karena akhirnya kau mendapatkan peran sebagai Rapunzel, kan?" tanyanya menggoda. Aku tidak mengerti apa maksud ucapannya. Ia mendesah pelan, "kau bersemangat karena akulah yang akan jadi pangerannya."

Blush.

Seketika pipiku memerah.Aku tak buru-buru menunduduk seraya menyembunyikan wajahku dari tatapan manik mata birunya."Kau terlalu percaya diri," jawabku malu-malu.

Aku mendengar tawanya untuk beberapa detik, "tentu saja kau menginginkannya.Kau menginginkan adegan ciuman dengan pangeran di bagian akhir cerita bukan?" ucapnya dengan penuh percaya diri. Oh, sial, bisakah Calvin menutup mulutnya dan membiarkan pipiku tidak semakin memerah?

Aku mengeluh samar. "Tidak juga.Lagi pula ini bukan kali pertama bagiku." Aku berbohong, itu sengaja, agar tidak terlihat kuno di depan Calvin. Aku yakin dia pasti akan menertawakanku jika tahu aku tak pernah sekalipun berciuman. Pernah hampir satu kali, ketika acara prom night di Junior High School aku hampir berciuman dengan Ken, kami tidak berpacaran, hanya sangat dekat, dia kapten basket yang sangat tampan, namun ciuman itu gagal saat tiba-tiba saja seseorang muncul mengacaukan semuanya. Dan aku tak pernah berusaha untuk berciuman lagi setelahnya.Ah, aku benci mengingatnya.

Calvin menatapku antusias.Ia bahkan sampai memutar tubuhnya ke arahku lalu kedua matanya melotot padaku. "Kau serius?" tanyanya. Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan samar.

"Itu berarti kau sudah profesional," tebaknya asal.Wajahku memerah.Profesional?Bahkan membayangkan bagaimana rasanya saja aku tak sanggup.

Aku hanya melemparkan sebuah ringisan kecil untuk menutupi kebohongan kecilku.

Calvin tersenyum lalu menatapku intens, ia mendekatkan wajahnya ke telingaku, membuatku merasa sedikit geli risih. Nafasnya hangatnya benar-benar membuatku ingin gemetar. Baru saja aku ingin menarik diriku untuk menjauh, namun ia menahan tanganku dan membisikkan sesuatu.

"Kau membuatku bersemangat untuk melakukannya, manis," bisiknya kemudian pergi meninggalkan begitu saja.Aku baru tahu bahwa Calvin ternyata juga pandai menggoda, selain itu dia sedikit genit.

Aku mematung dengan mata yang melebar.Sialan.Calvin benar-benar menggodaku.Dan dia juga sudah berhasil membuat lututku lemas dan membeku seperti seorang idiot.

*****

"Sebentar lagi, Sychelles."

"Kau akhirnya kembali."

"Selamatkan kami."

"Kami sudah menunggu 100 tahun."

"Sebentar lagi kau akan bangkit kembali, Ellena."

"Ini sudah waktunya kau kembali."

"Sychelles."

"Kau adalah penyelamat terakhir."

Aku terbangun dari tidurku dengan wajah yang berkeringat.Lagi-lagi aku mendengar suara-suara aneh dalam pikirannku.Jantungku benar-benar keras.Mimpi buruk itu menghantuiku lagi, mimpi abstrak yang datang kembali saat kupikir semuanya sudah membaik.Aku mencoba untuk duduk dan membuka mataku untuk beradaptasi dengan cahaya biru redup kamarku.Sialan.Bahkan obat tidur yang kuminum tidak bekerja dengan baik.Buktinya aku masih bisa terbangun dengan kondisi terkejut seperti ini.

Oh, sialan. Aku melirik jam dinding yang tergantung di kamarku, dan menyipitkan mataku ketika jarum pendek dan panjangnya tepat berada di angka 12. Ini benar-benar tengah malam, itu berarti ini sudah memasuki hari ulang tahunku.

Aku mendesah saat melihat pintu jendela balkonku terbuka. Angin di luar terlihat begitu kencang, sepertinya sebentar lagi akan hujan, aku khawatir akan ada suara petir yang terdengar lagi jika aku tak segera menutupnya. Akupun buru-buru melompat turun dari ranjang dan berjalan menuju pintu kaca pembatas antar balkon dan kamarku.

Ternyata hujan sudah turun, cipratan titik-titiknyamulai mengenai piama dan wajahku. Aku mengeluh samar ketika tirai pintuku terbang mengendai wajahku, semakin menyulitkanku untuk menutup pintu. Belum sempat aku berhasil memegang kenop pintu itu, tiba-tiba saja seseorang muncul di depanku.Kemunculannya begitu mendadak bersamaan dengan kilatan dan bunyi petir yang begitu besar. Aku menjerit berharap seseorang akan mendengarku, namun sebelum aku berhasil menjerit sepenuhnya, sosok itu sudah terlebih dahulu membungkam mulutku dengan telapak tangannya yang dingin dan basah.

"Diam, dan aku tak akan menyakitimu," nada bicaranya membuatku takut.Aku kesal ketika aku tak bisa menatap wajahnya dengan jelas.Wajahnya tertutup oleh bayangan tirai pintu balkon yang berterbangan liar.Aku hanya bisa melihat sepasang bola matanya yang berwarna coklat terang keemasan. Warna yang cukup indah, setidaknya itu berlaku jika sepasang mata itu tak menatapku dengan sangat dingin.

"Siapa kau?" bisikku gemetar saat dia sudah melepaskan bungkamannya, namun dia tidak bisa melepaskan genggaman tangannya dari lenganku.

Aku tidak yakin karena disini begitu gelap, tapi aku pikir dia sedang tersenyum sinis. "Kau melupakanku begitu cepat ,Sychelles?" caranya menyebutkan namaku mendadak membuatku teringat pada sosok pria misterius yang menolongku di jembatan beberapa hari yang lalu.

Jadi?Dia?

Kenapa dia bisa ada disini?

Belum sempat aku bereaksi dia sudah menatapku tajam."Kenapa kau begitu betah di sini.Mereka hanya menyakitimu?" Cengkramannya di lenganku semakin kuat, membuat darahku susah untuk mengalir.

Aku menggeleng tak mengerti. Siapa yang ia maksud dengan kata 'mereka'?

"Mereka hanya membohongimu selama ini.Kau harus kembali ke Bixon dan menemui takdirmu."Itu terdengar seperti sebuah perintah dan bentakan.

Aku semakin bingung dengan apa yang ia ucapkan. Apakah pria ini gila?Aku benar-benar tidak mengerti.Aku lantas mengernyitkan dahi."Siapa kau sebenarnya?Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku semakin penasaran, anehnya pria ini sudah berhasil membuatku mengabaikan gemuruh dan suara petir yang sudah beberapa kali terdengar.

"Aku seorang Volter, seorang pengendali petir," ucapnya bersamaan dengan petir keras yang terdengar, itu membuat ingin menangis dan ketakutan.Siapa sebenarnya pria ini?Apakah dia manusia?Hujan semakin lebat dan butirannya terus mengenai wajah terutama mataku, jadi aku semakin tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.Kami masih saling berhadapan seperti sepasang kekasih yang ingin berciuman, dia lebih tinggi dariku.Mungkin aku hanya sebatas bahunya.Tatapan matanya semakin menuskku."Aku kesini untuk memberikanmu sebuah hadiah, dihari ulang tahunmu."

Ini semua terjadi begitu cepat, bahkan sebelum aku sempat bereaksi dengan ucapannya.Aku ingin berteriak saat tiba-tiba saja pria itu mendekat dan wajahnya tempat mendarat di leherku.Aku meringis ketika merasakan bibirnya menyentuh leher bagian kananku, sedetik kemudian sebuah sengatan yang begitu menyakitkan terasa di leherku.Aku ingin sekali menjerit namun suaraku seolah tertahan di tenggorokan.Rasanya begitu sakit, lebih sakit dari dicekik, aku seperti ingin meledak dan panas saat ada benda tajam tiba-tiba merobek kulit leherku, dan kemudian tubuhku gemetar ketika kurasakan bibir pria itu seperti memasukkan sesuatu ke dalam tubuhku. Sesuatu yang panas, seperti cairan yang membuatku mengejang, dan aku tidak tahu apa lagi yang bisa menggambarkan rasa sakitku saat ini. Kupikir sebentar lagi leherku akan putus. Ini begitu gila, ini begitu intens, dan ini begitu menyakitkan.

*****

"Selamat ulang tahun, Sychelles!"

Suara Ibu dan Ayah berhasil membuatku terbangun. Aku tertegun saat menyadari diriku sudah ada di kasur dengan piama yang berbeda. Astaga! Aku yakin, aku tidak memakai piama ini semalam.Akupun menengok pintu balkon dalam keadaan tertutup.

"Honey" Suara lembut Ibu membuatku sadar bahwa aku baru saja mengabaikannya. Aku lantas buru-buru merespon.

"Oh, terima kasih. Aku benar-benar merasa sangat spesial," ucapku sambil memeluk Ayah dan Ibuku bergantian. Mereka juga memberikan sebuah kecuapan manis tepat di keningku secara bergantian, itu membuatku merasa begitu disayangi.

"Bangunlah.Kau harus bersiap-siap sekolah.Siapkan dirimu karena malam nanti akan menjadi milikmu, Sychelles," ucap Ayahku dengan nada tegasnya namun lembut.

Aku menganggu antusias. Oh, ternyata hari ini tiba juga. Aku tidak percaya bahwa aku sudah berusia tujuh belas tahun. Aku tak membuang banyak waktu setelah Ayah dan Ibu meninggalkan kamarku, aku langsung bangkit dari kasur King Size milikku dan bergegas menuju kamar mandi.

Kini aku sedang berdiri di depan kaca besar yang ada di atas wastafelku. Aku melihat wajahku yang cukup berantakan, rambut coklat panjangku tergerai lurus dan aku memutuskan untuk mengambil menggulungnya, namun ketika aku berusaha menggulungnya tiba-tiba saja aku mematung.

Aku melihat dari cermin ada yang aneh dengan leherku, aku lantas mendekat pada untuk memperjelas pengelihatanku. Kumiringkan sedikit leherku kiri dan kedua bola mataku nyaris melompat ketika melihat sebuah tanda hitam yang mirip tattoo menempel disana. Perlahan aku mengusap tanda itu sembari mengingat-ingat lagi tentang kejadian semalam.

Sambil memperhatikan tanda yang ada di leherku, aku terus mengingat-ingat lebih jelas. Ini seperti sebuah tanda mirip tattoo warna hitam dengan ukuran jari kelingking bayi, warnanya hitam dan terlihat seperti garis-garis tidak lurus, lebih mirip coretan pulpen namun begitu rapi seperti garis urat tangan yang bercabang-cabang, atau mungkin lebih mirip dengan garis-garis kilat. Aku mengenguk ludah dalam-dalam saat menyadari bahwa kejadian tadi malam bukan mimpi.Pria misterius itu, ucapannya, dan rasa sakit itu.Dan yang terakhir, aku juga sadar bahwa tanda yang di leherku ini mirip dengan tanda yang ada di leher pria misterius itu.

Ah.

Aku menghebuskan nafas frustasi sambil mengacak-acak rambutku.Otakku terasa jauh lebih berat sekarang.Siapa sebenarnya dia?Apakah dia hantu?Dan apakah dia juga yang mengganti pakaianku tadi malam?Aku menggeleng kasar.

Tidak.Aku tidak boleh merusak hari ulang tahunku dengan pikiran konyol macam ini. Mungkin aku memang sedang berhalusinasi, dan tanda yang ada di leherku ini hanyalah gigitan serangga atau bisa saja ulah Grace yang ingin mengerjaiku. Ambil beberapa kemungkinan yang logis, meskipun aku tahu bahwa Grace tidak akan pernah memasuki kamarku. Kami berdua punya teritorial masing-masing.

*****

"Selamat ulang tahun, Sychelles."

"Kau sudah tujuh belas tahun.Aku pasti akan datang ke pestamu."

"Ini harimu.Berdandalah yang cantik.Selamat ulang tahun."

Semua ucapan itu mengujaniku di sekolah, itu membuatku tak bisa berhenti mengukir sebuah senyum bahagia. Mereka semua antusias dan sudah berjanji akan datang pada pestaku nanti malam. Ini sudah jam pulang sekolah dan aku harus cepat-cepat pulang. Ibu sudah membelikan sebuah gaun dan mendatangkan perias terbaik di New York untuk mendadaniku.Aku yakin bahwa Kate Middleton tak ada apa-apanya denganku.

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah, dan menikmati saat semua mata tertuju padaku.Mereka pasti sedang berbisik-bisik membicarakan tentang pesta besarku.Sebagian ada yang memuji, sebagian juga ada yang iri. Tapi, kupikir ini adalah hidup, dimana kita hanya menjalani dan orang lain yang mengomentari. Aku tidak pernah peduli dengan komentar buruk tentang diriku, dunia masih begitu besar dari pada hati buruk mereka.

"Sychelles."

Aku sudah hampir sampai di tempat parkir lalu mendadak berhenti kemudian menoleh ke sumber suara yang menyerukan namaku.Terlihat seorang gadis berkulit hitam tengah sedikit berlari menghampiriku. Itu Jayce.

"Kau melupakan ponselmu di kelas," ucapnya sambil menyodorkan Iphone 6 plus milikku. Ah, sial, bisa-bisanya aku melupakan benda penting itu.

Aku meraih ponselku."Oh, terima kasih, Jayce.Aku bisa gila tanpa ini."Ponsel adalah segalanya bagi remaja sepertiku.Itu adalah fakta.

Jayce menggedikkan kedua bahunya, "Umh, anytime," jawabnya polos.

Detik berikutnya, tiba-tiba angin muncul dan menerbangkan rambutku yang terurai. Ah sialan. Ini benar-benar menganggu.Aku mendesis jengkel sembari berusaha merapikan kembali rambutku.

"Volter sign?"tanya Jayce, sambil sepasang matanya mengarah ke leherku. Kedua mata hitamnya menyipit seolah mengatamati tanda yang ada di leherku dengan serius.

"Apa?" kataku curiga sambil menutup tanda yang ada di leherku dengan telapak tangan.

Jayce mengiris lalu menggeleng. "Dimana kau membuat tattoo itu? Keren sekali.Aku tidak menyangka bahwa kau juga penyuka ilmu sejarah abstrak".

Aku membulatkan mataku mendengar komentar Jayce. "Sejarah Abstrak?" tanyaku dengan alis yang terangkat sebelah.

"Jangan bercanda.Itu adalah tanda sakral.Kau tahu bahwa semesta ini memiliki banyak dunia."Dia menjelaskan dan aku memperhatikan dengan baik.

"Lanjutkan," ucapku dengan sedikit meminta.

Jayce memutar bola matanya sejenak."Menurut ilmu yang kupelajari, manusia tidak hidup sendiri. Mereka hidup berdampingan dengan mahluk-mahluk lain, hanya saja dunia mereka berbeda. Ada batasan-batasan yang pantang untuk dilalui."Jayce menarik nafas sejenak."Aku pernah membaca buku yang di tulis oleh peramal asal Rusia, dia menuliskan bahwa dirinya sebenarnya bukan berasal dari dunia ini.Melainkan dari Bixon.Sebuah dunia yang dipenuhi dengan mahluk-mahluk supranatural atau sejenisnya."

"Lalu apa hubungannya dengan tanda yang ada di leherku?" tanyaku cepat.Setidaknya, aku lebih penasaraan dengan ini.

"Itu adalah Volter Sign, hampir persis dengan yang digambar pada lembar ketiga bukunya waktu itu.Volter adalah sebutan untuk pengedali petir, mereka adalah mahluk setengah manusia yang dikaruani kekutaan untuk mengendalikan petir dan pergerakan awan.Dan para Volter merupakan salah satu penghuni terkuat di Bixon."

Aku mencerna semuanya dengan baik.Aku tidak tahu apakah ini semua berhubungan, tapi aku yakin ini seperti sebuah petunjuk yang tak bisa aku hubungkan.Mulai mimpi burukku, perubahan cuaca ekstrim, pria misterius yang menolong sekaligus memberiku tanda ini.Apa sebenarnya maksud dari semua ini?

"Apa lagi yang kau tahu tentang Bixon?" tanyaku semakin ingin tahu.

Jayce menggeleng kecewa."Sayangnya aku belum membaca itu sampai tamat, karena buku itu sudah dimusnahkan oleh perpustaakan pusat dulu sebelum aku selesai membacanya.Buku itu dianggap menyesatkan."Jayce menghembuskan nafas pelan. "Tapi, kupikir ketika peramal tua yang kemarin datang kesini mengatakan bahwa mahluk dari alam lain tengah mencoba untuk menembus dunia kita, itu benar-benar ada hubungannya dengan cuaca buruk dan petir mengerikan beberapa hari belakangan ini." Jayce menyudahi penjelasanya dan pergi setelah melirik jam tangannya dan sepertinya dia juga sedang terburu-buru dengan urusannya, dia pergibegitu saja saat aku masih menyimpan setuja pertanyaan untuknya.

Aku diam membeku di tempatku, sambil mencoba untuk memikirkan semuanya.Namun sia-sia.Tidak ada yang bisa kusimpulkan untuk saat ini.Jangankan berspekulasi, bahkan untuk membuat sebuah hipotesis saja aku tak bisa.Ini benar-benar rumit dan sedikit merusak moodku.Aku harus segera pulang.

****

"Sampai kapan kau ingin terus memanjakan Sychelles?"

Langkahku terhenti di balik tembok kamar Grace ketika aku mendengarnya berteriak sekeras itu. Aku lantas memilih untuk diam dan sedikit mengintip dari balik pintu kamarnya yang terbuka.Aku melihat Ibu sedang berdiri di depannya. Ah, apakah mereka berdua sedang bertengkar? Tentu saja.

"Grace, kendalikan dirimu.Dia adikmu!"Suara bentakan Ibuku terdengar begitu keras. Namun sepertinya itu tidak menyurutkan nyali Graceyang empat tahun lebih tua dariku. Kakakku yang satu itu terlihat begitu emosi.Aku bahkan tak pernah melihatnya semarah itu.Apakah ini karenaku?Apakah aku sudah melakukan sebuah kesalahan?

"Adik?" Grace tertawa dingin, itu membuat hatiku seperti ditusuk oleh pedang, nada bicaranya benar-benar menyakitu, seolah dia benar-benar jijik mengakuiku sebagai adiknya. "Bagaimana bisa kau menyuruhku menganggap bayi yang kau temukan di hutan ketika kita berlibur di Sychelles itu sebagai adik kandungku?Aku tidak pernah punya adik.Aku adalah Grace, dan Seychelles yang selalu kau manjakan itu.Bukan adikku!"

Rasanya seperti dilempar ribuan kilo mil jauhnya.Hatiku benar-benar hancur menjadi kepingan-kepingan luka yang hina.Aku meremas dadaku sendiri sambil merasakan kedua mataku mulai memanas.Jadi? Selama ini, Ayah dan Ibu berbohong padaku.

Jadi selama ini aku bukanlah putri kandung mereka?Aku hanyalah seorang anak yang ditemukan pada saat mereka berlibur ke Sychelles? Ibu berbohong padaku bahwa alasan mengapa aku diberi nama Sychelles adalah karena aku lahir di Sychelles, namun kenyatannya wanita itu tak pernah melahirkanku. Aku hanyalah bayimalang tanpa orang tua yang diadopsi oleh Ibu dan Ayah. Dan itu mengapa Grace selalu membenciku dan tak pernah memberikanku kasih sayang layaknya sepasang kakak dan adik.

"Kalian membohongiku,"

Aku bersuara dengan bibir yang gemetar. Aku juga bisa melihat ekspresi wajah Ibu dan Grace yang terkejut setengah mati menyadari kehadiranku.

"Sychelles, ini tidak seperti yang kau---"

"Cukup!"

Aku memekik marah. Air mataku terus mengalir deras sambil menggeleng dan ketika Ibu mencoba untuk mendekatiku aku buru-buru berbalik dan pergi menjauh. Aku berlari sekuat tenaga, tak mempedulikan suara Ibu dan beberapa penjaga rumah yang terus meneriakkan namaku, memohonku untuk tidak pergi.

Aku melewati pintu dan buru-buru menuju mobilku, menyalakan mesinnya dan menginjak gas dengan kuat.Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk pergi, ini benar-benar sebuah kenyataan yang menampar perasaanku begitu keras.Tidak ada yang bisa menghentikanku, bahkan hujan deras yang mulai turun juga tak mengentikan niatku.

Rasanya benar-benar sakit.Aku lantas mempercepat kecepatanku, melesat keluar dari jauh minggalkan lingkungan rumah yang menyakitiku.Aku bahkan sudah tidak peduli dengan pesta besar dan kejutan yang mungkin sudah disiapkan untukku sejak kemarin.Aku muak, aku benci.Aku terus mengerang frustasi sambil mengemudi tak tentu arah.Tanganku berkeringat dan air mataku masih terus mengalir membuat pandanganku tidak begitu jelas.

Aku meremas stir seolah ingin mematahkannya, ini semua sebagai bentuk pelampiasan emosi dan kekecewaanku. Bisa-bisanya mereka semua membohongiku selama tujuh belas tahun, membiarkan aku menikmati segalanya yang seharusnya tak kunikamti, membuat Grace merasa cemburu karena aku selalu mendapat kasih sayang lebih. Terkutuklah aku.

Sedari tadi ponselku terus berdering, aku hanya meliriknya tanpa ingin menyentuhnya, siapapun yang sedang menelfonku.Aku sedang tidak ingin diganggu.Persetan dengan rencana hari ulang tahun terhebat yang pernah ada.Aku benci hari ini.Aku benci.

Aku menginjak gasnya semakin dalam saat melewati jembatan panjang yang selalu ku lewati jika ingin pulang pergi sekolah. Suasananya selalu sepi, aku menatap lurus ke depan dan dan tak memperdulikan kaca mobilku yang sudah berembun. Mobilku terus melaju kencang membelah hujan.Air mataku terus mengalir membuat pandanganku semakin kabur, sehingga aku tak bisa melihat dengan jelas bahwa di depanku sedang ada tanda perbaikan jalan.

Jeritanku pecah saat aku tak bisa menggedalikan kecepatanku dan mobilku menghantam sisi jembatan. Aku merasakan tubuhku terbentur menghantam kaca depan mobilku dan entahlah. Aku merasakan mobil ini melayang, sepertinya jatuh ke sungai. Dan aku sudah tak bisa mengingat apa-apa lagi setelahnya selain sebuah hantaman keras yang memecah kaca depan mobilku. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya, kesadaranku lenyap dan semuanya gelap.

Apakah aku sudah mati?

*****

Kupikir aku sudah mati.

Aku mencoba membuka mata dan melihat beberapa wanita bergaun coklat dengan renda-renda putih di antara pinggangnya tengah menatapku sambil tersenyum.Di antara mereka ada seorang wanita paruh baya bergaun merah tua dengan mahkota perak di kepalanya sedang berdiri dan menatapku dengan begitu dalam.

Apakah ini Surga?

Itu adalah pertanyaan yang wajar karena aku benar-benar mengingat kejadian yang menimpaku di jembatan. Aku mengalami kecelakaan, dan sama sekali bukan mimpi. Justru, aku khawatir jika ini yang sebenarnya adalah mimpi.Aku menatapi ruangan dimana aku berbaring, ini bukan rumah sakit atau sejenisnya.Ini adalah sebuah tempat yang begitu sejuk dengan udara yang terasa berbeda, dinding tebal berwarna abu-abu pudar ini terlihat begitu asing, aku seperti kembali pada abad pertengahan.Tempat ini berasitektur Romanesque jaman dulu.

Tubuhku benar-benar lemah, bibirku seolah belum mampu untuk terbuka.Aku lantas mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan untuk meneliti lebih jelas lagi. Ini adalah sebuah ruangan yang mirip seperti kamar para putri terdahulu, aroma lavender menyeruak penciumanku, sejauh mata memandang aku hanya bisa melihat perabotan antik berlapis emas dengan bentuknya yang sangat aneh. Aku jadi merasa seperti berada di sebuah kerajaan kuno abad pertengahan. Sialan, tempat macam apa ini!

Spontan aku langsung bangkit dari kasur dalam posisi duduk, namun aku juga meringis kesakitan. Punggungku terasa seperti di tarik. Aku melirik lenganku, banyak luka memar disana. Detik beriktunya aku menyadari bahwa aku sudah tidak memakai baju yang kupakai terakhir sebelum kecelakaan itu. Pakaiank sudah berganti dengan kain lembut mirip seperti daster polos berwarna putih tulang yang membuat kulitku cukup nyaman.

"Reinkarnasi yang sempurna.Dia tidak kalah menarik dengan putri Elena. Benarkan, Jarvis?"Aku tersentak ketika sosok pria tiba-tiba muncul dengan kecepatan kilat dan berdiri di samping wanita paruh baya yang menatapku dengan senyuman misterius.Aku nyaris berteriak melihatfenomena itu, namun tubuhku masih terlalu sakit.Aku lantas menyadari bahwa aku penuh dengan luka.Mana mungkin seseorang di Surga masih bisa merasakan luka?Jadi, ini bukan Surga?Lalu siapa mereka?Apakah mereka manusia?

"Ugh. Dia bahkan lebih buruk untuk menjadi seorang gadis."Aku emosi mendengar ucapan pria berambut pirang itu.Apa? Sialan! Siapa pria itu sebenarnya! Apakah dia tidak tahu bahwa aku ini primadona di sekolah.Jika saja aku sedang tidak lemah, pasti aku sudah melayangkan pukulan keras di wajahnya.

Aku menatapnya dengan dingin, aku juga melihat wanita paruh baya itu justru tersenyum melihatku. "Jangan berkata seperti itu di depan Pangeran, Jarvis. Atau kau akan di hukum mati karena menghina seorang putri," ucap wanita itu dengan penuh peringatan namun ada sedikit bumbu humor dalam nada biacaranya.Entahlah, aku tidak mengerti dengan orang-orang ini.

Aku terkejut bukan main mendengar kalimat itu."Apa yang kalian katakan?Siapa kalian?Dimana aku?" semburan pertanyaan itu keluar dari mulutku.

"Ah, pertanyaan yang bagus, dan aku tidak suka berbasa-basi, dear," wanita paruh baya itu berjalan mendekatiku.Tatapan begitu tajam namun tenang, membuatku menelan ludahku berkali-kali.Kupikir aku harus menjaga jarak.Bulu kudukku merinding ketika tangan wanita paruh baya itu menyentuh lenganku.Ini gila.Tangannya begitu dingin.Bahkan lebih dingin dari mayat yang diawetkan.Aku membulatkan mataku saat fantasiku mulai berspekulasi tak jelas. Mahluk apa mereka sebenarnya?

"Mungkin kau terkejut.Tapi, ini adalah takdir, dear."Dia membelai rambutku lembut."Kami sudah menunggumu selama seratus tahun."Aku nyaris tersedak ketika mendengar kata 'seratus tahun'.Ingin rasanya aku memberontak dan berteriak, namun alih-alih demikian, aku malah tak bisa berbuat apa-apa.Aku takut.Tentu.

"Jangan takut, dear. Kami tidak akan menyakitimu disini. Ikuti saja aturannya. Kau akan menikah dengan Julian dan lahirkan tujuh orang anak untuk membebaskan jiwa ketujuh putri dari kerajaan Ognelion. Hanya itu.Sangat mudah bukan?"Sangat mengejutkan tepatnya."Dan setelahnya kau bisa kembali ke dunia asalmu, jika kau mau."

"Apa?" aku terkejut dengan suaraku sendiri.Apa? Menikah dengan Julian? Siapa Julian?Aku lantas menggeleng namun mendadak wanita paruh baya itu menatapku dengan dingin sehingga membuatku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Di sudut sana, aku diam-diam melirik pria yang mengataiku tadi. Dia bukanlah pria bernama Julian, aku tahu itu, aku sempat mendengar ketika wanita paruh baya ini memanggilnya dengan sebutan Jarvis.Baik, aku mendapatkan satu informasi yang sebenarnya tidak penting.

"Julian begitu ingin menjagamu.Dia sampai harus melanggar hukum perbatasan antar dunia selama satu minggu untuk mengawasimu secara langsung."Lagi-lagi ia menyebutkan nama Julian. Menjagaku?Mengawasiku secara langsung?Aku benar-benar gila.

"Ohya, aku adalah Lavina Moss Voldent, pemimpin sementara kerjaaan ini, setidaknya sampai Julian Archie Voldent anakku kesayangku menikaimu, dan yang di sebelah sana adalah Jarvis Kurt Neely.Dia sedikit memang sedikit menyebalkan," ucapnya sambil melirik pada pria yang tadi mengataiku.Aku setuju sepenuhnya dengan itu.Jarvis memang menyebalkan.

Jadi?Dia adalah seorang Ratu? Tidak mungkin! Aku diam-diam mengigit lidahku dan meringis diam-diam saat merasakan sakit.Ini bukan mimpi.Ini kenyatan. Dan sepertinya aku sedang tidak berada di duniaku. Mendadak aku teringat akan percakapanku dengan Jayce waktu itu. Apakah ini yang ia ceritakan? Apakah inilah tempat yang bernama Bixon? Sial! Bagaimana bisa aku terjebak di dunia ini.

"Dan satu lagi," ucapan Lavina membuatku merinding.Ia menyeringai padaku dengan sangat dingin namun tenang, sepasang bola matanya mengingatkanku pada pria misterius yang menolongku dua kali. Lavina menarik nafas pelan lalu berbisik, "Selamat datang di Bixon, Sychelles."

Awalnya kupikir semua ini hanyalah mimpi buruk.Namun aku salah.Ini semua ternyata adalah kenyataan.Kenyataan yang paling aku benci dari pada hanya sekedar tahu bahwa aku bukanlah anak kandung dari keluarga Maxwell.Mungkin itu yang membuatku sedikit tidak membertontak ketika berada disini. Aku butuh jarak dengan keluargaku, dengan kehidupanku setelah semua apa yang terjadi, meskipun terkadang keinginan untuk pulang itu ada.

Aku tidak pernah keluar dari kamar ini selama hampir satu minggu, para pelayan dengan aksen kuno itu datang dan membawakanku makanan setiap harinya. Tak banyak yang bisa kulakukan selain mandi, makan, tidur atau duduk di depan jendela raksasa sambil menatap hamparan hutan lebat dan langit mendung dengan kilatan-kilatan cahaya petir yang selalu membuatku gemetar.Selain itu, Ratu Lavina juga sering datang dan mulai menceritakanku tentang Bixon dan isinya.Dia menceritakan padaku tentang sebuah kisah bersejarah yang ada hubungannya denganku.

Bixon adalah sebuah dunia yang ada di bumi yang sudah ada sejak sepuluh ribu tahun yang lalu.Letaknya sangat sulit dijangkau oleh siapapun.Mereka membuat perbatasan yang begitu sempurna.Dahulu kala, sebelum manusia benar-benar sempurna, ada sebuah pedesaan yang penduduknya memiliki kekuatan sihir dan mereka memutuskan untuk membangun kerajaan rahasia ini untuk mempertahankan Klan mereka.Faktanya, mereka yang berada disini memang bukanlah mahluk biasa.Masing-masing mahluk memiliki kekuatan yang berbeda-bedam tergantung wilayah dan keturunan.Dan saat ini aku berada di dalam kerajaan Voldent.Kerajaan yang dimana petir selalu terdengar, bagaimana tidak?Kerjaan ini adalah milik para pengendali petir yang menakutkan. Mereka bisa membunuh hanya dengan satu kali kedipan mata. Percaya atau tidak, aku ingin sekali mereka membunuhku, setidaknya dengan kematianku, aku tidak perlu tertekan dan trauma lagi berada di tempat yang tak pernah sepi dari gemuruh petir.

Tapi, aku tahu mereka takkan melakukan itu. Mereka bilang,aku adalah rekarnasi jiwa kedua dari putri Ellena. Awalnya aku tentu bingung.Namun, sang Ratu lalu menceritakanku tentang sebuah kisah yang sangat membuatku terkejut.

Dahulu, di bagian utara negeri ini terdapat sebuah kerajaan yang bernama Ognelion.Sebuah kerajaan yang begitu menunjunjung tinggi perdamaian.Kerajaan itu tidak terlalu besar, namun penduduknya benar-benar tidak pernah merasa kekurangan disana.Penduduknya merupakan campuran antara manusia istimewa dan para peri.

Raja Holt Maynard Ognelion adalah pemimpin tertinggi yang sangat disegeni disana.Ia memiliki seorang istri yang sangat cantik bernama Kelney Raymond. Namun, sayangnya pasangan itu tidak memiliki keturunan sama sekali.Ratu Kelney mandul, dan itu membuatnya merasa sedih. Sehingga suatu hari ia, tanpa sepengetahuan suaminya, ia pergi ke Degion, salah satu tempat yang paling ditakuti di Tanah Bixon.

Degion adalah sebuah kerajaan yang penduduknya didominasi oleh para pemuja iblis.Mereka percaya bahwa iblis adalah penguasa tertinggi di dunia. Iblis bisa melakukan apa saja, merubah hal tidak mungkin menjadi mungkin hanya dalam hitungan detik. Dan untuk alasan itulah Ratu Kelney datang dan membuat perjanjian sakral dengan para Iblis.

Yang dimana perjanjian itu berisi, jika nanti Kelney sudah memiliki anak, maka ketika anak itu berusia 17 tahun, anak itu harus di kirim ke Degion sebagai timbal balik. Jika yang lahir adalah seorang pria maka anak itu harus mau untuk dijadikan budak seumur hidup, namun jika yang lahir adalah seorang gadis.Maka gadis itu harus mau menjadi selir dari Raja Rodman, penguasa tertinggi di Degion.

Kelney tak memiliki banyak pilihan, ia menyetujui perjanjian di bawah bulan purnama itu. Beberapa minggu setelah perjanjian itu di buat, sang ratupun hamil. Raja Holt sangat antusias mendengarnya. Namun kepuasan itu seolah memudar ketika mengetahui anak yang dilahirkan oleh sang Ratu adalah seorang perempuan. Raja menginginkan seorang putra, untuk mewarisi tahtanya kelak. Untuk itu, setiap tahun ia membuat sang ratu melahirkan. Namun pada kenyataannya, semua bayinya perempuan, itulah yang terjadi setiap tahunnya.Sampai pada kali ke tujuh, di malam Putri Ellena dilahirkan, kabar buruk terdengar.Sang Raja mengalami serangan jantung secara tiba-tiba dan itu membuatnya merenggang nyawa pada malam yang sama saat dimana Ellena dilahirkan.

Sang Ratu terpukul akan kenyataan pada waktu itu, dan pada akhirnya ia harus mengurus ke tujuh putrinya seorang diri. Olivia, Destine, Yadeline, Lizzie, Irena, Nelsie dan Ellena tumbuh menjadi gadis-gadis yang sangat istimewa, semuanya memiliki kemampuan khusus yang luar biasa. Dan dikaruniari kemampuan yang berbeda-beda, seperti Olivia yang pandai mengendalikan suhu dingin, Destine bisa mendatangkan matahari, Yadeline yang pandai berkuda, dan seterusnya. Namun sayangnya, putri terakhir Ellena seperti tidak memiliki kemampuan apapun. Ellena selalu sedih memikirkan itu, Sang Putri terus mencoba mencari cara untuk menemukan kemampuannya, namun sia-sia.

Waktu berjalan begitu cepat. Putri pertama, Olivia sudah memasuki usia ke tujuh belas. Sang Ratu selalu teringat akan janjinya pada sang Iblis. Dengan berat hati, setiap tahunnya ia selalu mengadakan pesta kejutan palsu untuk para putrinya yang akan menginjak usia tujuh belas tahun. Waktu itu, Putri Olivia dijanjikan akan diantarkan ke sebuah tempat yang indah, namun semenjak kepergian Putri Olivie dari Istana. Ia tak pernah kembali. Kejadian serupa terus berulang pada putri-putri berikutnya.

Namun pada saat giliran Ellena yang menginjakkan usia 17 tahun. Sang ratu merasa sangat tidak rela karena Ellena adalah satu-satunya hal yang ia miliki. Maka malam itu, Sang Ratu pergi ke Voldent dan meminta perlindungan.Ia meminta salah satu pangeran yang ada disana untuk menikahi Ellena dan melindungi putrinya. Sang Ratu tahu bahwa Voldent adalah yang terkuat di Bixon. Meskipun mereka yang ada di Voldent bukanlah manusia sepenuhnya, mereka adalah para penggendali petir.

Para Iblis mendengar hal itu, mereka merasa begitu dikhianati, mereka marah dan memutuskan untuk berperang.Pesta pernikahan Putri Ellena dan Pangeran Ingneras waktu itu gagal total.Meskipun pasukan Voldent pada akhirnya mampu mengusir para Iblis, namun pada kenyataanya, Pangeran Ingneras kehilangan nyawanya malam itu, sementara itu Ellena terluka parah, sebuah panah menancap di dadanya. Dan pada hari itu juga, di detik-detik kepergiannya, entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja Ellena tahu bahwa sebenarnya ia memiliki kemampuan yang sama seperti saudara-saudaranya yang lain. Sebelum Ellena benar-benar meninggal, ia sempat membuat sumpah untuk membebaskan jiwa ke enam saudaranya. Ia bersumpah akan bangkit kembali dengan jiwa keduanya seratus tahun lagi. Dan itulah kemampuan Putri Ellena yang sesungguhnya, ia bisa membangi jiwanya menjadi dua.

Dan dengan kata lain, Putri Ellena belum mati sepenuhnya. Sebagian jiwaya masih hidup dalam diriku.Aku nyaris tidak percaya dengan semua kenyataan ini.Bagaimana bisa aku memikul semua ini sendirian.Aku masih tujuh belas tahun dan aku tak bisa disamakan dengan seorang Putri istimewa 100 tahun lalu.

Memikirkan waktu seratus tahun, aku sedikit ngeri apalagi ketika mendengar penjelasan dari para pelayan bahwa para pengendali petir itu akan selalu awet muda karena mereka telah Everlasting Liquid. Aku semakin tidak mengerti dengan keadaan ini.

"Kau sudah terlihat semakin baik?Mungkin aku harus memberitahu Julian tentang keadaanmu," ucap Jarvis padaku.Ohya, aku lupa mengatakan bahwa Jarvis setiap hari pasti masuk ke kamar ini. Entah untuk apa. Biasanya tak lebih dari lima menit lalu ia keluar, seperti seorang dokter yang sedang mengecek perkembangan kesehatan pasiennya.

"Tunggu," ucapku pelan.

Jarvis berhenti dan berbalik dengan cepat.Aku sudah tidak terlalu terkejut dengan kecepatannya itu. Dia menaikan alis seolah menungguku melanjutkan pembicaraan.

"Memangnya Julian dimana?Kenapa dia tidak menemuiku?"Astaga.Aku tidak percaya telah menanyakan hal konyol ini. Seolah-olah aku begitu penasaran dengan sosok Pangeran Julian yang digadang-gadang akan menikahiku nanti.

Jarvis tertawa licik."Kau gila?Dia harus menjalani hukuman di Dark Pierson karena melanggar hukum perbatasan dunia, dia sedang menjalani pemulihan sekarang.Hukuman itu membuatnya nyaris mati." jelasnya dengan kepala menggeleng.

Mataku menyipitkan mataku, keningku berkerut saat pikiranku semakin meyakinkan dugaanku bahwa pria misterius yang menolongku dulu adalah Julian.Lantas aku mencoba untuk berdiri dari ranjangku, meskipun lututku masih terasa sakit.Aku lalu berjalan mendekati Jarvis."Kenapa?Kenapa dia melakukan itu?" tanyaku dengan mata yang menyipit.

Aku kesal karena Jarvis tiba-tiba saja bergerak begitu cepat, aku mengikuti bayangannya yang teryata kini dia sudah duduk di atas sebuah lemari emas raksasa sambil menguyah sebuah apel.Ia memotong apel itu menjadi dua hanya dengan menggunakan jarinya yang memunculkan seperti garis-garis listrik biru tua yang terlihat seperti benar kusut.

"Tentu saja karenamu.Dia begitu ingin mengawasimu secara langsung walaupun pada dasarnya dia bisa mengawasimu dari dunia ini.Dia juga yang membawamu kesini, padahal sebenarnya kami bisa menghipnotismu dan membuatku pergi ke tempat ini sendiri tanpa harus melanggar batasan."Aku terkejut mendengar penjelasan Jarvis.Benarkan?Pria misterius itu Julian.

Aku lantas menatap Jarvis dengan tajam."Lalu apa yang akan terjadi dengannya?Kapan dia pulang?" tanyaku gemas.Bahkan aku mungkin terdengar seperti seorang Ibu yang cemas karena anaknya tak kunjung pulang.

"Banyak.Dibakar, dibacakan mantra pengkuhum.Atau mungkin hanya dicambuk dengan besi panas."Penjelasan Jarvis barusan membuatku mengeduk ludah dalam-dalam.Kenapa Julian bertindak bodoh seperti itu?"Dia sudah pulang sejak kemarin.Sekarang dia masih berada Recovery Room.Mungkin nanti malam dia sudah pulih.Entahlah." Jarvis menggedikkan bahu tak peduli.

Tak ada yang ingin kutanyakan lagi, bersamaan dengan itu aku melihat sosok Jarvis yang berubah menjadi gumpalan asap hitam yang wujudnya mirip seperti para Dementor di film Harry Potter itu tiba-tiba melesat pergi lewat jendela kamar.

Semuanya sudah jelas.Julian memang orang yang menolongku dulu.Mengapa dia melewati perbatasan hanya untuk diriku?Aku semakin penasaran dengan sosoknya.Dia terlihat begitu dingin, tapi kenapa dia ingin menolongku?Kuharap aku bisa bertemu secepatnya dengan Julian untuk membicarakan hal ini.

_______________________

Okay, makasih udah mau baca. Maaf kalo ceritanya kurang menarik :(
Tapi tinggalin komen dan voteya, ntar gue lanjutin as soon as possible :D

Continue Reading

You'll Also Like

716K 34.9K 38
Menjadi istri dari protagonis pria kedua? Bahkan memiliki anak dengannya? ________ Risa namanya, seorang gadis yang suka mengkhayal memasuki dunia N...
1.9M 82.3K 47
kecelakaan saat balapan yang ternyata sudah di rencana kan sejak awal oleh seseorang, membuat jiwa Elnara terlempar ke dalam tubuh Kinara yang ternya...
901K 87.1K 30
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
3.5M 357K 58
Bukannya pergi ke alam baka setelah insiden penembakan yang ia alami, namun pada saat membuka mata, pemandangan yang pertama kali dilihatnya adalah w...