Bagian 19 (Covenant)

7.7K 965 105
                                    


Dingin.

Sangat dingin.

Dinginnya mengingatkanku ketika pertama kali aku masuk ke kamar Julian. Aku merasa seperti berada di dalam kulkas dan tubuh manusiaku ini pasti akan membeku jika berlama-lama di sini. Aku berusaha menyamarkan suara menggigilku karena aku tak ingin berhenti lagi, aku ingin segera sampai ke tempat yang Noland ceritakan padaku.

Kami harus berjalan kaki memasuki sebuah lorong bawah tanah dengan cahaya merah redup yang menempel di dinding. Noland berjalan di sampingku, dia tampak begitu tenang sampai akhirnya aku tak sengaja mendesis lebih keras karena hembusan angin dingin itu lagi-lagi menerpa punggung dan leherku.

Noland menoleh lalu menyipitkan matanya. "Kau kedinginginan?"

"Justru aku yang bertanya, mengapa kau tidak?" Ucapku sambil mengusap-usap sendiri lenganku.

Kerutan di dahi Noland semakin jelas, "bukannya kau sudah memiliki kekuatan? Seharusnya kau bisa menahan ini?" Kami masih terus berjalan dengan langkah sedang.

"Kekuatanku banyak terserap ketika aku melahirkan," ucapku jujur. Itu benar. Semenjak melahirkan, aku merasa tidak sekuat dulu, kekuatanku melemah, hanya sedikit yang tersisa, itupun tak maksimal. Aku tak bisa menyerang apalagi bertahan, yang kubisa hanyalah bermain-main dengan tumbuhan, seperti saat aku memperbaiki tumbuhan yang rusak akibat perang.

Entah bagaimana cara mengembalikannya. Jujur saja, aku membutuhkan Lady Cara. Entah itu yang asli atau yang palsu, setidaknya, dia harus berada di sini untuk membantuku mendapatkan kembali kekuatanku.

"Kau sudah minum Cairan Keabadian, seharusnya itu juga berdampak bagi fisikmu."

"Aku bahkan tak tahu bentuk dan rasanya seperti apa."

Tiba-tiba saja Noland menahan tanganku, dia menghentikan langkah kakinya. Aku mendongak dan menatap heran. "Ada apa?"

"Tidak, Sychelles. Kau tidak bisa melakukan ini, kau tidak akan berperang jika dengan kekuatan yang seadanya," ujar Noland padaku.

"Apa yang kau bicarakan? Kau tidak boleh berhenti menolongku. Kita sudah hampir sampai. Jangan berfikir untuk berubah pikiran." Kini aku menyesal telah mengaku bahwa tentang Cairan Keabadian itu. Persetan dengan Cairan itu, aku tak peduli lagi dengan keabadian, yang kupedulikan saat ini adalah berakhirnya perang.

"Apa kau sudah tidak waras, Sychelles?" Nafas Noland naik turun. "Mereka masih memiliki The Highest Volcano, gunung api tertinggi di Bixon, sumber kekuatan mereka. Jika Voldent memutuskan untuk meledakkan gunung itu, bukan hanya kita saja yang habis. Tetapi, seluruh Bixon!" Perkataan Noland sukses membuatku merinding. Dia sedang tidak menakutiku, dia memperingatkanku. Peringatan keras.

Aku menggigit bibir bawahku dan menggeleng lembut. "Untuk itu, aku membutuhkanmu. Kita pasti bisa mengakhiri semua ini. Aku berjanji, jika kita semua bersatu, kita pasti bisa mengalahkan mereka. Bukannya api akan selalu kalah dengan air?" Tanyaku dengan nada mengiba. Apapun akan kulakukan untuk seluruh tujuanku, meski menjatuhkan harga diriku di depan Noland.

Noland termenung sejenak. Rahangnya yang tadinya mengeras kini melunak, nafasnya mulai tenang dan sesekali dia memejamkan matanya, berusaha menghindari tatapan memohonku. Terlihat jelas bahwa ia tak tahan melihatku mengiba. "Kau benar, Sychelles. Api akan kalah dengan air.Tetapi, mereka menghasilkan terlalu banyak api, kita membutuhkan lebih banyak air, aku tak bisa melakukannya sendirian." Noland menundukkan kepalanya.

"Lalu?" Tanyaku lirih.

"Makanya kubawa kau ke sini, untuk menemui seseorang." Noland lalu memegang tanganku, menuntunku untuk melangkah lagi lebih jauh, menuju pada sebuah cahaya merah gelap yang membuatku penasaran.

The Last SaverWhere stories live. Discover now