Bagian 21 (The War II)

10K 1.1K 188
                                    

Vote dulu aja, kali aja Sychelles gak bakalan mati. 1 vote satu do'a untuk Sychelles *eh maap.


****


Tangisan Sheryl makin terdengar jelas setiap detiknya. Julian masih menggengam erat tanganku dan membimbingku berlari melewati belokan-belokan yang cukup membingungkan ini. Suara petir, jeritan, dan letupan api terdengar dari luar sana.

Sesekali lantai yang kami pijaki bergetar, dinding bangunan ini serasa akan runtuh, debu-debunya menjatuhi kami.

Pelarian kami terhenti pada sebuah dinding raksasa yang kokoh, dinding berlapis baja hitam dengan ukiran sepura kobaran api menghiasinya. Suara Sheryl berasal dari balik dinding itu. Kini aku menatap Julian dengan penuh penyerahan, kuserahkan keputusan padanya.

Julian membuang nafas pelan lalu melepaskan genggaman tangan kami.

"Mundurlah sejauh mungkin, aku akan menghancurkannya," perintahnya tegas.

Aku mengangguk, perlahan mundur, menyerahkan seluruh kepercayaanku padanya.

Aku mundur sejauh mungkin, entah seberapa jauh, aku berlindung pada sebuah pilar raksasa. Sesekali aku mengintip, melihat Julian yang tengah menggerakkan kedua tangannya dengan gerakan memutar yang teratur. Bersamaan dengan itu, cahaya biru tengah mulai terpancar dari kedua lengannya. Membentuh beberapa kilatan petir yang membuatku takjub sekaligus takut.

Perlahan, Julian mengarahkan kedua tangannya ke depan pintu hingga cahaya itu mengenai bagian tengah dari pintu berlapis baja itu. Julian mengerahkan seluruh tenaganya, kulihat dia mulai mengerang karena kewelahan. Sepertinya pintu itu juga telah dilapisi mantra penghalang yang cukup kuat. Lalu timbul keinginanku untuk membantunya.

"Tetap di sana, Sychelles!" Bentakannya menghentikan kakiku yang baru saja ingin mencapai langkah kedua.

Aku menggeleng, kebingungan, aku sudah tak tahan melihat penderitaanya. Oleh karena itu, aku tetap keras kepala dan tetap memutuskan untuk membantunya.

Tetapi, ketika aku mencapai langkah ke lima, tiba-tiba saja terdengar suara retakan yang cukup keras. Mataku membulat menatap pintu baja yang ada di depanku berubah seperti kertas kusut dan semakin tertekuk-tekut.

Kuperhatikan tangan Julian yang bergerak seperti tengah berusaha mencengkram sesuatu.

"Julian!" Aku memekik ketika kulihat darah mulai keluar dari telapak tangannya. Darahnya mengalir keras hingga tetesannya mengotori lantai. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan. "Julian, hentikan!" Teriakku sambil menggeleng, aku berdiri tepat di belakangnya, menatapnya dengan penuh kekhawatiran.

Telinganya seolah tuli, dia tak menghiraukanku sama sekali. Sampai akhirnya aku tak bisa menahan diri lagi, aku berlari mendekat dan menarik tubuh Julian ke belakang, bersamaan dengan runtuhnya dinding besi itu.

Tubuhku dan Julian terhempas jauh ke belakang, debu dan asap pekat mendadak menghalangi pengelihatan kami. Kedua tanganku masih memeluk bagian leher dan kepala Julian dari reruntuhan.

Nafas kami berderu kencang, kutatap Julian yang masih tampak terkejut. Darah yang berasal dari telapak tangannya kini melekat di gaunku.

Kami tidak saling bertanya tentang keadaan karena kami paham bahwa jika kami masih bisa bernafas, itu artinya tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan. Aku sadar bahwa Julian merupakan seorang Volter, luka ini takkan mengganggunya. Begitupun Julian yang sudah mulai menyadari bahwa aku bukanlah manusia biasa lagi, aku memiliki kekuatan sama sepertinya. Aku bisa melindungi diriku, aku bisa bertahan jauh lebih kuat dari biasanya.

The Last SaverWhere stories live. Discover now