Bagian 14 (The Crown)

12.6K 1.2K 202
                                    



Memikirkan kenyataan bahwa perjuanganku masih panjang membuatku terkadang takut sendiri. Aku takut tak bisa bisa melewati semua ini. Selalu teringat dalam benakku akan usiaku yang masih sangat belia. Bagaimana bisa gadis 17 tahun mengalami semua ini? Sebenarnya, satu-satunya yang mampu membuatku bertahan di sini hanyalah Julian.

Dia seperti sebuah kekuatan yang terus tumbuh dalam diriku. Bagaikan api yang terus membakar keraguanku. Caranya menatapku, caranya berbicara denganku, caranya menyentuhku membuatku merasa sangat dibutuhkan. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi bila aku tak mengenal Julian. Aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi jika aku tak bersamanya? Apakah aku akan sekuat ini?

Semakin ke sini, aku semakin bisa merasakan kebenaran atas ucapan Merine bahwa sebenarnya aku dan Julian memang ditakdirkan untuk bersama. Kami sudah bersama sekarang. Namun, hanya ada satu pertanyaan di kepalaku. Apakah kami akan bersama selamanya?

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

Aku yang tadinya tengah melamun sambil menatap langit-langit atap, seketika menoleh ke kanan, menemukan wajah penasaran Julian. Matanya masih sedikit menyipit, dia baru terbangun dari tidurnya.

Kubalikkan tubuhku, hingga aku dapat melihat separuh dari dada telanjangnya yang tidak tertutup selimut. "Entahlah. Aku sendiri juga tak tahu," jawabku apa adanya.

Julian lalu menarikku untuk sedikit lebih merapat ke tubuhnya, hingga pipiku menempel di dadanya. Kurasakan dagu lancipnya bertengger di atas kepalaku. "Aku tahu kau gelisah memikirkan semua ini." Detak jantung Julian terasa begitu tenang, aku bisa mendengarnya.

"Aku akan baik-baik saja." Ucapan itu bukan hanya untuk menenangkan hati Julian, tapi juga hatiku.

"Pasti." Julian menarikku lebih rapat lagi, dia mendaratkan bibirnya tepat di keningku.

Entah mengapa aku selalu menyukai ketika dia melakukan ini. Kecupan di kening terasa begitu tulus dan penuh kasih sayang. Hal itu selalu berhasil membuat hatiku menghangat. Jika boleh meminta, aku ingin sekali begini setiap harinya.

"Kita harus mandi." Julian lalu menjauhkan dirinya. Dia cepat-cepat bangkit dari tempat tidur sambil memakai celananya.

Nafas kecewaku berhembus begitu saja. "Di sini tidak ada kamar mandi." Aku duduk di ranjang sambil masih memegangi selimutku menutupi dada.

Julian menoleh padaku sembari memungut pakaiannya bangsawannya yang tercecer sekitaran ranjang. "Aku tahu. Tidak ada yang mengatakan kita akan mandi di sini."

Aku menaikan alis. "Kita akan kembali ke istana?"

Bukan seperti pertanyaan, melainkan protes karena sejujurnya aku lebih menyukai tempat ini dari pada istana. Terlalu, banyak hal yang tak kusukai di sana. Kenangannya dengan Elena salah satunya.

"Daripada kau terus bertanya, lebih baik kau bergerak," ucapnya sambil memakai sebuah kaos tanpa lengan sehingga otot-otot lengannya terlihat jelas. Julian memungut gaunku lalu melemparkannya ke ranjang.

Aku sedikit cemberut mendengarnya, namun aku tak membantah. Baru berapa detik dia begitu manis, sekarang dia berubah lagi menjadi pria yang menyebalkan. Aku meraba-raba gaunku dan perlahan memakainya, dengan malas.

Mengapa sikap manisnya itu tidak bisa bertahan lama?

"Sudah?" Dia bertanya saat sudah terlihat bosa menunggu.

The Last SaverOnde as histórias ganham vida. Descobre agora