Bagian 8 (Out of Control)

14.9K 1.2K 153
                                    

 "Berhentilah menuntut, berhentilah mendominasi, kalian berdua harusnya saling melengkapi." -Jarvis

*****

Aku lalu memaksaan diri bangkit dari tempat tidur, dan baru sadar bahwa pakaianku sudah terganti dengan pakaian kering yang cukup hangat. Aku menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhku dan mengampiri Julian untuk dapat melihatnya lebih dekat.

Ternyata dia tidak tidur, hanya berbaring dan melirikku tanpa berkata apapun.

"Julian apa yang terjadi?" tanyaku yang berdiri di sampingnya.

Julian mendesah pelan dan membuang wajahnya. "Bisakah kau diam saja? Aku baru saja melakukan teleportasi saat membawamu kesini, jadi tenagaku nyaris habis." Suaranya terdengar serak, seperti orang yang sedang terkena radang tenggorokan.

Jadi? Dia melakukan teleportasi saat membawaku kembali. "Kenapa kau melakukan itu?" tanyaku dengan mata yang menyipit, perlahan aku duduk di lantai hingga aku bisa semakin jelas mendengar suaranya. Kini posisi kami sejajar. Rasa penasaranku membuatku mengabaikan permintaannya.

Julian masih enggan menatapku, dia sempat menimbang untuk menjawab pertanyaanku sebelum akhirnya dia mau membuka mulut. "Jika aku tidak melakukan itu, kau bisa mati kedinginan," jawabnya dengan nada datar. Aku tak menyalahkan jika dia kesal padaku.

Caranya bersikap seolah menandakan betapa ia sebenarnya kecewa padaku namun dia berusaha menutupinya. Itu justru membuatku semakin merasa bersalah. "Maaf, aku tidak tahu akan berakhir seperti ini," ucapku seperti anak kecil yang tidak sengaja memecahkan vas bunga. Terkadang aku meninju diri sendiri atas segala kebodohan yang ku lakukan.

Ucapanku berhasil menarik perhatiannya. Kali ini Julian mau menatapku. Dan entah mengapa dia langsung berusaha untuk bangkit dari posisi berbaringnya ke posisi duduk dengan perlahan sambil meringis samar seolah dia menahan sakit. Aku mendongak saat dia menarik tanganku, memaksaku untuk duduk di sebelahnya. Dan bagaikan sebuah boneka yang digerakan oleh pemiliknya, aku sama sekali tidak melawan.

Kini kami berdua duduk bersampingan sementara aku masih enggan mengangkat kepalaku. Aku masih takut. Takut jika Julian akan membentakku.

"Katakan padaku, kenapa kau pergi dari istana tanpa ijin? Apa karena bosan atau kau ingin mencariku?" tanya dengan penuh selidik. Aku senang Julian mulai mau bertanya.

Aku menarik nafas pelan. "Keduanya bisa jadi benar," jawabku jujur. Aku lalu meliriknya yang hanya memakai pakaian dalam mirip singlet. "Dan kenapa kau pergi tanpa memberitahuku? Apa kau memang sibuk dengan urusanmu atau kau menghindariku?" kini aku yang penasaran.

Julian mendesah. "Keduanya bisa jadi benar," jawabnya dengan santai. Dia menjiplak jawabanku rupanya.

Aku mengigit bibir bawahku. "Tapi kenapa? Kenapa menghindariku?" tanyaku lebih terdengar seperti mendesak. Kini aku semakin berani menatap sepasang iris mata emasnya yang memabukkan.

Julian juga menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan seolah dia masih berfikir untuk menjawabku. "Aku hanya tak mau melukai perasaanmu...." Lalu ia berdehem samar. "... setiap kali kita bersama, akan selalu berakhir dengan air mata atau ketakutanmu. Aku benci itu." Perkataannya mengalir lembut seperti hembusan angin musim dingin yang menusuk tulang.

Kalimatnya menghantam salah satu bagian penting dalam diriku, aku menarik nafas, mencerna ucapnnya dengan baik. Merenung untuk beberapa detik. Spontan aku membasahi bibir bawahku, mulai menyadari bahwa apa yang dikatakan Julian memang benar. "Aku..." aku meremas tanganku sendiri, bingung harus melanjutkan kalimat. "... aku tidak bermaskud begitu." Aku gelisah seperti seorang gadis yang kedapatan mencuri.

The Last SaverWhere stories live. Discover now