Bagian 2 (Meeting Julian)

17.6K 1.5K 77
                                    

Satu minggu sudah aku terjebak di dunia yang belum kupahami ini. Aku benci mengakui ini, namun kupikir aku sudah mulai terbiasanya dengan suara petir yang terkadang terdengar begitu keras di tempat ini. Aku juga sudah mulai berani berjalan menuju ke jendela kaca besar yang ada di kamarku, tanpa berani membuka tirai terlalu lebar. Setidaknya dari celah kecil itu aku bisa melihat bagian luar dari Istana ini, meskipun pada kenyataannya tak ada pemandangan lain yang bisa memanjakan mataku selain bentangan hutan belantara yang begitu mengerikan.

Maksudku, siapa yang mau datang ke sebuah hutan yang bahkan terlihat jauh lebih mengerikan daripada 'Hutan Terlarang' dalam film Harry Potter. Sejauh mata memandang hanya ada kumpulan pohon-pohon raksasa lebat yang beratapkan langit mendung dengan tambahan kilatan-kilatan petir. Bagi gadis awam sepertiku, sangat sulit untuk membedakan waktu antara siang dan malam di sini. Aku jadi sering bertanya dalam hati, bagaimana semua pohon itu bisa tumbuh lebat tanpa sinar matahari yang bahkan nyaris tak pernah membelai kulitku selama aku di sini?

Apakah tanaman ini tidak berfotosintesis?

Well, bukankah aku menjadi terlihat seperti orang bodoh yang selalu menghabiskan hari-harinya untuk bertanya namun tak bisa menemukan jawaban?

Itu benar.

Aku memang orang bodoh, di dunia ini. Bixon Land. Dunia yang masih belum sepenuhnya kupahami.

Namun mungkin aku tidak akan terlihat bodoh jika saja mereka mengizinkanku untuk keluar dari kamar sialan ini. Tidakkah mereka tahu bahwa aku juga butuh udara segar? Meskipun aku tahu bahwa ini dunia ini tak memiliki harum embun seperti di jendela kamarku yang dulu.

Oh, ayolah.

Apakah aku baru saja merindukan rumah?

Tidak. Tidak secepat ini. Aku masih terguncang oleh kenyataan di dunia asalku. Aku masih butuh penjelasan tentang semua kejadian spektakuler yang aku alami sebelum memutuskan bahwa aku akan pulang ke rumah, atau tidak.

Dan soal keluargaku, aku tak tahu secara pasti reaksi mereka mendengar tentang kecelakaan yang menimpa diriku di hari ulang tahunku. Aku tak tahu seberapa terkejut perasaan orang-orang yang mengenalku saat tahu bahwa seorang Sychelles, mengalami kecelakaan dan meninggal tepat pada hari ulang tahunnya.

Benar-benar sebuah tragedy yang menyedihkan, karena pada kenyataannya aku belum mati. Aku masih ada, hidup dan bernafas, hanya saja aku berada di dunia yang berbeda, semacam dimensi asing yang tak pernah terbayangkan sama sekali dalam otakku.

Julian memalsukan kematianku dengan begitu rapi. Dia bahkan mendapatkan jasad lain yang ciri fisiknya hampir mirip denganku. Dan dengan kata lain statusku di dunia nyata sudah benar-benar mati. Aku mendapatkan semua informasi ini dari Jarvis beberapa hari setelah aku sadar. Jarvis kadang-kadang memang menyebalkan, aku baru tahu bahwa ternyata dia adalah sepupu Sang Pangeran, namun meskipun begitu, si pemuda usil itu merupakan teman pemberi informasi yang baik.

"Sychelles."

Aku menoleh dari posisi berdiriku menatap jendela hingga menemukan Ratu Lavina dengan wajah ketus serta senyum palsunya menyapaku. Dia adalah tipikal wanita yang dingin dan tegas, entahlah, aku hanya menebak dari caranya berpakaian. Dia senang menggunakan gaun dengan begitu rapi, tali gaun yang ada di punggungnya juga selalu terikat dengan seimbang seolah melambangkan dia adalah pribadi yang menuntut sebuah kesempurnaan.

Aku berusaha untuk membalas senyumnya. Memangnya apa yang bisa kau lakukan jika kau sedang berada di depan seorang wanita anggun dan bisa membunuhmu hanya dengan satu sentuhan saja? Ratu Lavina adalah seorang Volter, seorang pengendali petir, atau apalah, intinya, ujung jari-jarinya bisa mengalirkan aliran listrik yang mampu membakar habis kulitku. Jujur, aku sedikit takut.

The Last SaverWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu