Bagian 13 (Meets Elena)

13.2K 1.3K 195
                                    


            Waktu terus bejalan, terkadang lambat, terkadang terasa begitu cepat. Aku bahkan nyaris tak menyadari perubahan fisik yang selama ini kualami. Aku semakin kurus dan mudah berkeringat. Warna pucat di bibirku telah menjadi hal yang paling layak atas penampilanku setiap harinya. Aku tak tahu pasti sudah berapa lama aku berada di sini. Sudah berapa lama aku hidup di bawah istana yang beratapkan gemuruh petir.

Perutku sudah membesar seperti bola basket yang telah dibelah dua. Kehamilan ini cukup menguras tenagaku. Cairan Keabadian itu belum juga selesai dibuat. Aku benar-benar membutuhkannya. Aku akan mati jika seperti ini terus. Aku benar-benar lemah, tubuhku bagaikan agar-agar, bahkan untuk bejalanpun aku sangat lambat. Mereka hanya sekali memberiku ramuan penambah stamina dan penahan rasa nyeri yang hanya bertahan dua belas jam.

Ah, aku hampir lupa mengatakan bahwa saat ini keadaan istana sedang tidak stabil. Ratu Lavina mendadak sakit. Beberapa hari yang lalu Julian sudah tak bisa menolak ketika dirinya dilantik sebagai pemimpin tunggal kerjaaan. Ya, sekarang dia adalah seorang Raja. Aku tak tahu harus merasa senang atau sedih atas terpilihnya suamiku sebagai seorang pemimpin yang akan lebih sering memakai mahkota.

Sungguh. Dia begitu tampan.

Hanya saja, ada yang berbeda setelah dia resmi memimpin kerajaaan ini. Waktunya tersita lebih banyak untuk kerjaan. Adaptasi atas sistem pemerintahan tentu ia butuhkan. Belakangan ini Julian jarang kembali ke kamar, dia lebih sering tertidur di gedung pemerintahan. Ya, aku tahu dia bekerja begitu keras. Dia memiliki banyak pikiran. Dia memikirkan rakyatnya, juga memikirkan perang yang akan terjadi setelah aku melahirkan. Aku mencoba mengerti, namun sayangnya calon bayiku yang selalu tak ingin diajak kompromi.

"Kenapa kau tidak meminum ramuanmu?" Suara Julian mengagetkanku.

Aku menoleh dan menemukannya berjalan mendekatiku. Aku menengok keluar jendela, entah ini pagi atau sudah siang. Yang jelas, ini adalah pertama kalinya Julian menginjakkan kakinya di kamar ini setelah 3 hari dengan kesibukannya.

"Aku akan meminumnya, nanti," jawabku tak bersemangat.

"Oh. Baiklah," balasnya singkat.

Julian hanya datang untuk mengganti pakaiannya. Itu fakta yang menyebalkan. Dia bahkan tak bertanya tentang kondisiku. Apakah dia tidak peduli dengan apa yang kurasakan selama mengandung? Oh, kesibukan sialan itu benar-benar membuatnya berubah.

"Kau mau kemana?" tanyaku pada Julian yang tengah memakai mahkotanya kembali di depan cermin.

"Menjenguk ibuku." Dia bahkan tak melirik padaku.

"Kau tidak mengajakku?" tanyaku dengan sebelah alis yang terangkat.

Julian mendesah pelan, lalu perlahan menoleh. "Kami akan menulis beberapa referendum baru, ini akan menjadi pembicaraan serius dan membosankan. Kupastikan kau akan bosan." Dia mencoba memberiku pengertian.

Aku hanya mengangguk samar, memaksa diriku untuk menerima alasan itu. Julian sempat mengecup keningku sebelum akhirnya dia meninggalkanku sendiri, untuk yang kesikian kalinya.

Aku diam untuk beberapa detik. Tanganku bergerak menyentuh dada, perlahan turun ke perut. Aku mengusap perutku berkali-kali dengan sapuan lembut seraya meredam keegoisan bayi-bayiku yang selalu ingin bersama ayahnya.

Setelah selesai meminum ramuan penambah stamina, aku jadi sedikit mengantuk. Aneh sekali. Padahal biasanya setelah meminum ramuan itu, aku akan bertambah segar.

The Last SaverWhere stories live. Discover now