youth | nct dream ✔

By chyntxa

461K 85.4K 17.6K

❝All we need just, HOME.❞ [ ft. 엔시티 dream local's ] × start : June, 19 × × end : November, 20 × © ch... More

° youth
meet
Hardian - Ayah...
Jovian - Ibu...
Januar - Adara...
Ciko - Tante...
Mark - Adik...
Jian - Kakak...
meet (2)
Raanan - Martabat...
the beginning of Hardian...
the beginning of Jovian...
the beginning of Januar...
The beginning of Ciko...
the beginning of Mark...
the beginning of Jian...
the beginning of Raanan...
second home
protect
escape
another rejection
she will recover
finding
namanya, Anggi
selaras
malam pekan
coming home
sisi intuisi diri
strive
titik terendah kami
blood ties
inappropriate
embaran! cek ya
realized
wake up
hangat rengkuh ibu
it's called, pure love
di balik tiga ahad
beautiful pass
✉ dari hardi
teruntuk raanan ✉
📷 galeri enam juni
penutup kisah [end]
selebaran
Hardian Darmawan
bonchap : fatwa bunda
good news! (read please)

Hardi's celebration

7.8K 1.6K 330
By chyntxa

"Geser kanan dikit. Ke kiri lagi. Kelebihan dikit--STOP! Nah, begitu. Bagus. Estetik, euy."

"Niup balonnya yang bener. Kekecilan itu, masih bisa ngembang lagi."

"Tiup dikit lagi, iya dikit lagi terus sampe brojol."

"Sedikiiiiit lagi--"

DOR!

"--sedikit lagi meledak 'kan. Gue bilang juga apa. Niup yang bener kenapa, sih?"

"Tiup saja sana Anda sendiri!"

"Ih, baperan si Jimmy Neutron."

"SAYA BUKAN JIMMY NEUTRON!"

Kekawanan yang turut hadir di ruangan hanya bisa tertawa mendengar perdebatan yang sedaritadi tiada habisnya. Apalagi ditambah Januar yang menunjukkan jempol terbaliknya membuat Raanan makin mencak-mencak di tempat.

Yang satu jahil, yang satu sensian. Klop.

"Mana balonnya, Kak Raanan? Biar Jian aja yang tiup sini."

"Tuh, ada di atas meja. Tiup saja semuanya lalu disumpal ke mulut Januar biar tidak banyak bicara lagi," ketus Raanan beringsut dengan kaki yang dihentak-hentakkan.

"Heh, mau kemana, Jimmy Neutron?!"

"BERISIK!"

Januar tertawa terpingkal-pingkal sampai menepuk bahu Ciko heboh. Ciko yang juga sedang meniup balon sampai terbatuk-batuk tersedak angin sendiri.

"Jan, udah pas belum?"

Beralih pada Jovian yang masih berkutat dengan balon nama yang ditempel di tembok. Sedaritadi ada saja yang terasa kurang pas di mata Januar. Yang kurang kebawahan dikit lah, kurang miring dikit lah, otak Januar lama-lama yang miring, pikir Jovian.

"Udah lah dipas-pasin aja. Kasian lo nya."

Mendengar itu lantas Jovian mendengus. Kalau gitu daritadi ngapain dia capek-capek jongkok-berdiri-maju-mundur mencari angle yang pas.

"Eh, eh, kok malah duduk? Bantuin Ciko sama Jian niupin balon mending. Kasian nanti Jian-nya bengek."

"Sabar ya gusti...," gumam Jovian dengan rahang terkatup rapat, berpostur menonjok-nonjok angin. Baru duduk, sudah disuruh yang lain. Kesal.

"Nyuruh-nyuruh terus, sedangkan Anda tidak ngapa-ngapain," sindir Raanan yang sudah kembali ke ruang tamu dengan sketchbook dan tempat pensil warna biru cerah-nya di genggaman.

"Wah, iyadong. Gue kan tuan rumahnya. Jadi kerjaannya cuman mandorin aja," ucap Januar bangga bertekuk lengan di depan dada. Bersambut kisruh lemparan balon dari semuanya. Yang paling nafsu sih, Raanan. Sampai tempat pensil dia dilemparin juga ke muka songongnya Januar.

Jadi di hari Minggu yang cerah ini, mereka tengah sibuk mendekor ruang tamu rumah Januar sedemikian apik dan meriahnya guna merayakan ulang tahun salah satu anggota di perkumpulan yang tak bukan dan tak lain, Hardian Darmawan.

Pemberi usul tak terduga. Seorang Kaili Raanan Andika. Katanya, mau merayakan suka cita pertama bersama teman perkumpulan. Karena sebelum-sebelumnya, ia hanya menghadiri perkumpulan di saat suasana menyedihkan. Dari awal pertemuan hingga kasus Jian.

"Bun, masakannya udah matang belum?"

"BELUM!"

"Buruan, bun! Januar mau icip-icip!"

"Icip-icip icip-icip. Nih, es teh manis buat kalian. Si Januar mah kebiasaan, bukannya temennya pada diambilin minum." Bunda datang bergabung dengan senampan es teh manis yang tentu langsung dikerubuti massa.

"Wih, makasih Bun!"

"Makasih Bunda Januar!"

"Makasih, Bun. Emang suka gitu Januar."

"Ih, si Bunda. Padahal Januar sengaja, biar pada beli sendiri aja di warung."

"Ngawur." Seperti biasanya, Januar hanya terkekeh saat kepalanya ditempeleng pelan oleh Bunda. Malah sempat bergelayut manja di kaki sang ibu sampai didorong paksa karena tercium bau-bau gosong dari dapur.

Anak-anak tugasnya mendekor saja, bagian makanan Bunda yang atur, begitu kata Bunda yang padahal was-was dapurnya kebakaran.

"Mau gambar apa, Kak Raanan?" Tanya Ciko pada kakak kelasnya yang daritadi fokus mengarsir sketchbook-nya.

"Mau gambar Barbie dia, Ko," celetuk Januar yang langsung disambut lemparan pensil warna Raanan.

Dugh!

"MOOMIN BUKAN BARBIE!"

Featuring Jian yang ikut-ikutan mengacungkan jempol pada Raanan.

"Bagus, headshot," katanya.

"Saya mau buat kartu ucapan selamat. Nanti ditempel di dinding." Raanan beralih menatap seluruh kawan. "Bagaimana?"

"Bagus!" Serentak semuanya membuat ranum tipis Raanan mengulas senyum lebar.

Disini, gambarnya dihargai. Tidak seperti di rumah yang diinjak-injak tanpa arti.

"Wih, Kak Raanan jago gambar ya...," puji Jian yang sedaritadi menyaksikan kegiatan Raanan dalam diam.

"Mau diajarin?" Tawar yang dipuji.

"Ih, mau!"

"Sini."

Pemuda tinggi itu menghampiri dengan antusias, kemudian menoreh sesuai instruksi yang diberikan.

"Ih, kok hidungnya pesek kayak Ciko?" Misuh Jian melihat moncong Moomin-nya malah mancung ke dalam.

"Sembarangan kalo ngomong!" Protes yang dikatai. Bisa diprediksi, adegan selanjutnya adalah mereka yang saling melempar balon sambil tertawa riang.

"Jan, mana duitnya?"

Januar tersentak. Ibu jari yang tadinya sibuk membalasi pesan yang seperti asrama putri entah kenapa refleks menekan tombol rumah.

"Hah? Duit apa?"

"Duit kue lah! Mau diembat?"

Beberapa detik Januar ternganga heran hingga tahu apa yang dimaksud. "Oh... hehe. Niatnya mau dibakal beli miras tadi."

"BUNDA! JANUAR MAU MABUK-MABUKAN TUH BUN!"

"BOONG BUN, JIMMY NEUTRON TUKANG NGIBUL."

Raanan hanya menjulurkan lidahnya kala mendapat pelototan maut Januar. Setelahnya kembali fokus mengajari Jian yang mengarsir seraya menggerutu betapa payahnya dirinya dalam urusan menggambar.

"Nih, sekalian beli lilin yang kecil kecil sama yang ada umurnya," perintah Januar menjulurkan segepok uang receh hasil patungan.

"Umur Hardi emang berapa?"

"Eum... Tujuh puluh sih, seinget gue."

"Dasar stres." Jovian menepuk kencang ubun-ubun Januar dengan segepok uang tadi sejurus lari terbirit-birit keluar sebelum kena amuk.

"Kak Jov mau beli kue?" Tanya Ciko yang berdiri di ambang pintu, menyaksikan Jovian yang sudah siap jalan dengan motor beat-nya.

"Iya."

"Ciko ikut!" Pekiknya buru-buru memakai sendal swallow baru pemberian Mas Tara kemarin lusa.

"Heh, jangan! Tiupin dulu itu balonnya!" Teriak Januar.

"Sudah sana ikut Jovian saja, biar Januar yang tiup! Enak saja dia nyuruh-nyuruh saja kerjaannya!"

"Ck. Ini Mail temennya Upin-Ipin songong banget ya emang."

Sebagai tanggapan, Raanan memberikan mimik meledek ke Januar didukung Jian yang mengacungkan jempol terbalik.

Suka deh, Jian sama Kak Raanan. Berani meledek balik si Aa Januar.

Sebelumnya, mana ada yang mau.


















"Ini rumah siapa, kak?"

"Rumah Januar."

"Loh kok kita ke sini?"

"Nggak papa, main aja."

Hardi memandang bingung punggung lelah Mark yang mulai menjajaki pekarangan yang katanya rumah Januar. Dilihatnya, memang ada dua motor beat yang tak asing. Tapi untuk apa mereka kemari? Biasanya, pada lebih memilih di warkop saja. Ganjil, karena sebelumnya tidak pernah ada acara seperti ini.

Seperti hantu, Mark sudah hilang masuk ke dalam menyisakan Hardian yang masih ragu di jalanan tak rata depan rumah. Menarik napas, dirinya akhirnya turut. Dilepaskan sandal kusamnya pada pelataran, lantas memutar knop pintu.

"Assalamualaikum--"

"WAALAIKUMSALAM!!! HAPPY BIRTHDAY HARDI... HAPPY BIRTHDAY HARDI... HAPPY BIRTHDAY HAPPY BIRTHDAY HAPPY BIRTHDAY HARDI!"

Beberapa detik ia mengalami stagnasi, mencoba mencerna. Hingga jemari yang bergetar refleks menutup mulut tak percaya. Netranya berkaca-kaca melihat teman perkumpulan yang berdandan ala barongsai seraya menjulurkan kue bolu pandan berhiaskan lilin angka pengingat umurnya yang sudah genap delapanbelas tahun hari ini.

Dipandanginya mahakarya teman-teman yang terpajang sedemikian apik di ruang tamu sederhana rumah Januar. Terpampang nama 'Hardi' dengan balon warna-warni yang menghiasi, tak lupa pernak-pernik barongsai yang sedari dulu Hardi kagumi.

Teman-teman sontak menghampiri Hardi yang jatuh bersimpuh dengan derai air mata haru. Dengan peran si tetua yang mengucapkan kata penenang seraya merangkul erat si empu acara hari ini.

Terharu, dia. Pasalnya, dia saja tidak ingat hari ini umurnya bertambah. Dan seumur-umur hidupnya, tak pernah ada acara memperingati hari kelahiran. Mentok-mentok dirinya membeli roti abon di toko kelontong dan merayakannya sendiri di dalam kamar.

"Ih, jangan nangis dong. Ditiup atuh lilinnya," ujar Jian lembut menuntun kue ke hadapan Hardi.

Dengan tangan yang masih tremor hebat, Hardi melantunkan doa dalam khidmat. Mengucap beribu syukur atas hidup indah yang dijalaninya, atas kebaikan Tuhan yang masih memberinya Ayah dan kawan-kawan berharganya. Sebelum mengamini, iris bergetarnya tak lupa menatap kekawanan satu-persatu dengan senyum sendu.

"Maaf nggak ada kado-kadoan. Bikin acara gini aja patungannya kempot-kempotan," beritahu Jovian.

"Nggak papa." Hardi mengelap sudut matanya dengan punggung tangan, tertawa lebar berhiaskan hidung kemerahan. "Begini aja gue udah kelewat bahagia tujuh akhirat."

"Mau liat barongsai tampil, nggak?" Tawar Januar yang dijawab anggukan antusias Hardi.

Hardi suka barongsai sejak kecil. Waktu kecil, Hardi hampir setiap hari menonton barongsai yang lewat depan gang. Hanya ada radio dan televisi butut di rumah membuatnya cukup senang dan terhibur atas kehadiran barongsai. Bahkan Hardi pernah bercita-cita sebagai pemain barongsai, namun tak jadi karena pasti nanti Hardi sibuk dan tak ada waktu menjaga Ayah di rumah.

Hardi tertawa kencang dengan sudut mata yang sesekali masih rebas air melihat teman-temannya yang bergerak tak karuan di ruang tamu Januar. Terlebih si empu rumah yang bukannya memainkan peran barongsai malah seperti mau adu silat.

"Saatnya makan!" Teriak Bunda yang muncul dari dapur sembari membawa beberapa piring masakan.

Melupakan pertunjukan ngasal barongsai, semuanya bergegas duduk memutar dengan rapi di karpet depan televisi.

Khusus untuk yang ulang tahun, piringnya diisi oleh teman-teman. Menciptakan sepiring munjung penuh nasi kuning dan lauk pauk yang Hardi tak yakin bisa menghabisinya.

"Masakan bunda enak!" Hardi mengacungkan jempol semangat yang disetujui anggukan yang lain.

"Makan yang banyak, Hardi," ucap Bunda mengelus surai gondrong Hardi lembut.

Bunda sudah tahu masalah hidup Hardi. Lebih tepatnya, Bunda mengetahui semua permasalahan hidup teman perkumpulan anaknya di warkop. Januar sudah menceritakan semuanya. Ia ingin memberitahukan pada sang ibu bahwa di dunia ini, remaja yang sengsara, tidak hanya dirinya saja. Jadi Ibu tak perlu khawatir dan terlalu merasa bersalah atas semuanya.

"Selesai makan, sholat maghrib dulu ya Jan," peringat Bunda.

"Siap Bunda!" Jawab Januar, Jovian, Raanan, Jian, dan Hardian.


























Setelah selesai shalat bagi yang muslim, mereka memutuskan tuk duduk-duduk santai di teras rumah Januar. Sebagian duduk pada kursi sofa bolong-bolong yang Januar pinjam dari tetangga dan sebagian lagi duduk di ubin bersih yang baru Raanan pel.

"Eh, request lagu dong nih, gue gitarin," seru Mark yang bosan sedaritadi hanya menggenjreng asal gitar pinjaman pos ronda.

"Peri cinta dong, bang," usul Januar.

"Yeuu bucin mulu situ mah."

"Gegalauan terus lah euy lieur."

Januar hanya cengengesan. Abisan, ngeliat langit malam tiba-tiba hati ini rindu pujaan hati.

"Arti sahabat upin-ipin lah." Kali ini Jian mengusul yang langsung disetujui semuanya.

Jreng ~

"Sahabat...
Untuk selamanya...
Berbagi... dan saling menjaga...."

Hardi merangkul Jovian yang duduk di sebelahnya, berlanjut hingga akhirnya semua berangkulan bak sedang menonton konser kaum ambyar.

"Kau dan aku sahabat...
Untuk selamanya...
Selama-lamanya...
Setia ~"

Setelahnya mereka tertawa bersama menyadari lagu pilihan yang begitu absurd.

"Makasih ya, kalian semua udah mau repot-repot buat gue," lirih Hardi kembali menatap mereka satu-persatu.

"Nggak repot kok, A'. Semua kita lakukan dengan sukarela. Yang penting Aa' bahagia di hari berharga ini," ucap Ciko penuh nada ketulusan tiada tara membuat mata Hardian kembali berkaca-kaca.

"Utututu mari berpelukan!"

Tanpa rasa gengsi, mereka berpelukan dengan Hardi yang menjadi pusat. Bahkan bergoyang kesana-kemari sambil bersenandung lagu Sheila on 7 yang berjudul Sahabat Sejati.

"Eh iya, sebentar," interupsi Raanan yang beringsut cepat ke dalam rumah.

"Ngapain dia A'?" Tanya Ciko pada Januar.

Yang ditanya mengangkat bahu acuh. "Nggak tau. Suka nggak jelas emang Jimmy Neutron."

"Nah, ayo kita berfoto!" Seru Raanan sekembalinya bersama kamera polaroid klasik di genggman.

"Yang punya acara dulu ayo!"

"Jov, temenin gue." Tahan Hardi pada Jovian yang hendak beranjak dari sofa. Karena hari ini Hari Hardi, jadi Jovian menurut saja.

"Satu... dua... tiga...."

Ckrek!

"Ciko dong, kak. Ciko!"

"Ayo pose. Satu... dua... tiga...."

Ckrek!

"Jian juga mau!"

"Satu... dua... tiga...."

Ckrek!

"Si abang Nancy dong Nan difoto." Jovian menunjuk Mark yang sedaritadi hanya bersandar di tiang penyangga, memerhatikan.

"Ah nggak ah, malu."

Sempat terjadi beberapa perdebatan dan adu gulat hingga akhirnya yang paling tua mengalah karena kalah suara.

"Satu... dua... tiga...."

Ckrek!

"Nah, sekarang fotoin gue sama Jimmy Neutron dong."

Januar sudah berjaga-jaga melindungi diri dan menyiapkan rentetan kalimat paksaan apabila terjadi kontra. Tapi laki-laki itu malah mengulas senyum dan memberi alih kamera pada Jian lalu duduk di sofa bersama Januar.

Tentu Raanan mau.

Januar adalah teman sungguhan pertamanya.

Januar lah yang memperkenalkannya dengan remaja-remaja sebaya dengan kisah rumit di baliknya.

Januar lah yang membuatnya merasakan kehangatan pelukan seorang Ibu dan ketulusan perkawanan.

Kalau begitu, apa alasan untuknya kontra?

"Siap-siap A' Januar, Kak Raanan."

"Satu... Dua... Tiga...."

Ckrek!




















Malam penuh canda tawa dan gurauan pelipur lara sudah hilang dimakan temaram malam. Menyisakan burung hantu dan burung kakak tua tetangga yang sesekali berkicau.

Si para pemuda sudah kembali ke peradaban, merajut mimpi yang begitu indah, membuai si puan enggan menghadapi kenyataan.

Tapi masih ada satu yang tersisa. Duduk termenung di teras rumah, berkomunikasi dengan sang rembulan melalui tatapan mata.

"Loh, belum tidur?"

Tersentak, Hardi mendapati salah satu dari enam lain yang berdiri di ambang pintu.

Lantas ia mengulum senyum. "Belum pengen. Belum ngantuk."

"Kalau gitu, saya temenin. Saya juga tidak mengantuk."

Dari tempatnya, Hardi menatap Raanan yang perlahan mendekat hingga duduk tepat di sampingnya. Tubuh ringkihnya merunduk, menekuk lutut berusaha menghalau angin malam.

"Perasaan tadi lo udah tidur deh?" Tanya Hardi.

Dijawab anggukan kecil. "Iya. Barusan habis buang air kecil. Ngeliat Anda duduk di sini, kantuk saya langsung hilang entah kenapa."

Dengusan nyaring memecah tentram malam mendengar penuturan penuh dusta Raanan. Kelopak mata laki-laki itu saja sudah nyaris menutup sempurna sekarang, tidak ngantuk darimananya? Tapi Hardi hanya bungkam. Ingin menghargai Raanan yang ingin menemani.

"Katanya, acara ini lo yang ngusulin, ya?"

"Iya."

Tangan penuh memar menepuk pundak adam di samping. "Makasih."

"Sama-sama."

"Januar bilang, lo pinter di sekolah?"

Sang lawan bicara hanya bergeming menatap tanaman kaktus Bunda yang tumbuh subur.

"Gue pengen deh, sekolah."

Gumaman yang sukses menghilangkan kantuk. Memusatkan atensi pada pemuda berkulit sawo matang yang berganti posisi berbaring dengan netra tak lepas pandang dari kumparan benda langit.

"Pengen punya banyak temen, belajar ini-itu, lancar baca, cepat berhitung, ikut organisasi...."

"Tapi Ayah nggak pernah ngijinin gue buat sekolah. Buang-buang duit. Apalagi untuk seukuran anak yang tak diinginkan seperti gue."

Dada Raanan seperti diikat tali tambang melihat Hardi yang menghela napas dengan mudahnya.

"Tapi gue bersyukur. Karena andaikan gue sekolah dan sibuk, pasti nggak sempat jagain Ayah di rumah."

Hening geming mengambil alih untuk sementara waktu. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing yang bertolak belakang.

"Kenapa?"

"Hah?"

"Kenapa Anda masih menyayangi Ayah? Padahal dia selalu menyiksa Anda."

Sekali lagi, kurva Hardi tertarik tipis. Jari telunjuknya menari-nari mengikuti jajaran bintang.

"Karena hanya dia yang gue punya."

"Yang sedarah sama gue cuma dia, Nan. Gue gak punya siapa-siapa lagi di dunia ini."

Alasan penuh historis nan amat logis.

Raanan mengangguk entah untuk apa. Ikut membaringkan diri di samping Hardi.

"Nih."

"Apa?"

"Buka saja."

Jemari Hardi membuka lipatan kertas dengan seksama, lantas terkekeh setelahnya.

"Kenapa dikasih ke gue lagi? Tadi gue udah liat waktu dipajang di ruang tamu."

"Oh? Saya kira Anda tidak baca karena ketutupan aksesoris barongsai."

"Baca, kok. Tapi nggak papa. Lukisan lo bagus."

"Itu lukisan moomin terbaik saya sejauh ini, harap disimpan baik-baik."

"Tenang aja, bakal gue pajang di pigura rumah."

Dua insan saling melempar senyum dalam ketenangan. Sebelum kembali mengagumi pahatan indah Tuhan yang terpampang nyata di atas mereka.



















kokokkan ayam pertanda fajar telah siap menjalankan tugas menjadi peneman langkah kaki pemuda yang tergesa di antara gang sempit.

Netranya menyipit, kalap dari jauh mendapati pintu rumah di depan sana yang sudah terbuka pintunya.

Ayah pasti sudah bangun.

Dipercepatlah langkah itu. Mengusap wajah kasar berusaha mengusir kantuk karena baru terlelap beberapa waktu.

"Ayah?" Panggilnya sesampainya di ambang pintu. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam.

Hardi menarik garis lengkung manis kala adiksi menangkap Ayah yang baru keluar dari salah satu pintu.

"Aya--"

Bugh!

Hardian tersungkur begitu saja di tanah depan rumah. Jemarinya refleks menggapai hidung yang perih tiada tara. Ternyata, ada cairan merah di sana. Hardian terbangun paksa dari tempatnya karena kerah baju yang ditarik kuat.

"KEMANA AJA LO GOBLOK!"

Bugh!

"KEMANA AJA LO DARITADI MALEM HAH?!"

Bugh!

Untuk kedua kalinya, Hardian tersungkur rendah untuk pagi ini. Ranumnya melantunkan ringisan kesakitan saat dengkul memar bekas beberapa hari lalu kembali ditendang Ayah.

"DASAR ANAK GOBLOK!"

Bugh!

"ANAK NGGAK GUNA!"

Bugh!

"NYUSAHIN GUE DOANG BISANYA!"

Bugh!

"Uhuk uhuk." Hardian menutup mulutnya yang turut mengeluarkan cairan kental amis.

Dipandangi sendu Ayah yang memukulinya dengan membabi buta. Penuh binar ketulusan dan kasih sayang tanpa tipu muslihat.

"GUE CARIIN LO KEMANA-MANA TAU GAK?!"

Di antara ambang kesadarannya, dahi Hardian mengernyit. Katup yang sudah lemah berkedip-kedip mencoba menjaga kesadaran. Rongga dada tiba-tiba diliputi rasa senang yang begitu membuncah.

"Ayah... khawatirin aku?"

Bugh!

Hingga kesadaran terenggut sepenuhnya entah untuk berapa lama ke depan.

Biarkan, ia beristirahat sejenak. Rehat.

Menikmati euforia abu-abu yang meletup-letup di dada, merekam hingga beribu piringan hitam mengabadikan rasanya dikasihi balik oleh Ayah yang ia dambakan berbelas tahun lamanya.

Hadiah terindah, yang tak akan pernah Hardian lupakan selamanya.
























kaget ga kalian dapet notif rajin sin? mana panjang lagi wkwk

karena ini hari special, jadi sin mau berbagi kebahagiaan ^^

HAPPY BELATED BIRTHDAY HAECHAN MANIS 💚

u did so well this far. i hope u will be happy forever and ever 💚


dan juga yang menjadi hari ini hari yang amat special yaitu...



HAPPY SWEET 18 UNTUK SIN! 🎉🎊

gak cuman 17 aja yang sweet, 18 dan seterusnya juga harus sweet dong ya? hihi >,<

terima kasih banyak banyak untuk kalian yang selalu dukung sin dengan kata kata manis dan penyemangat!

makasih sudah menjadi alasan sin senyum senyum sendiri di malam hari 😢

seneng deh ulang tahun kali ini bisa dirayain bareng work youth ^^

tahun kemarin kan bareng clumsy hihi

vibesnya jomplang dari yang fluffy cheesy jadi dark angst gini wkwk


sayang kalian sebesar semesta!

- dari gadis yang genap delapanbelas tahun hari ini -

Continue Reading

You'll Also Like

8.7K 1.2K 51
"Untuk dia yang selalu menganggap bahwa aku adalah warna di setiap lukisannya. Dia yang selalu berusaha baik-baik saja, Huang Renjun." --- HINDARI PL...
8.1K 681 42
Perjalanan melalui dunia Dragon Ball dan menjadi bayi Goku. Untuk kebangkitan Saiyan, kami berhutang budi. "Bulma, kamu tidak ingin memberikan planet...
62.2K 4.1K 74
"Dorrrrr" "Anjir, kaget gue Chan" "Ahahah, pagi pagi udah ghibah aja lu" "Siapa yang ghibah?" "Gue denger kali" "Yehhh, nguping lu ya" "Heheh"
969K 159K 67
"We can learn to love again, right?" . . . . . . . Sequel of Ex :: L. Haechan