youth | nct dream ✔

Por chyntxa

461K 85.4K 17.6K

❝All we need just, HOME.❞ [ ft. 엔시티 dream local's ] × start : June, 19 × × end : November, 20 × © ch... Mais

° youth
meet
Hardian - Ayah...
Jovian - Ibu...
Januar - Adara...
Ciko - Tante...
Mark - Adik...
Jian - Kakak...
meet (2)
Raanan - Martabat...
the beginning of Hardian...
the beginning of Jovian...
the beginning of Januar...
The beginning of Ciko...
the beginning of Mark...
the beginning of Jian...
the beginning of Raanan...
second home
protect
escape
another rejection
she will recover
finding
Hardi's celebration
selaras
malam pekan
coming home
sisi intuisi diri
strive
titik terendah kami
blood ties
inappropriate
embaran! cek ya
realized
wake up
hangat rengkuh ibu
it's called, pure love
di balik tiga ahad
beautiful pass
✉ dari hardi
teruntuk raanan ✉
📷 galeri enam juni
penutup kisah [end]
selebaran
Hardian Darmawan
bonchap : fatwa bunda
good news! (read please)

namanya, Anggi

6.8K 1.5K 214
Por chyntxa


cewek ketumpahan kopi
| alun-alun, 7 malam


"Ya bener alun-alun. Tapi sebelah mananya, ck." Laki-laki berjaket kulit hitam itu berkacak pinggang, menyugar rambut frustasi. Membaca kembali pesan singkat--teramat singkat yang diterimanya sekitaran tiga jam yang lalu membuat dirinya tambah jengah.

Ia sudah mengelilingi tempat ini berkali-kali sampai beberapa bapak pedagang bertanya perihal mencari apa dan siapa namun tetap jua tak berjumpa dengan perempuan tempo hari. Walau sudah agak lupa dengan wajahnya, Jovian masih ada bayangan kasar mengenai postur tubuhnya.

"HEH!"

Jovian sampai berjengit saking kagetnya. Mau mengelus dada tapi malu, masa badan kekar gini kagetan.

Nah, ini dia.

Alhasil hanya memandang datar gadis yang sedaritadi dicarinya yang kini sudah berdiri manis di hadapan.

Eh, manis?

"Daritadi gue muter-muter nyariin lo, baru dateng ya?"

"Dih, mana ada." Jovian berkacak pinggang. "Yang ada gue daritadi muter-muter nyariin lo."

"Omosok?"

Jovian refleks meraup dan mendorong pelan wajah perempuan itu dengan telapak besarnya kala dirasa jarak yang terlalu dekat. Tingginya tidak beda jauh dengan Jovian, maka saat gadis itu memajukan wajahnya, hidung mereka hampir bertemu. Untung Jovian ada keturunan spider-man jadi refleksnya cepat, tepat, dan akurat.

Si pelaku sih senyum-senyum aja. "Nih, jaketnya," ujarnya menjulurkan paperbag biru yang dijinjingnya sedaritadi.

"Oke, thanks."

"Eits, mau kemana lo?"

Pergerakan yang hendak beranjak terinterupsi karena bahu tegapnya ditahan. Garis imajiner tercipta bersama dengan alis menukik heran. "Ya pulang, lah."

"Ah, nggak seru."

"Terus?"

"Walking-walking dulu, yuk?"

Beberapa detik iris tajam Jovian bersitatap dengan iris asing yang masih berkilat cerah persis malam hari lalu, hingga si adam akhirnya mengangguk kecil. "Okay."

Mereka menusuri alun-alun dengan langkah pelan seraya menikmati pemandangan pemuda-pemudi yang memadu kasih atau keluarga yang menghabiskan waktu di malam hari. Canda tawa orang-orang sekitar serasa kontras dengan kesunyian yang tercipta di antara dua insan tersebut.

Canggung, slur.

"Pengen baso aci. Lo mau?" Tanya si hawa.

"Boleh."

Setelah memesan, mereka memutuskan untuk duduk mengemper pada tikar yang digelar di tanah lapang alun-alun. Dan masih seperti sebelumnya, keduanya hanya diam sibuk sendiri mengamati sekitar yang padahal hanya pura-pura guna menutupi kecanggungan yang melanda. Sampai si gadis jengah juga akhirnya.

"By the way... kita belum kenalan, ya?"

Jovian menggeleng. "Belum."

"Pantesan." Si hawa mendengus geli. "Anggi."

"Jovian."

"Masih sekolah?"

"Masih, kelas duabelas."

"Wah, sama!" Pekik Anggi girang yang hanya bersambut senyum simpul Jovian.

Sebenarnya Jovian ini tipikal manusia yang tidak bisa cepat akrab dengan orang baru.

Tapi untuk kali ini ia akan mencoba.

"Ke sini naik apa?" Akhirnya ia yang bersuara duluan.

Yang tentu bersambut hangat dari Anggi. "Bareng temen tadi. Dia mau ke daerah sekitaran sini juga."

"Pulangnya?"

"Eum... naik ojol kali?"

"Emang rumahnya dimana?"

"Nggak jauh dari kita ketemu waktu itu. Lo liat gue pulang jalan kaki kan kemarin?"

"Jauh juga," gumam Jovian.

Minimarket tempat singgah Jovian bersama Jian kemarin letaknya berada di pertengahan perjalanan. Gara-gara air mata yang melumbung-lumbung minta dikeluarkan, jadinya Jovian mampir dulu kan.

"Kenapa ngajak ketemunya di sini? Kenapa nggak di minimarket kemarin aja? Atau daerah sekitaran situ? Ke sini kan jauh."

Anggi menggeleng, membuat poni sepanjang alisnya berkibar lucu. "Nggak tau, pengen aja."

Berbalas dengus geli. "Aneh."

Ada jeda menjadi tanda koma dalam percakapan, hingga kembali dilanjutkan si bahu sempit.

"Gue mau nanya, Jov."

Ditataplah Anggi dengan raut yang bersilih serius setelah sebelumnya sangat antusias dan penuh semangat.

Jovian mengulas senyum tipis, memilih berganti pandang pada langit Bandung yang berhiaskan banyak kelap-kelip menawan malam ini. "Tanya aja. Kalau memungkinkan untuk dijawab, ya bakal gue jawab."

Lagi. Tanda koma itu kembali hadir dalam percakapan kali ini. Melirik melalui sudut mata, Jovian mendapati Anggi yang tengah memilin jemari resah.

Memangnya apa yang mau ditanyakan, sih? Kayaknya serius banget.

"Kalau boleh tau... malam itu kenapa lo nangis?"

Oh iya, emang serius.

Dari tempatnya, Anggi menatap figur laki-laki yang baru dikenalnya beberapa hari lalu itu. Bermodalkan lampu yang digantung pada kayu galah dibubuhi cahaya sang rembulan serta bintang-bintang yang menemani, Anggi merasa takjub dengan eksistensi di hadapan.

Sama halnya dengan Jovian, Anggi sebenarnya juga tidak terlalu ingat dengan paras Jovian saat pertama kali bertemu. Yang menjadi patokannya hanya dada bidang dan netra tajam. Netra yang malam itu bersirat sendu krisis asa namun tetap pada pendirian, tajam.

Napas Anggi terkecat melihat Jovian yang menghela napas panjang. Dadanya berdegup tak siap mendengar kisah panjang yang mungkin saja tidak akan cukup diceritakan hingga tengah malam nanti.

"Jadi--"

"Ini baso aci-nya a', neng."

"--Jadi kita makan dulu aja. Keliling bikin laper, Nggi."

Anggi mendengus namun terkekeh juga setelahnya. Mereka melahap dengan khidmat walau terjadi beberapa kendala tukar menukar topping baso aci. Anggi nggak suka daun bawang, sedangkan Jovian nggak suka pilus-pilusan. Pas ditanya Anggi kenapa, malah dijawab :

"Nggak suka, kopong. Ntar otak gue ikutan kopong."

Garing. Tapi Anggi malah tertawa terbahak-bahak.

Kiranya, Jovian orangnya sekaku kanebo kering. Ternyata nggak.

Kayak jamur crispy, garing abis!










"Jadi naik ojol?"

"Ya... jadi lah? Kenapa nggak jadi?"

"Jangan. Gue anterin aja."

Anggi kontan mengalih atensi dari ponsel bertampilkan aplikasi ojek online ke Jovian yang sudah duduk anteng di atas motor beat oren-putih nya. Setelah acara makan selesai, mereka memutuskan segera pulang karena sudah larut dan Jovian yang beberapa kali diteleponi Budhe.

"Nggak usah. Ngerepotin--"

"Nggak ngerepotin." Jovian mengibas tangan. "Nggak bagus naik ojol malem-malem. Apalagi anak gadis. Nanti diculik."

"Apasih--"

"Ini serius. Kemarin tetangga ada yang diculik ojol sampai sekarang nggak balik."

Melihat raut Jovian yang kepalang serius, akhirnya Anggi pasrah menyambut uluran helm usang yang Anggi yakin hadiah beli motor. Nggak pasrah juga sebenarnya, karena sepanjang makan dia juga ketar-ketir memikirkan transportasi pulang.

"Nih, dipake lagi."

Merasa tak ada respon, Jovian menyampirkan jaket bomber hitam wangi laundry pada bahu Anggi.

"Dih, baru dibalikin juga. Masa mau dipinjemin lagi?"

Jovian mengangkat bahu acuh. "Salah sendiri pergi malem pakai baju kaos doang."

"Maaf, motor butut," ucap Jovian menatap Anggi dari kaca spion. Disusul tepukan kencang pada bahu pertanda tak apa.

"Masih nggak ada niatan lanjutin cerita yang tadi?"

Masih melalui kaca spion, Jovian melirik Anggi yang ternyata juga tengah memandanginya dari sana. Untung lagi di lampu merah, kalau nggak udah tabrakan mereka.

Jemari Jovian mengusap lututnya yang terbuka di antara ripped jeans. Sebenarnya ia masih menimbang-nimbang untuk berbagi kisah dengan gadis yang baru dikenalnya atau tidak. Karena ini termasuk ranah privasi dan aib keluarga.

"Cerita aja, siapa tau gue bisa bantu," persuasif Anggi kembali.

Melalui refleksi, bahkan iris Anggi begitu antusias dan menanti, Jovian jadi tak enak hati.

"Jadi Ibu gue--"

Drrt! Drrt!

"--Bentar, ada telepon."

Diam-diam Anggi berdecih. Sepertinya semesta tak membiarkan dirinya mengetahui sejarah pilu laki-laki yang sudah menarik hatinya itu.

Iya. Anggi suka Jovian.

"Halo? Kenapa Kak?" Sapa Jovian seraya melirik angka yang tertera di lampu merah.

"Lagi di mana Jov?"

"Di luar nih."

"Wah, kebetulan."

"Kebetulan kenapa?"

"Kalo ketemu Hardi, bilangin minggu besok harus dateng ke warkop."

"Kenapa harus dibilangin? Biasanya juga dateng, kok."

"Jaga-jaga aja, Jov. Takut dia nggak dateng, ntar ambyar usaha kita."

"Usaha apa?" Jovian menyelipkan ponselnya ke dalam helm karena lampu sudah berganti hijau.

Tak ada sahutan lebih lanjut. Jovian sempat mengecek tapi panggilan masih tersambung, kok.

"Jangan bilang lo lupa?"

"Lupa apa? Please daritadi gue kayak tukang keong hah hoh hah hoh aja nggak tau juntrungan omongan ini ke mana."

"Hardi ulang tahun. Lo lupa?"

Oh?

"Nggi, minggu besok tanggal berapa?"

Anggi yang semula melamun menatap jajaran ruko yang terlewati lantas terkesiap ditanya seperti itu. Terburu meraih ponsel di saku tuk mengecek kalender.

"Tanggal enam Juni, Jov."

Jovian mengangguk sebagai respon. Tapi netranya menyipit saat objek yang dibincangi tak sengaja tertangkap adiksi. Tengah mengangkat kedua tangan yang ditangkup, sepertinya merapalkan doa.

"Yang ini juga kebetulan, Kak Mark. Si empu bulan Juni lagi duduk di tepi jalan."

Tanpa melihat langsung, Jovian tau si tetua mengulas senyum di seberang sana. "Jangan lupa bilangin hati-hati. Udah malam, banyak mbak kunti."

Mereka terkikik bersama hingga Jovian mendengar panggilannya diputus sepihak oleh lawan bertepatan dengan motor beat-nya yang menepi di hadapan laki-laki berbalut jaket belel yang baru berbalik badan.

TIN!

"Astagfirullah!"















"Bener yang ini rumah lo?"

"Iyalah. Masa gue ngarahin ke rumah tetangga?"

Jovian manut-manut dengan mata yang membentuk bulan sabit. Dalam hati cukup terkejut, ternyata Anggi ini berasal dari kalangan berada. Terlihat dari rumahnya yang terletak di kawasan elit tak lupa pagar menjulang yang menyambut mereka.

Padahal kalau dilihat-lihat penampilan gadis di hadapannya ini biasa saja dan terkesan sederhana. Menggeneralisasi, Anggi ini tipikal orang yang memakai baju senyamannya saja.

"Mau mampir dulu?"

"Nggak usah. Udah dicariin Budhe daritadi."

"Okay...."

"Gue pulang ya--"

"Jov."

Jovian kembali membuka kaca helmnya, menatap Anggi yang menunjuk-nunjuk jaket bomber milik Jovian yang masih setia melekat di tubuhnya.

"Ah iya, lupa. Sini jaketnya--"

"Jangan."

"Ya?"

Jovian terkesiap kala maniknya bersibobrok dengan milik sang lawan bicara yang memantulkan cahaya bintang, bersemburat malu-malu.

"Biar ada alasan buat ketemu lagi," bisik si hawa membuat bulu kuduk Jovian meremang seketika.

Terang-terangan sekali.

Ini perasaan Jovian nggak punya penyakit jantung, deh. Tapi kok rasanya jantung Jovian bekerja berkali-kali lipat melihat jari lentik Anggi menyelipkan rambut ke belakang telinga?

"Gue dibenci Ibu, Nggi."

Satu kalimat yang sukses membuat suasana cikar seketika. Hingga kaki Anggi tremor samar mendengarnya.

"K-kenapa...."

"Ceritanya panjang. Intinya gue sebab utama kedua orangtua pisah."

"Melibatkan trauma atau psikis?"

Jovian mengangguk. Buru-buru menutup kaca helm dirasa mata yang kembali berlinang mengingat Ibu di petak kecil rumah. Mendadak emosional dia tuh kalau bahas masalah ini.

"Gue bakal bantu."

"Maksudnya?" Tanya Jovian masih menatap aspal di hadapan.

"Ibu gue psikiater, mungkin bisa bantu."

"Biayanya mahal?"

Jemari lentik mengibas indah. "Nggak usah dipikirin."

Pemicu si adam melukis bulan sabit sepenuh hati. "Makasih."

"Kalau gitu, gue balikin jaketnya."

Jovian terdiam di tempat, nanar melihat Anggi yang melepas jaketnya kemudian memasukkannya kembali ke dalam paperbag biru yang digantung.

"Kenapa?"

Ranum berpoles gincu merah muda menarik kurva lebar menciptakan palung mungil pada pipi.

Hah, manisnya.

"Udah punya alasan lain yang lebih menjamin buat ketemu. Hehe."

Ditemani pagar menjulang dan satpam yang berpangku tangan menyaksikan adegan roman di hadapan, tanpa disadari keduanya, masing-masing sudah menaruh secuil hati pada lawan bicara.






















kolom patah hati didieu 💔


kasian abisan si januar ngebucin nggak ada partnernya:(

tbh ayo jujur sama aku

ini cerita ngebosenin nggak sih?

jujur aja nggak papa

aku takut kalian bosen soalnya gini gini terus aja

tapi untuk beberapa chapter ke depan mulai jalan bertingkat kok

ingat, semuanya butuh proses

termasuk kebahagiaan si tetua dan antek anteknya 💚

Continuar a ler

Também vai Gostar

8.5K 1K 15
Hanya tentang Na Jaemin yang berusaha menemukan dirinya yang lain. Na Jaeyoung. Mereka kembar. Tapi takdir memisahkan mereka. Akankah mereka bersama...
9.9K 2K 24
Mr. H - code R - Jx - Na Mereka semua ada hubungannya dengan Z4Zia Ponsel itu, yang aku temui tergeletak di tanah. Ternyata membawaku tenggelam dalam...
241K 50.4K 34
[ Sudah terbit di @Nayya_Publisher ] Dear Haechan.. Di balik kerasmu, sudah ku ketahui dari awal kalau kau memang yang terapuh. Kau yang enggan membu...
1.5M 136K 70
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...