Sketsa Rindu untuk Hujan

By FlorentYuniar

62.3K 1.3K 25

Kisah semusim lalu terajut dalam sebuah kenangan Sesosok malaikat hadir mengantar cerita untukku Di sudut ber... More

PROLOG
SETITIK EMBUN HUJAN
TETES HUJAN TERAKHIR
HUJAN MUSIM LALU
AKHIR SEPENGGAL KENANGAN HUJAN
SKETSA TERAKHIR HUJAN
BUKAN HUJAN YANG PERTAMA
CUKUP SATU KATA BERSAMA HUJAN
KEMATIAN, CINTA, DAN HUJAN
HUJAN DI BALIK PAYUNG
TERHITUNG SEBUAH WAKTU
MEMAGUT SECANGKIR RASA
MENGULANG HUJAN
HUJAN DI MUSIM PANAS
BERLINDUNG PADA MALAIKAT
NYANYIAN SUNYI MALAIKAT
PENA DALAM SKETSA
PELANGI DI BAWAH HUJAN
UNTAIAN RINAI HUJAN
SEBELUM HUJAN BERHENTI TURUN
AKHIR DALAM KEHIDUPAN
EPILOG
Thanks To :

SEGARIS EMBUN HUJAN

968 28 1
By FlorentYuniar

“Kapan aku akan meninggalkannya? Mungkin aku menemukan dirinya kembali di balik payung kuning, namun aku tak pernah melupakan cintanya. Dirinya bersembunyi, namun belum terlambat untukku menemukannya.” ~ Derryl

Langkahku menuju ke beranda rumah pagi ini. Mendapati secangkir kopi pekat di atas meja bundar dan ayahku yang duduk di kursi kayu—meninggalkan korannya pagi ini. Aku menyoba menyadarkan dirinya dari lamunan yang sudah melambung tinggi. Belum sempat aku terduduk, aku tersentak begitu melihat payung kuning ibuku dulu terjemur di dekat pintu.

“Ada apa, Marie?” tanya ayahku yang membuatku terkejut.

“Apa—bukan. Kenapa payung kuning itu ada di sana?” tanyaku sambil menunjuk payung itu.

“Bukan apa-apa. Hanya saja kemarin masih basah.”

Aku hanya mengangguk mengerti, lalu mendudukkan diriku di samping ayahku. Aku memandangi danau kecil di sisi rumah kayu ini—mengagumi pendar kehangatannya.

“Apa kau ingin memilikinya lagi?” tanya ayahku tiba-tiba. Segera kupalingkan wajahku untuk mendengar lanjutan kalimat ayahku.

“Memiliki apa?” jawabku balas bertanya padanya.

“Payung kuning itu.” suaranya terdengar parau untuk mengatakan itu. Mungkin saja tak dapat kudengar jika napasnya tercekat.

“Mungkin saja, aku akan kembali memiliki perasaan itu jika aku kembali bernaung di bawah payung kuning itu saat hujan.”

“Apa ayah tidak keberatan?” tanyaku dengan berhati-hati mengucapkannya.

“Tentu saja tidak. Kenangan itu sekarang milikmu.”

Hatiku berdegup kencang mendengar jawaban ayah. Napasku terhenti, mataku tak lagi sanggup berkedip. Kalimatnya seakan sebuah mantra yang sanggup membuat lidahku kelu. Dan, benakku menggemakan kalimatnya. Kenangan itu sekarang milikmu.

“Ada apa lagi, Marie?”

Aku segera menggelengkan kepalaku cepat, begitu kurasakan ayahku menangkap binar mataku memandangnya. Kuhabiskan pagiku dengan meneguk secangkir kisah yang dulu pernah hilang, dan kini telah kumiliki kembali.

Bibirku tak henti-hentinya terus tersenyum, memandangi benda berwarna kuning ini di tanganku. Tanpa terasa langkahku mulai menapaki jembatan kayu ini. Pandanganku tertoleh pada jembatan batu di sisi lain, sebuah kereta uap melintas di atasnya. Lalu, pandanganku kembali ke depan—kembali menyusuri jembatan ini.

Langkahku terhenti begitu aku melihat seseorang yang berdiri di depanku tengah mengulum senyum simetrisnya menghadapku. Lengan kemejanya digulung hingga di atas siku, dan ujung kerahnya tampak terlipat. Lalu, pandanganku beralih ke bawah, dirinya seperti biasa menggenggam payung kelabu di tangan kirinya. Lama kami terdiam, bibirnya semakin melengkungkan sebuah senyum indah di wajahnya—aku harus memuji itu.

“Derryl..” panggilku akhirnya.

Aku berjalan mendekat ke arahnya, sambil menyunggingkan senyum tipisku. Lalu, sebuah angin melintas membatasi kami untuk berdiri, aku dapat merasakan itu.

“Aku melihatmu bahagia. Aku senang bisa melihatmu seperti ini. Tapi sebelumnya, maafkan aku—”

Aku segera memotong kalimatnya, begitu aku tahu arah pembicaraan ini.

“Semua manusia pernah melakukan kesalahan, termasuk malaikat sekali pun. Apa kau percaya mereka semua sempurna? Awalnya aku kecewa, mengetahui dirimu yang begitu egois. Namun, perasaanku belum berubah saat ini.” potongku dengan cepat.

Aku terkekeh mendengar perkataanku dan segera kuenyahkan dengan topik pembicaraan yang menarik. Kuingat-ingat kembali kejadian itu, Derryl mencoba mengungkapkan kenyataan di balik kisah kematian ibuku. Namun, percaya atau tidak aku merasa hidupku telah dibutakan oleh sesuatu yang kusebut cinta.

“Kita belum punya kepastian.” kataku sambil menatapnya.

“Kepastian?”

Kulihat dahinya berkerut, alisnya hampir bertautan, senyumnya luntur, dan berulang kali dirinya menelan ludahnya mungkin karena gugup. Dan terpaksa aku menjelaskan padanya.

“Kepastian untuk masa depan. Aku adalah kisahmu, dan selamanya akan menjadi kisahmu. Aku bukan satu dari mereka yang pergi, justru akulah yang selalu ada di saat mereka semua pergi untukmu. Apa kau ingat yang pernah kau katakan padaku itu?”

Akhirnya aku terkekeh mendengar kalimatku yang terlontar begitu gugup. Lalu, terdengar Derryl pun ikut terkekeh bersamaku.

“Aku tak mungkin bisa menghancurkan kebahagiaanmu saat ini.” suaranya lirih di tengah candanya.

“Apakah aku bisa berangkat ke kampus sekarang?”

“Temui aku lagi di jembatan, sore ini. Aku akan menjawab kepastianmu.”

Aku mengangguk setuju, lalu mencoba tersenyum padanya.

“Senang bisa bertemu denganmu.” Aku segera mempercepat langkahku meninggalkannya.

Langkahku tiba di depan lokerku sebelum seorang menahanku untuk berhenti berjalan. Fionagh dengan senyum ramahnya menghangatkan pandanganku—sama seperti pertama kali dirinya menyapaku di kafe sebagai pelayan.

“Kau diundang siang ini di kafe. Kali ini datanglah demi aku.” sapanya mencoba kembali akrab denganku.

“Apa yang terjadi?” tanyaku sambil mengeluarkan bukuku dari dalam loker.

“Aku hanya ingin meminta maaf padamu, dan juga terima kasih atas semuanya yang telah kau lakukan untukku dan Reyn.” Fionagh tertunduk hanya dengan mengatakan itu.

“Bukan masalah. Awalnya aku beranggapan ini semua karena aku hadir di tengah kalian, aku benar-benar tak bermaksud untuk ikut campur dalam masalah yang menghadapi kalian. Hanya saja, Reyn yang secara tidak langsung—”

“Semua sudah selesai, Marie. Kuharap kau bisa melupakan semua yang pernah terjadi di antara kita.” ujarnya sambil terkekeh pada akhirnya.

Aku ikut terkekeh bersama Fionagh. Tak bisa kubayangkan hidup ini benar-benar indah jika aku melihatnya di sudut lain yang menurutku salah sebelumnya. Aku mencoba untuk percaya pada diriku.

Siang ini terasa panjang dan lengkap. Lampu remang di sudut kafe tepat di atas bar menambah kenyamanan ini. Aku duduk di dekat bar bersama Shannon di sampingku, lalu Reyn keluar dari dapur membawa dua cangkir kopi ke arah mejaku.

“Nikmati terlebih dahulu. Kami akan selesai sebentar lagi.” katanya sambil meletakkan cangkir itu ke hadapanku.

Aku hanya mengangguk. Kafe ini sepi, dan hanya ada dua pengunjung yang duduk di sudut kafe, di sofa panjang dekat jendela. Lalu, Reyn dan Fionagh tiba setelah beberapa menit.

“Maaf kami sibuk hari ini.” sapa Fionagh sambil duduk dan melepas celemek yang melingkar di pinggangnya.

“Bukan masalah. Terima kasih untuk kopinya.” balas Shannon sambil menyesap kopinya.

“Apa kalian mau tutup?” tanyaku melihat kafe yang sepi ini.

“Ya. Kami sengaja tutup lebih awal. Kalau tidak salah tengah malam akan ada perayaan di kafe ini.”

Aku tersenyum hanya dengan melihat kami duduk bersama, menyesap cangkir kopi masing-masing, dan membicarakan hal yang ingin kami bicarakan bersama.

“Ada apa, Marie?” tanya Reyn tiba-tiba.

“Aku tak menyangka kita bisa seperti ini.”

Semuanya terkekeh mendengar jawabanku, entah itu salah—aku merasa bahagia sekarang ini.

Begitu kami ingin bergegas pergi. Aku mencoba duduk di kursi untuk menunggu Fionagh yang sibuk membersihkan kafe, di sisi jendela—tempat yang biasa kududuki. Dapat kulihat tulisanku di dinding sudah hilang, mungkin sudah tak lagi penting untuk dibaca. Sesuatu menarik perhatianku di jendela. Segaris air membasahi jendela ini, sejajar dengan arah pandangku. Embun hujan. Lalu setitik air membasahi sudut jendela lainnya, dan disusul oleh sebuah gerimis. Aku segera berdiri, mencoba menemui Fionagh yang masih terus bekerja.

“Aku harus pergi sekarang. Ada sebuah janji, sore ini.” kataku terengah-engah mengatakannya.

“Kalau begitu cepatlah pergi.”

Aku berlari melewati Shannon yang memandangku dengan tatapannya yang bingung lalu melewati ambang pintu yang segera kubuka. Menerobos gerimis, menyeberangi jalan yang padat oleh penyeberang, berlari menyusuri trotoar yang padat oleh pejalan kaki. Aku harus menemui Derryl.

“Marie pergi ke mana?” tanya Shannon sambil menenteng tasnya.

“Dia ada janji sore ini, jadi dia segera pergi.” balas Fionagh sambil memunggungi Shannon.

“Janji apa?”

Seorang bermantel hitam itu berjalan menghampiri seorang lain yang bersandar menatap jembatan batu di seberang. Payung hitamnya terlipat dan berada pada genggaman erat tangannya.

“Lama kita tak bertemu.” sapanya dengan suara lembutnya.

Derryl segera menegakkan tubuhnya untuk memandang orang yang menghampirinya. Tangannya bergetar, terkatup rapat menahan sebuah emosi.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dengan suara bergetar.

“Kau tak perlu takut seperti ini. Aku hanya sekedar melintas.” jawab Kyle sambil menyungging senyum lembutnya.

“Cepatlah pergi. Dia akan datang—kalau saja aku tidak mengingatkannya.”

“50 langkah lagi dia akan tiba.” balasnya sambil menatap lurus ke Derryl.

“Aku memintamu untuk pergi.”

“30 langkah lagi. Tampaknya dirinya sedang berlari.”

“Aku tak sedang bercanda. Pergilah, aku yang lebih dahulu menemuinya.”

“Kalau kau perlu tahu, aku bertemu dengannya di hari kau menghancurkannya. Di pemakaman ibunya, aku bertemu dengannya untuk pertama kali.”

Terdapat jeda sejenak untuk Derryl membalasnya. Dirinya bingung untuk mengatakannya, tampak ragu jika aku harus tiba cepat di sini.

“10 langkah lagi. Dia sudah terlihat di sana.” Kyle memandangku yang tengah terengah-engah di ujung jembatan.

Derryl segera membalikkan tubuhnya, mencoba mengikuti arah pandang Kyle. Kurasakan gerimis ini menjadi lebat. Kubuka payung kuningku sebelum kembali melangkah mendekat pada mereka. Aku melangkah begitu melihat jembatan ini aman untuk dilewati di tengah hujan. Mengangkat payungku untuk juga melindungi Derryl bersamaku begitu diriku tiba di sisinya.

Kulihat Kyle terpaku melihatku, diam, dan membisu. Tangannya bergetar menopang payung hitam di tangannya. Bibirnya mulai terbuka untuk mengatakan sesuatu. Sementara Derryl tertunduk begitu aku tiba.

“Di mana payung hitammu?” tanya Kyle dengan ragu.

“Aku meninggalkannya di rumah.”

Terdapat jeda panjang dan hening di antara kami. Sementara Derryl terus memilih untuk diam semenjak tadi.

“Derryl.. Apa ini kepastian yang ingin kau katakan padaku?” tanyaku sambil memandang Derryl dengan kesal.

Derryl segera mendongakkan kepalanya dan memandangku. Lalu dirinya mengulum senyumnya padaku, dan beralih pada Kyle di hadapan kami.

“Ya. Ini yang ingin kukatakan padamu.” jawabnya sambil terus memandang Kyle yang  terdiam.

“Apa maksudmu?” tanyaku kebingungan melihat situasi seperti ini.

“Seperti kataku tadi pagi, aku tak mungkin bisa menghancurkan kebahagiaanmu saat ini. Maafkan aku.”

“Aku tak seharusnya datang.” Kyle segera berbalik cepat dan mencoba melangkah pergi.

“Tunggu, kau dan Marie berhak mendengar—”

Kalimatnya terputus begitu saja, menggantung di udara. Membuat Kyle menghentikan langkahnya dan mencoba berbalik lagi.

“Sebenarnya yang mencintaimu Marie bukanlah diriku, tapi Kyle.”

Aku bergetar mendengarnya. Lututku terasa lemas hanya untuk menopang diriku. Aku tak percaya ini semua. Apa yang dikatakan Derryl padaku sebelum ini? Aku salah menilai. Tak seorang pun akan memahami jalan cerita ini. Aku tertunduk, dan dapat kulihat Derryl melangkah pergi memecah hujan yang dibuatnya untukku.

Tangisku tak dapat ditahan lagi hanya dengan mendengar jawabannya tadi. Apa yang bisa dilakukan Kyle untukku sekarang?

Dirinya mendekat, melepaskan payungnya, dan mencoba mendekap diriku. Aku mencoba menghindar, namun tak ada seorang pun yang dapat membantuku.

“Derryl sudah pergi.”

Aku hanya bisa menepis perasaan ini, mencoba mendengar kelanjutan apa yang akan dikatakan Kyle padaku. Hingga tanganku bergetar dan menjatuhkan payungku dari tanganku.

“Aku yang egois, Marie. Derryl yang seharusnya tidak meminta maaf padamu. Maafkan aku. Karena aku tak tahu akan apa yang sebenarnya dirinya ingin katakan padamu saat ini.”

Aku hanya bisa bergeming. Hingga dekapan itu kurasakan merenggang, dan napasku mulai kembali teratur. Kyle terus berusaha menjelaskan.

“Derryl yang bersungguh-sungguh mencintaimu.”

Segera kudongakkan kepalaku untuk memandangnya. Kyle segera memalingkan wajahnya, mencoba menghindari tatapan denganku. Hujan mendengarnya, hingga dirinya mencoba menghentikan dirinya untuk berhenti menghujaniku.

“Kalian mempermainkanku, hah?” tanyaku dengan geram.

“Tidak. Kami hanya sama-sama mencintaimu.”

“Lalu apa yang terjadi sekarang ini? Tak ada satu pun dari kalian yang berani.”

“Biarlah aku yang menjelaskan padamu. Kami memang saling mengenal, aku mengatakan padanya bahwa aku pernah bertemu denganmu sebelum kau mengenalnya. Hanya sayangnya, kau tak mengenalku saat itu. Tapi Derryl yang terlebih dahulu mencintaimu.”

“Derryl yang membuat ibuku pergi.”

“Jangan jadikan itu sebagai alasan. Dia mencoba jujur padamu. Dia ingin tetap di sisimu.”

“Kenapa kau lakukan ini demi Derryl? Kita semua berbeda. Pikirkan satu hal, Derry telah membuat skenario ini dari awal. Aku menerima kesalahannya itu, tapi apa yang telah diperbuatnya saat ini?”

Kurasakan waktu harus berhenti sekarang, biarlah jawabnya tertahan. Aku sedang tak ingin hidup dalam keadaan seperti ini. Derryl benar, dirinya berusaha agar diriku tak hancur karenanya untuk kedua kalinya. Tapi aku tak bisa memutuskan perasaan ini.

Angin musim panas bertiup menerpa diriku. Kedua malaikat yang sama-sama egois, memikirkan dirinya sendiri. Dapat kusebut punggung di bawah payung hitamlah yang jauh berani. Namun, begitu naif untuk mengetahui dirinya sendiri.

©FYP

Continue Reading

You'll Also Like

1.7K 217 5
"i tried so hard and got so far, but in the end it doesn't even matter" . . . . . . Sona tidak tahu perjuangan apa yang sedang ia lakukan. mencoba m...
6.3K 324 97
Step Out,We Are Stray Kids YOU MAKE STRAY KIDS STAY
3.7M 79.6K 50
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...
314K 2K 11
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...