BAMANTARA

By Putriyow23

75.3K 5K 296

Sang penguasa udara yang bertemu sang ilmu. Melihatmu terbang di atas awan adalah hal yang paling membahagiak... More

Sabtunya Nata dan Dara
Mengenal Aldi
Awal
Mengenal Nata
Hilang.
Sebentar.
Abang dan Kakak.
Nata Marah
Aneh.
Waktu Berlalu.
Farewell Party
Farewell Party(2)
Interogasi: Luv Fam
Kembali berjarak.
Sisi Nata
Open Q&A
Halo Bamantara
Jalan Masing-Masing.
Kembali?
BAMANTARA Lebaran

Pacar?

2.2K 220 4
By Putriyow23

Untuk apa sebuah hubungan jika sedari awal saja sudah tidak dilandasi dengan sebuah kepercayaan?

Untuk apa ikatan jika yang sedari awal bersama saja bisa timbul pengkhianatan?

Untuk apa rasa jika sedari awal saja sudah membuat luka?

Untuk apa bersama jika sedari awal saja aku dan kamu tidak pernah bertemu menjadi kita?

***

"Eh Nata?"

Suara ayah menyadarkan semuanya, pria jangkung yang ada di depan rumah kami saat ini adalah Nata. Nata dengan sepeda motornya serta setelan baju olahraganya yang aku hapal. Sepertinya dia langsung kesini setelah lari pagi. Tidak penting.

Dia mendekat lalu menyalami punggung tangan ayah dan bunda. Abang dan kakak ternyata lebih memilih langsung masuk ke rumah mengabaikan sosok pria yang membuat adiknya kecewa. Tadi mereka sempat menarik tanganku namun di cegah oleh bunda. Bagi bunda, masalah sekecil apapun harus diselesaikan.

"Ayo nak, masuk." Ajak bunda diikuti oleh anggukan ayah.

"Nata ingin berbicara dengan Dara, Bun." Ujarnya seperti meminta izin.

"Iya boleh, ayo masuk dulu." Aku menghela nafas, sungguh aku sedang tidak dalam keadaan yang baik untuk membicarakan hal ini.

"Di sini aja!" Titahku begitu tiba di teras rumah.

"Loh kok gak di dalem?" Tanya Ayah begitu mendengar permintaanku.

"Gapapa Yah, di sini saja." Aku memandang Nata yang menyetujui dengan mudah.

"Yasudah, mau minum apa Nata? Biar Bunda buatin."

"Gak usah Bun, Nata cuma mau bicara sama Dara."

Setelah ayah dan bunda masuk, aku duduk di salah satu kursi teras yang diikuti oleh Nata. Aku tau sedari tadi dia memandangku, tapi aku mencoba mengabaikannya.

Aku hanya merasa semuanya terlalu cepat, aku butuh waktu. Gak mungkin aku bisa bersikap baik-baik saja setelah kejadian tadi malam. Ini bahkan belum dua puluh empat jam!

"Dara," panggilnya lirih. Sungguh aku tidak ingin menghadapinya saat ini.

"Maaf," lanjutnya.

Aku menghela nafas sejenak, "Tidak ada yang perlu dimaafkan, memang dari awal seharusnya tidak ada yang memulai lebih dan tidak ada yang berharap lebih."

Aku kira dia akan menerima saja apa yang aku katakan nyatanya tidak. "Nggak Dar, aku salah, aku-

"Apa kesalahan kamu, Aldi?" Sikapku berubah dingin, tidak lagi memanggilnya 'Nata'.

"Nata, Dara! Nata!" Ujarnya seolah memohon. Aku tidak menyangka panggilan seperti itu terasa begitu penting.

"Apa kesalahanmu?" Aku mengabaikannya.

"Aku-aku...-"

Yang salah memang bukan dia, tapi hubungan kami. Aku tau itu. "Kamu saja tidak tau apa kesalahanmu lalu mengapa meminta maaf?"

"Aku salah, aku tau salah aku dimana. Maafin aku yang belum percaya kamu, maafin aku yang belum bisa cerita semuanya sama kamu, aku mohon maafin aku." Aku menatapnya nanar. Apa benar itu kesalahannya? Apa benar itu yang membuatku marah? Apa benar- siapa aku? Aku tidak memiliki hak untuk marah padanya.

Kali ini, untuk kali ini aku benar-benar ingin melepas semuanya. Aku... Akan menerima resiko terburuk jika harus benar-benar berpisah dengannya.

"Nata," panggilku kembali memanggilnya begitu.

Dia terlihat sedikit antusias, kini aku memberanikan diri menatapnya. Matanya terlihat lelah, apa dia tidak tidur semalaman? Tanganku menyentuh pipinya, jariku mengusap wajahnya, rahang tegasnya selalu menjadi poin penting yang membuatnya terlihat tampan.

"Siapa kita?" Tanyaku lirih. Untuk pertama kali aku bertanya hal ini setelah sekian lama bersama. Dia terkejut dan terdiam, aku merasakannya. "Aku dan kamu... Apa?" Ulangku entah jelas atau tidak.

"Kita.... Kita...-" Dia tergagap. Aku tersenyum seolah mengerti.

"Dari awal memang tidak ada kata 'kita' diantara aku dan kamu. Jadi, meskipun aku dan kamu tidak lagi bersama juga tidak akan ada masalah. Karena tidak ada yang harus diakhiri, Nata."

Tangannya meraih tanganku yang masih setia mengusap wajahnya. Dia menggenggam tanganku erat, aku merasakan hangat yang begitu mendalam.

"Aku tau aku salah karena tidak memberikanmu kepastian sejak awal, tapi Dara aku sayang sama kamu. Rasa yang aku punya tulus untuk kamu, memang tidak ada yang harus diakhiri karena kita tidak akan berakhir."

Aku terdiam, lalu sebelah tangannya maju dan mengusap bawah mataku. Ah ternyata aku sudah menangis, dasar cengeng kau Dara!

Aku menatapnya, matanya memang tidak menunjukkan kebohongan. Tapi tetap saja rasanya berat.

Aku menghela nafas hendak menjawab tapi terpotong oleh perkataannya yang membuatku kaget.

"Kamu... Mau jadi pacar aku?" Aku tidak tau adegan apa yang sedang dia lakukan sekarang. Tapi jika dipikir secara logis, ini sungguh tidak romantis.

Lagi, aku memandang wajahnya melihat ketulusan yang besar di sana. Aku memperhatikan tanganku yang masih digenggamnya. Begitu pas, saling mengunci satu sama lain. Lalu aku tersenyum miris, air mataku luruh seketika. Aku terisak sambil terus memandang kuncian tangan kami. Ini yang selama ini aku harapkan tapi mengapa rasanya begitu sulit untuk sekedar mengatakan 'Ya'?

Aku melepas genggaman kami, lalu beralih dengan mengusap punggung tangannya, memperhatikan setiap buku jarinya. Tangan besar ini yang selalu memberi kehangatan, yang selalu menghapus jejak air mata, yang selalu rela menghapus keringat yang jatuh saat menemaninya lari dan yang selalu menggenggam erat dimanapun berada. Aku akan merindukan tangan ini.

Kali ini aku menatapnya, aku merentangkan tanganku meminta untuk dipeluk yang langsung disambut olehnya. Terserah apa tanggapan tetangga dan keluargaku, aku benar-benar ingin memeluknya saat ini. Tanganku melingkar di lehernya, aku menangis sesegukan di sana, menumpahkan segala rasa yang kini tengah membuncah.

Tangan besarnya mengusap punggungku yang bergetar. Aku mendengar gumamannya yang terus meminta maaf.

Setelah dirasa cukup tenang aku akhirnya melepas pelukan yang teramat erat itu. Dia mengusap wajahku yang penuh air mata. Kini bukan dia yang menggenggam tanganku tapi aku yang menggenggam tangan besarnya. "Semangat untuk semua ujiannya calon pilot masa depan. Aku tau itu bukan keinginan kamu, tapi kamu harus percaya apa yang orang tua kamu kehendaki itu pasti yang terbaik. Dan ya memang masih lama, tapi mungkin aku gak bisa menemani. Jadi aku sampaikan sekarang aja." Aku tertawa miris di akhir kalimat.

Wajah Nata memucat, tanpa aku sangka. "Maksud kamu apa?"

Aku menguatkan diriku agar tidak menangis lagi. "Maaf, aku gak bisa jadi pacar kamu." Putusku dengan yakin.

"Tapi kenapa? Dara maafin aku, aku gak bermaksud buat ngegantungin kamu selama itu. Aku bukan gak punya niat buat ngikat kamu, tapi-

"Nata, apa gunanya hubungan tanpa dasar?" Selaku. Aku memang tidak berpengalaman dalam pacar-pacaran. Tapi saat kami tidak berpacaran saja dia tidak bisa mempercayaiku, kedekatan kami juga tidak bisa dibilang singkat. Selama ini aku bisa mengabaikan status karena berpikir meskipun tidak ada status yang jelas Nata dan aku tetap satu, kami tetap berhubungan layaknya orang-orang pacaran. Jadi aku pikir tidak masalah.

"Dasar? Dasar apa?" Lihat, dia bahkan tidak tau.

"Untuk apa sebuah hubungan tanpa kepercayaan? Dan lagi, untuk apa kamu menawari sebuah hubungan disaat seperti ini, bukankah sebelumnya kamu baik-baik saja tanpa adanya hubungan yang jelas?"

"Maafin aku, aku tau aku salah untuk itu. Tapi aku serius mengajak kamu pacaran, bukan untuk membujukmu agar berbaikan denganku tapi memang untuk kita, untuk kita kedepannya, Dara."

"Bukan itu yang aku butuhkan! Aku butuh kepercayaan kamu! Bukan status pacaran!" Sepertinya pembicaraan ini tidak lagi bisa dilanjutkan. Aku semakin kalut, aku takut perkataanku mulai tidak jelas dan menyakitinya.

Tidak ku sangka, bang Rendra keluar karena mendengar makianku pada Nata. Aku suaraku begitu kencang?

"Dek? Lo pulang dulu aja Nat, kasih Dara waktu."

"Abang masuk!" Perintahku meskipun aku membenarkan perkataannya.

"Tapi dek-"

"Masuk Bang! Aku mohon!" Akhirnya bang Rendra menurut.

"Dara, aku sayang sama kamu, kamu tau itu. Aku gak pernah main-main sama kamu, Dar!" Tangannya maju ingin mengusap air mataku, lagi. Tapi dengan cepat aku menepisnya.

"Pulang! Keputusan aku tetap sama, tidak perlu pacaran atau apapun, perbaiki diri masing-masing! Selama ini aku bisa nahan semuanya, meskipun aku sama kamu gak pacaran, aku ngerasa semuanya gak terlalu penting asal kita selalu bersama dan saling melengkapi. Tapi aku salah, ternyata egoku tidak bisa menerima kisahmu yang sampai sekarang tidak jelas dan lagi aku tidak bisa menerima orang yang aku suka, orang yang aku sayang berpelukan dengan gadis yang entah kenapa malam itu terlihat mengenaskan. Maaf, tapi nyatanya aku emang egois. Untuk kali ini aku tidak lagi ingin menekan egoku." Iya mengenaskan, tidak masalah jika kemarin malam Rea tiba-tiba pingsan atau apapun yang menunjukkan dirinya sakit. Tapi kejadiannya apa? Dia hanya meraung seperti orang gila!

Aku sadar semakin lama aku berbicara dengannya semakin tidak jelas maksud dari perkataanku. Kan aku sudah bilang jika sekarang bukan waktu yang tepat untuk berbicara!

"Dara..."

"Pulang Nata, aku mohon!" Lirihku akhirnya merasa lemah.

"Baiklah..." Dia berdiri, aku mengikutinya berniat mengantarnya hingga depan pagar. Nyatanya aku tidak pernah siap untuk melepasnya.

Dia maju lalu memelukku lagi, aku tidak membalas tapi kembali menangis kuat. "Maaf," ujarnya lirih lalu mengecup puncak kepalaku lama. Ini pertama kalinya ada kecupan diantara kami.

Tangannya lagi-lagi mengusap wajahku lalu berakhir dengan menggenggam kedua tanganku erat. Seolah tidak ingin berpisah.

"Tidak ada yang berpisah diantara kita." Aku menegaskan kembali. Dia mengangguk, aku merasakan genggamannya mulai melepas.

"Aku pulang." Pamitnya, aku memandangnya yang mulai menaiki motornya. Dia memandangku sekali lagi, lalu mulai menjalankan motornya menghilang dari perkarangan rumahku.

Setelahnya aku terduduk, meraung kuat membuat keluargaku keluar dan memandangku iba.

Mengapa sesakit ini?

Bukankah aku bilang tidak ada yang berpisah?

Tapi, dia bahkan tidak ada niat menjelaskan yang terjadi semalam.

Aku memandang ayahku lalu merentangkan tangan. Aku butuh cinta pertamaku untuk menyembuhkan rasa sakit yang sangat mendalam ini.

***

U

wuw note:

Sepertinya, cerita ini akan menjadi cerita yang singkat. Aku gak janji ini bakal tamat leboh dari 30 part. Karena sekarang saja kita sudah berada di puncak konflik.

Maaf ya, tapi aku tetap bakal ngasih yang terbaik untuk kalian.

Sekian,

Happy reading.

Met malming.

Luvvv

Continue Reading

You'll Also Like

5.6M 375K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
6.5M 214K 74
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
1.3M 58.4K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
890K 87.8K 49
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...