Fate : A Journey of The Blood...

Galing kay monochrome_shana404

18K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... Higit pa

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 3.1

80 18 46
Galing kay monochrome_shana404

Musim panas memang waktu yang paling Kirika benci. Besar kebenciannya juga berlaku untuk musim dingin. Ironis bagi seorang mantan atlet figure skating. Namun, bagaimana pun keduanya memiliki suhu udara yang tak begitu ia senangi.

Kali ini, entah mengapa berada di tengah taman bermain yang begitu sepi sekali pun, Kirika merasa tenang. Persis di tempat duduknya yang rawan akan khalayak, tiada satu pun ia temukan tanda-tanda orang yang hendak menumpang lewat, atau bahkan menghampirinya.

Hanya saja satu hal yang bisa ia pastikan tanpa ia harus mengedarkan pandangan. Ialah keberadaan seseorang yang begitu familier, tepat di sampingnya.

Sosok yang begitu lama ia rindukan.

Meski telah mendapatkan kenyamanan, tetap saja tak menutup kemungkinan bagi rasa canggung menghampiri keduanya. Baik Kirika dan pria muda di sampingnya masih enggan untuk bertemu tatap, pula tiada seorang pun yang berkeinginan berpindah tempat atau sekadar bergerak ... seperti melemaskan otot-otot tubuh, misalnya.

Sepi terasa kala dengkusan bahkan mampu terdengar. Ya, setidaknya Kirika berhasil melakukan itu untuk menyibak sunyi di sekitar sini.

Sembari manik delimanya bergerak hendak terpaku kepada lembayung yang menyebarkan warna kontras di tempat ini, berakhir Kirika bersuara setelah sekian lama membuka mulut.

"Jadi ini bukan akhirat, ya?" Ucapannya sukses mengundang pria muda yang menemaninya menoleh. "Kedatanganmu sedikit menakutkanku, Tuan Kurihara."

Tawa kecil meledak dari lawan bicaranya. Jelas tiada tipuan dari nada suaranya yang mengalun lembut. Pun, tersirat jelas perasaan yang sejak lama ia simpan dalam kumpulan binar di irisnya yang sewarna laut dalam.

"Padahal aku sudah berkali-kali mengingatkanmu untuk memanggil nama depanku saja." Amat enteng bagi Akira mengalihkan pembicaraan. Namun, secepatnya ia mengembalikan dirinya kepada topik yang dibawa Kirika, "Tapi ... ya, ini bukan akhirat."

Lantas netra biru gelap tersebut mencerminkan sosok Kirika yang tampak memesona tepat angin membelai rambutnya. "Setidaknya kau masih sanggup bangkit, meski sudah tersungkur setelah melewati jalan yang luar biasa licin."

Amanat Tuan Abramov .... Kirika terkekeh.

Indera pendengaran Akira justru menangkap kekehan tersebut menyiratkan nada pilu. Dipandanginya Kirika menyunggingkan senyum tipis. Konon iris delimanya menyorot kecewa, lantas pemuda tersebut mendengkus panjang.

Lucu memang menyaksikan orang hidup yang mengharapkan kematian, selagi ia menginginkan hidup lebih lama untuk mencetak kenangan lebih banyak.

Akira tidak kuasa untuk tertawa di atas pernyataan itu. Tetap saja tak adil jika ia harus menaruh perasaan iri terhadap Kirika yang masih bernyawa. Sebab ia sendiri tahu, Kirika tidak lagi hidup dengan segala hal yang menyenangkan hatinya. Jangankan membuat kenangan manis, bahkan ketenangan hidup saja sangat sulit ia raih setelah ia terpaksa menggantung sepatu seluncurnya.

Terlalu banyak beban yang mesti ia pikul. Tanpa sadar pikiran Akira menggerakkan tangannya untuk merangkul Kirika, pun mendorongnya berkeinginan bergeser mendekatkan diri.

Sejurus kemudian dia melantunkan sepatah kata, "Bertahanlah sedikit dan akhiri segala yang terjadi jika sudah kau rasa cukup."

Sekadarnya Kirika tertegun atas tindakan Akira.

Kehangatan yang ia terima terasa begitu nyata. Akan sangat menyenangkan bila ia diizinkan menetap sedikit lebih lama. Hanya saja, dunia mimpi yang ia pijaki saat ini bahkan enggan membiarkannya terus-terusan di sini.

Perlahan pemandangan di depan mata memudar seiring Kirika mulai memberanikan diri bersandar di bahu Akira. Mereka melenyap mengikuti irama helaan napas panjang nan dalam. Demikian ia memutuskan memejamkan mata, mengharapkan kepalanya dapat mengingat segala detail yang sempat terlukis di sekitarnya.

Dia tahu ....

Ini waktunya baginya untuk bangun.

~*~*~*~*~

Langkahnya menyibak khalayak, menghindar dari sinar matahari yang membakar kulit. Padahal beberapa bagian penuh dengan awan kelabu. Sempat-sempatnya pemilik manik arang tersebut menengadah, meski agak singkat.

Aneh memang, mengingat kini baru saja memasuki pertengahan musim panas.

Aoi memasuki rumah sakit, buru-buru menghampiri lift yang hampir tertutup rapat. Beruntung salah seorang petugas kebersihan berbaik hati menekan tombol untuk menahan pintunya.

Bahkan Aoi menyempatkan diri mengalihkan pandangan kepada ponsel yang baru ia raih dari saku kemeja. Begitu singkat jempolnya bekerja di atas layar, hendaknya mencari sebuah pesan yang ia ambil gambarnya agar ia tidak perlu repot-repot mencari informasi tersebut.

Namun, alih-alih memastikan nomor kamar pasien, perbuatan itu sesungguhnya hanya dibuat dengan harapan mampu menetralkan perasaan tak tenang di dalam dada.

Lift berdenting sesuai melewati dua lantai. Maka Aoi keluar dan berjalan semakin cepat seusai berbelok ke kanan. Di ujung, ia mendapati Silvis yang sedang menumpu kening sembari memejamkan mata. Jasnya tertanggal pada kursi di samping yang kosong, pun dasinya sedikit kendur.

Aoi mengaku, ini merupakan pemandangan yang langka; Silvis terlihat berantakan.

Tepat mendengarkan ketukan lembut dari sepatu Aoi, dia menegakkan punggung dan menoleh. Bahkan sosok yang senantiasa jarang berekspresi di depan banyak orang itu tengah mengernyit dalam. Aoi tidak tahu apakah ia sedang marah, atau kekhawatiran kian memuncak di dalam diri Silvis.

Sebenarnya ia menduga bahwa ... kernyitan dari Silvis memanglah ditujukan kepadanya. Lantas sekadarnya Aoi membungkuk hormat, demikian tak tahu berbuat apa selain berdiri kaku dengan pandangan yang terpaku ke lantai. Suara televisi terdengar nyaring memenuhi lorong sepi. Berita yang ... kurang enak didengar bagi keduanya, tentu saja. Baik Aoi dan Silvis sebisa mungkin mengabaikan si penyiar yang terus bersuara.

Sementara Silvis berpaling bersama embusan napas gusar.

"Bohong jika aku mengatakan bahwa dia sudah baik-baik saja." Akhirnya ia memecah hening di antara mereka. "Tapi dia sudah bangun dan segera memintamu untuk menghadap padanya."

Penantian setelah sembilan hari berakhir. Hanya saja, tetaplah Aoi masih belum siap menemui Kirika yang sepenuhnya siuman. Entah kemarahan macam apa yang hendak dilimpahkannya nanti, Aoi sama sekali tidak tahu.

Tapi mau tak mau ia harus mendatanginya.

Tepat ia mengetuk pintu, suara dingin memerintahkannya agar masuk. Demikian ia segera patuh, lantas mendapatkan sosok yang tengah duduk di atas ranjang, terlihat lebih bebas kala tak tampak lagi selang oksigen maupun infus yang menempel di lengannya. Ditemani sang bibi, pandangannya terus tertuju kepada Aoi.

Begitu canggung gerakannya, sedikit pun seolah enggan menatap empunya manik delima. Sempat ia tersentak kala Aleah berdiri, tetapi beruntung wanita itu segera menenangkannya tepat sebelum meninggalkan ruangan.

Demikian Kirika memerintahkan Aoi duduk tanpa suara. Pun, Aoi langsung memenuhi, sedikit pun enggan menyuarakan tanya.

Saat ini mengendalikan diri bahkan lebih sulit. Jantung yang bekerja lebih cepat, melompat-lompat. Tak sedikit pun membiarkan tubuhnya beristirahat dari nyali yang lebih dulu melemas. Akan tetapi, mau tak mau Aoi harus segera mengembalikan keadaan.

Misalnya, keadaan yang sedikit longgar di antara kecanggungan dimulai dengan membuka percakapan.

"Maafkan aku."

Persis seperti itu.

Namun, betapa terkejutnya Aoi kala ia menyadari patahan kata tersebut sama sekali bukan berasal dari mulutnya sendiri.

Atas keinginannya mendapat jawaban, ia menengadah bersamaan dengan tangan Kirika yang tak lama hinggap di atas puncak kepalanya. Memang, posisi ranjang kali ini agak sedikit tinggi. Aoi jadi tampak kecil, konon pula ia duduk dengan punggung terbungkuk.

"Padahal aku sudah berjanji untuk tidak membuat ciptaanmu menghancurkan orang-orang tidak bersalah." Kirika menambahkan sembari ia menurunkan tangan. "Aku bahkan tidak dapat membawanya pulang."

Ketiadaan Akira kembali terasa setelah Kirika mengatakan itu. Mati-matian Aoi menahan diri agar ia tidak berpaling, juga ia menelan cekat yang seketika merasuk di tenggorokan.

"Bukan salahmu." Tapi tetap saja ada gentar di setiap kata yang ia lontarkan. "Kami datang atas kemauan kami sendiri, kami yang juga menciptakannya. Jadi kami ikut bertanggung jawab setelah segala hal yang terjadi.

"Jadi ... kuharap kau tidak akan meminta kami untuk mundur."

"Ah ... padahal aku baru saja ingin menawarkannya."

Tentu saja timpalan itu membuat Aoi merengut. Dia menghela napas panjang, paham ia tidak bisa menukas sedikit pun.

"Tapi setidaknya biarkan kami bertahan sampai Akira kembali." Namun, tak lama Aoi kembali bersuara meski matanya tak sanggup memandang Kirika. "Hanya kami berempat yang bisa melawan Profesor dan Akira. Meskipun tidak dalam waktu dekat ... kau tahu ...."

"Aku mengerti. Mengambil alih kembali kendali Akira juga membutuhkan waktu ...." Kirika menukasi, tetapi seketika pula ucapannya terhenti. Lantas sebuah tanya yang menyelinap di benaknya. "Apa yang terjadi dengan salah satu di antara kalian?"

Aoi tertegun. Tatapan matanya seolah mengatakan, Aku pikir Tuan Silvis memberitahumu?

Tentu saja menoleh ke pintu secepat kilat pun, tidak sesegera mungkin mereka mendapatkan sosok tersebut di ambangnya seperti baru menerima pesan telepati mereka.

Ya, dia pun tidak mungkin memiliki keperluan mendesak sekarang.

Agaknya, mau tak mau Aoi memberitahukannya sendiri.

~*~*~*~*~

Embusan napas menciptakan uap mengepul di udara. Bagian dalam gedung teramat rapat, sedikit pun tidak ditemukan celah bagi pendingin ruangan menyelinap keluar. Dirinya sendiri di dalam sana, senandungnya ia hentikan agar tak lagi menggaung memenuhi lorong.

Demikian si pria muda berbelok menuju toilet yang juga berpenghuni. Begitulah kebanggaan di dalam dirinya mulai memuncak, rasanya enggan sekali absen memandangi wajah yang membayang di cermin. Dia tersenyum miring, maka bayangannya melakukan hal serupa dalam serentak pula.

Tangannya bergerak merogoh saku jaket yang ia kenakan, sementara yang tersisa mulai melepas plester yang menyembunyikan dua tahi lalat di bagian kelopak mata bawah sebelah kanan. Tanpa diminta, mulai mencuci tangan tepat sebelum mencabut lensa kontak hitam sekaligus, memperlihatkan warna merah menyala di dalam matanya.

Sebagai sentuhan akhir, Kenji mengacak sedikit rambutnya sebelum berkeliling mengitari toilet dan berhenti di tengah. Langkah yang ia tapakkan selanjutnya, membuat dirinya utuh seperti tertelan ke ruang bawah tanah.

Samar-samar telinga Kenji mendapati suara televisi tabungnya menyala. Terkaannya benar bahwa saat ini televisi itu tengah menampilkan kanal yang menyiarkan berita. Hati-hati ia mengetuk tapak sepatunya, agar ia mampu mendengarkan penyiar.

Sesungguhnya ia tak lagi ingin mendengar penyiar berbicara. Tepat setelah mendapati cuplikan Kirika yang sedang diserbu oleh para wartawan. Wanita yang dikabarkan cukup lama tak sadarkan diri itu rupanya sudah siuman. Lantas ia mengulum senyum, seolah itu merupakan peristiwa yang sangat ingin ia lihat.

Tak lama ia mendengar helaan napas kasar di belakangnya. Jarak sumber suara tak lebih dari sepuluh langkah. Akan tetapi, suara lensa yang terbanting cukuplah memperjelas empunya suara sedang tak elok suasana hatinya.

Kenji mengulas senyum tipis, sembari demikian mulai berbalik hendak menghampiri Eleonor sendirian di sana. Maka ia berujar, "Katakan apa yang kau butuhkan. Aku akan menyediakannya untukmu."

"Aku hanya tak menyangka dia bertekad merusak lensanya ...." Selagi Eleonor berujar, keduanya bersama-sama terpaku Akira dalam kondisi mati.

Hal yang teramat jarang terjadi, Akira tertidur dengan lensa meredup. Ketimbang menyatakan ia sedang tidur, dia bahkan lebih mirip dengan boneka besar tak bernyawa.

"Mungkin aku membutuhkan lensa kamera baru dan membutuhkan sedikit waktu untuk memperbaikinya."

"Maafkan aku atas keterbatasan peralatan yang kau butuhkan," kata Kenji, mulai berbelok ke sofa yang baru dipindahkan tak begitu jauh dari posisi di mana Eleonor bekerja. Begitu duduk, ia mengangkat tangan, mengisyaratkan agar Eleonor duduk di sebelahnya. "Tapi aku sudah meminta Jackal untuk datang bersama lensa kamera yang kau butuhkan."

"Lensa kamera bukan masalah besar. Beruntung pelurunya tidak menembus ke bagian memori dan sistem kendali." Demikian Eleonor duduk di sebelah Kenji, lantas ia mengambil sebuah jus kaleng yang berjajar di meja. Telunjuknya semula meraba cincin kaleng sebelum menarik cincin tersebut yang kala kemudian mendesis singkat. "Katakan padaku. Jackal akan benar-benar tiba hari ini?"

Netra biru tersebut tertuju kepada empunya manik merah yang menyibukkan diri kepada ponsel. Eleonor mendengkus, memandangi layar ponsel Kenji yang pecah di beberapa bagian. Tampak menyedihkan, tetapi ia lebih memilih membungkam mulut dengan meminum jus kaleng di tangannya; enggan repot-repot berkomentar soal itu.

"Tentu. Itu pun kalau ia masih mengingat jalan pulang," jawab Kenji tak lama kemudian. Sementara jempolnya sibuk menggeser layar. "Tapi dia berkata, ia sudah menyelesaikan semua urusannya, jadi dia akan kembali cepat atau lambat."

Desah puas melantun seusai dahaga terlepas. Maka Eleonor kali ini memilih memandang lubang kaleng minuman yang tak mampu ia dapati bagaimana isinya di tengah temaram.

"Jackal itu ... aku hanya sedikit penasaran mengenainya." Eleonor menggerakkan tangannya memutar seperti sedang mengaduk isi kaleng. "Kau sudah mendapatkanku ... lalu kau menghubungi Jackal untuk mengurusi Akira."

"Wah, kau cemburu?"

"Tidak ... hanya saja ... katamu, dia sedikit berbahaya. Kalau begitu, mengapa kau ingin kembali bekerja sama dengannya?"

Salah satu sudut bibir Kenji tertarik naik. Namun, sama sekali ia belum berminat menoleh atau sekadar melirik Eleonor.

"Aku mengakuinya. Tapi, percayalah. Dia juga punya sisi mengasyikan." Pada akhirnya Kenji berpuas diri menggeser-geser tampilan layar. Dia berhenti, lantas menyerahkan ponsel kepada Eleonor. "Contohnya, dia sedikit dramatis."

Eleonor menerima ponsel, bersama perintah tak langsung yang diluncurkan Kenji, mulailah ia membaca salah sebuah pesan yang tertera di layar ponsel sang tuan.

Aku sedang berjalan di dalam gelap. Hanya saja di waktu ini, siapa saja tidak akan menemukanku di tempat biasa aku bersemayam.

Tak perlu mencari, secercah jejak pun tidak akan membantu untuk memetik hasil yang kau harapkan.

Sebab barangkali ... aku tidak akan pernah lagi berbalik.

Namun, ia tak begitu paham mengapa Kenji memberikan itu kepadanya. Eleonor lebih memilih mengembalikan ponsel kembali ke tangan empunya, menunggu agar si pria muda menjelaskan.

"Bagaimana menurutmu? Cara yang sangat manis untuk mengucapkan selamat tinggal untuk orang-orang tersayangnya, bukan?"

"Ah, kupikir dia bekerja sendirian seperti katamu."

Sembari ia mengantongi kembali ponselnya, Kenji melirik Eleonor serta berujar lembut, "Ya, jika kau memerhatikannya, dia bekerja sendirian. Dan selalu begitu."

"... Maksudmu, aku mengenalnya?"

"Ya, kau mengenalku."

Suara itu bukan berasal dari Kenji.

Sebuah suara yang melantunkan bahasa Rusia begitu fasih, menggema di lorong masuk menuju tangga. Langkahnya menggema, seperti sengaja ia hentakkan di antara anak-anak tangga yang ia pijak; seolah ingin sekali ia diketahui keberadaannya.

Kenji menyeringai kala mendengar suaranya. Tak perlu menunggu sosok empunya suara tersebut tiba di hadapannya lebih dulu, ia bahkan lebih memilih bangkit sembari merentangkan tangan.

"Jackal!"

Kali ini suara Kenji sukses mengundang perhatian Eleonor. Pada akhirnya ia ikut menghampiri, hanya saja melangkah bersama rasa waswas. Langkahnya terhenti jauh di belakang punggung Kenji. Persis di kala itu, rasa penasarannya utuh menghilang akan sosok yang telah lama yang nanti-nanti.

Dia merupakan seorang pemuda berambut pirang ikal dipotong pendek, bertubuh jangkung, bahkan lebih tinggi dari Kenji yang tak lebih dari tulang pipinya. Dia pula bermanik kelabu, sedikit kebiruan jika dipandang lekat-lekat. Tepat mata indah itu tertuju padanya, Eleonor tersentak.

Eleonor merasa senyum yang pemuda itu umbar bersama sorot pandangan tanpa dosa tertuju kepadanya terasa begitu familier bagi sang profesor.

Aneh ....

Betapa pun Eleonor berusaha, otaknya enggan menyuguhkan petunjuk mengenai orang di hadapannya ini.

Selamat datang kembali.

Ingin bermain tebak-tebakan siapa Jackal? Ayo komentar sini xixixixi.

Akhirnya memutuskan mempublikasikan chapter baru. Mungkin bisa dijadikan sedikit motivasi untuk merombak dan menulis chapter-chapter baru lain wwwwwwww. Kadang-kadang saya memang suka selingkuh, karena babak kali ini lumayan penat juga hhhhhh. QwQ") Doakan saya supaya tetap hidup ueueueueue.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

25.6K 4.8K 21
cerita suka-suka yang penting cerita wkwk
10.4K 3.1K 39
Meskipun dikenal ramah, nyatanya kepribadian Era tidak semanis yang orang-orang lihat. Dia punya kebiasaan menilai seseorang dari penampilan luar, j...
1.9K 406 36
16+ for violence [Fantasy, Adventure] Lebih dari sepuluh abad lamanya seisi Dunyia berdamai sebagaimana semestinya. Hingga suatu kala tertulis sepint...
57K 5.2K 50
Shen Qing adalah Tuan muda dari keluarga Shen,ia mengantikan saudari perempuannya yang kabur di hari pernikahan dan menikah dengan musuh bebuyutan ny...