MENIKAH DENGAN SETAN

Per IsrinaSumia

269K 6K 305

Kematian keluarga Abyakta telah ramai terdengar di warga Deda Poncol Magetan. Peristiwa tahun 1968 telah meni... Més

PROLOG
PART 1
PART 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 17
Part 18
Part 19
Part 21
Part 22
BEDAH BUKU & OPEN CASTING

Part 16

8.9K 231 2
Per IsrinaSumia

#MENIKAH_DENGAN_SETAN
#PART_16
Oleh Isrina Sumia

Perlahan mata Halimah mengerjap, begitu lembut lelaki itu mengusap wajah istrinya hingga perlahan ia tersadar. Ia tarik lengan Rhandra, kemudian bangkit dan menatap matanya lamat-lamat. Bibirnya kelu, wajahnya sembab karena air mata.

“Rhandra, seseorang di bunuh di tempat ini, mereka membuang jasadnya ke sumur itu. Aku melihatnya Rhandra, aku takut.”

“Tenanglah Halimah, itu hanya halusinasimu saja.”

“Tidak. Aku mohon, kita harus melihat sumur itu,” ucap Halimah memaksa.

Rhandra diam berusaha menerka, hingga kemudian percaya dengan apa yang dikatakannya. “Akan aku lihat Halimah.”

“Aku ikut, aku ingin tahu.”

“Halimah, kamu masih syok.”

“Bersamamu aku merasa lebih baik, aku mohon.”

Rhandra bangkit, lalu membantu Halimah bangkit dari tempat tidurnya. Tak lama kemudian jeep hitam masuk ke dalam pekarangan vila mereka, mobil itu berjalan dengan pelan. “DARMIN!” teriak Rhandra yang tahu akan kedatangan Haikal.

“Ya, Den?” teriak Darmin yang berlari menuju kamarnya.

“Kamu jaga di bawah, lelaki itu datang lagi,” rutuknya kesal.

“Haikal,” bisik Halimah. Ya Allah kenapa Haikal terus mencariku, apa maunya?

“Ikut aku Halimah.”

Rhandra menarik tangannya, tak ada ruang rahasia di sana. Di lantai dua hanya sebuah kamar tak berpintu dan satu buah kamar mandi, mereka masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya dari dalam.

Lelaki bertubuh tinggi besar itu memeluk tubuh Halimah erat. Hingga kemudian teringat di bayangan Halimah, saat ia tak sengaja memergoki Rhandra di kamar mandi Gedong Tua, saat itu lelaki yang sudah sah menjadi suaminya terlihat bersih, dan hanya menggunakan sehelai handuk. Badannya tegap, perutnya rata dengan otot yang membentuk six pack, ada ruam-ruam merah di sekitar tubuhnya. Jantung Halimah berdegup, berulang kali ia menelan salivanya.

“Halimah.” Suara Haikal terdengar jauh.

“Mohon maaf, Tuan, Anda tak boleh naik ke atas!” teriak Darmin.

Haikal terdengar memaksa. Benar apa yang dikatakan Rhandra, bahwa Haikal mampu melakukan apa saja demi hal yang ia inginkan. Langkah kaki kian terdengar di telinga. Dahinya mengernyit karena kesal. Napas emosi sudah tercium oleh Halimah, wanita itu kian mendekat dan memeluk dada suaminya.

“Halimah, aku mohon keluarlah. Aku tahu kamu di sini. Aku tahu itu Mushafmu.” Begitu besar rasa yang muncul akan kehadiran Halimah. Haikal duduk di atas ranjang menunggu wanita itu keluar dari tempat persembunyiannya.

“Aku mohon, ibumu sakit parah.”

Seketika air mata Halimah jatuh, tubuhnya bergetar dan lemas, pandangannya kosong. Perlahan Rhandra terenyuh dan melepaskan genggaman,  membiarkan istrinya mengambil keputusan.

Tak lama Haikal turun, merasa tak mampu meyakinkan Halimah. Lelaki itu  keluar dari vila Abyakta, Sum dan Darmin mendampinginya. Mereka tak bicara tentang keberadaan Halimah atau apapun yang bisa membantunya.

Sementara di kamar mandi, sepasang mata saling bertatapan. Sebuah keyakinan mendadak hadir, bahwa dirinya akan berpisah, bahwa dengan cara ini ia harus melepas jemari lentik yang kini erat menggenggam lengannya.

“Pergilah Halimah. Pergilah bersamanya,” lirih Rhandra mencoba untuk kuat.

Halimah menggelengkan kepala. “Jika kamu tidak datang, kamu akan meninggalkan ...?”

“Aku akan datang, kapan pun kamu membutuhkanku aku selalu ada untukmu, aku janji.”

“Aku ingin bertemu keluargaku Rhandra, tak bisakah kamu yang mengantarku?”

“Halimah, lelaki itu akan terus datang. Dia akan terus bertanya tentang keberadaanmu, keluarlah dan berikan jawaban padanya kamu baik. Biarkan ia mengantarkanmu pulang. ”

Halimah terharu ia pun rindu dengan keluarganya. Pelan ia mengangguk kemudian memeluk suaminya dan berlalu. Rhandra menarik tangan Halimah keduanya saling menatap, begitu berat melepasnya. Ia raih kepala istrinya kemudian mengecup keningnya, “Jangan cari aku sebelum aku mencarimu, ingat! Dan jangan beritahu siapapun tentang keberadaanku,” ucap Rhandra.

Wanita itu mengangguk lalu keluar dan membiarkan pintu kamar mandi tertutup. Sebelum pergi, ia tulis beberapa pesan singkat di atas nakas lalu berlari ke bawah.

“Mas Haikal!” teriak Halimah , tak ada rasa saat berjumpa dengan lelaki yang sudah lama mencarinya. Wajah Haikal tak secerah dulu, tak ada sinar yang mampu menembus hatinya kini. Hati yang dulu gelap kini telah hangat dengan kehadiran Rhandra Abyakta.

“Halimah ….” Haikal tersenyum lebar kemudian berlari, air mata mendadak menetes di sudut mata. Lelaki itu begitu bahagia hingga tak terasa getaran di hati semakin hebat, seperti Adam yang berjumpa dengan Hawa ketika mereka diturunkan di Bumi. Pencariannya selama ini tidak sia-sia. Bagai air mengalir dari pegunungan, deras, terasa lega, kebahagiaan itu kini melangkah ke arahnya. Ingin rasa membentangkan tangan dan membiarkan Halimah lari kepelukannya. Aku mencintaimu Halimah, aku mencintaimu, kamu tak tahu betapa menyesal hati ini saat aku melepaskanmu, maafkan aku Halimah, aku mohon bisik Haikal dalam hati. 

“Halimah … kamu?” tanya Haikal lagi, melihat keadaannya tak seperti apa yang ia bayangkan selama ini. Halimah terlihat sehat, pakaian yang ia kenakan pun tampak baru. Raut wajahnya pun tak menunjukkan kesedihan.

“Saya baik, Mas. Maaf, tak seharusnya Mas Haikal mencari Halimah.” jawab Halimah datar.

“Maafkan Mas Halimah, Mas begitu khawatir padamu.”

“Non.”

“Saya akan kembali, Mbok,” ucapnya “jaga Rhandra ya Mbok, titip dia untuk saya,” lanjutnya berusaha untuk tegar.

Halimah naik ke mobil Haikal. Pikirannya kacau memikirkan Dasinun yang sedang sakit, juga Rhandra yang ia tinggal sendiri, jiwanya pasti sepi. Alangkah indahnya jika suaminya sendiri yang mengantar menjenguk ibunya. Mobil itu berjalan ke arah utara Magetan, kembali menuju desa tempat Dasinun dan adik-adiknya tinggal. Sepanjang perjalanan Halimah hanya memandang keluar jendela. Haikal berusaha mengajaknya berbicara, dan hanya keheningan yang ia dapatkan.

***
Mobil masuk pedesaan, lokasinya berada di antara Genilangit dan Poncol. Pesawahan terhampar, puluhan petani terlihat sibuk dengan pekerjaannya, kokoh gunung lawu berada tepat di hadapan.  Seketika kenangan akan Rhandra muncul, dalam sepersekian detik rindu itu hadir. Rindu kepada kekasih yang tak ingin berpisah. Rasanya mungkin seperti rindu Aisyah kepada baginda Nabi Muhammad yang tak pernah habis dan berkurang.

Mobil Haikal berhenti di rumah yang terletak di tengah pesawahan. “Di sana,” katanya seraya menunjuk dengan jemari.

Halimah turun dari mobil, ia menuju rumah yang sudah diberikan suaminya untuk keluarga kecilnya. Wanita itu turun, langkah bergetar, kala wajah wanita yang tak asing baginya muncul. “Bue,” teriak Halimah.

“Halimah!” Dasinun berlari, keduanya berhamburan seperti melepas luka yang terobati lalu berpelukan erat seraya menangis. Wanita itu mengusap wajah putrinya kemudian menciumi wajahnya tanpa henti.

Tak lama Dwi dan Sur datang dan berlari berhamburan, tak ada lagi rindu, luka yang ada hanya kebahagiaan yang sudah terbayar.

“Bue sakit, kenapa masih kerja?” tanya Halimah khawatir.

“Bue sehat kok, Nak. Bue hanya kangen sama kamu, Bue di sini tidak apa-apa, Sur juga Dwi baik-baik saja, kami semua justru mengkhawatirkanmu, Nak.”

Halimah memicingkan mata ke arah lelaki yang baru saja mengantarnya, bisa-bisanya orang berpendidikan berbohong hanya untuk memuaskan harapan juga keinginannya, kekesalannya semakin bertambah.

“Saya permisi dulu, Bue.” Lelaki itu mengulurkan tangan pada Dasinun kemudian mengecup punggung tangan Dasinun. Menatap wajah Halimah lamat-lamat yang terus mengacuhkannya.

“Terima kasih banyak, Nak Haikal,” jawab Dasinun.

“Nanti malam aku kembali Halimah,” ucap Haikal.

Halimah masuk ke dalam bersama Dasinun, dan tak memedulikan lelaki yang sudah setengah mati mencari keberadaannya.

Sementara di Genilangit, Rhandra masih termenung di kamar mandi, bersandar di sudut kamar mandi, menunduk diam dan menangis.

“Den, bisa saya masuk?” Suara Darmin terdengar dari luar.

Hening.

Darmin sudah seperti ayah baginya,selalu ada saat sedih atau terluka. Lelaki itu bagai pengobat untuk jiwanya yang luka, nasihatnya, perhatiannya tak berbeda dengan perhatian orang tua pada anaknya. Kemudian knop pintu terbuka. Anak lelaki yang sudah ia anggap seperti anaknya,  termenung, sorot mata tajam menatap lantai dan berkaca-kaca. “Den, ayo bangun.”
Tak lama tangisannya pecah, ia menekan giginya hingga sesegukan. Darmin peluk kemudian mengusap pundak dan membiarkan lelaki itu bersandar pada tubuhnya yang kurus. “Haaaaa!” teriak Rhandra menghancurkan keheningan di Vila Genilangit. Lelaki paruh baya itu memapah tubuhnya, dan merebahkan tubuh Rhandra di atas ranjang. Kesedihan memuncak karena ia tak mampu mempertahankan hubunganya bersama Halimah, semakin menggila saat ia tahu bahwa selamanya akan seperti ini. Kemudian merasa hampa ketika ia membayangkan Halimah takkan kembali, saat tahu kebenaran tentangnya, juga tentang keluarganya.

Sepasang netra menatap Mushaf Halimah dan surat yang terletak di nakas.

Rhandra, aku bawa jaketmu karena aku tahu pasti akan rindu padamu, aku tinggalkan Mushafku padamu. Aku mohon, jaga Mushaf itu baik-baik. Jika rindu, kamu bisa memeluknya.

Ia peluk Mushaf itu erat. Halimah pergi bukan untuk sehari atau dua hari. Ia yakin, Halimah akan tahu rahasia besar tentangnya dari orang lain, dan saat itu ia sangat yakin Halimah tak akan kembali untuknya. Sesegukan ia melepas cinta, dan menyesali rasa yang perlahan semakin membesar di jiwa.

***
Rhandra begitu peduli terhadap keluarganya, di dalam rumah pemberiannya bisa dilihat bagaimana lelaki itu memberikan tempat yang layak untuk Dasinun juga adik-adiknya. Ada ruang tamu, ruang makan, juga dapur yang tertata rapi, semua barang di rumah lamanya ada di sana. Bahkan mesin jahit lusuh peninggalan Ayahnya pun turut ia benarkan. Rhandra menepati janjinya, ia perlakukan keluarganya dengan baik, ia pun memberikan uang pada Dwi untuk dipakai secukupnya.

“Nduk,” sapa Dasinun yang melihatnya termenung selepas magrib.

“Ya, Bue.”

“Terima kasih ya Nduk, sudah bantu Bue dan adik-adikmu, kamu pasti bekerja keras untuk semua ini. Sebenarnya apa yang kamu kerjakan, kenapa tiba-tiba kita seperti orang yang serba cukup, Dwi titipkan uang yang cukup untuk kita pakai selama satu bulan. Semua ini kamu dapatkan dari mana, Nduk?”

“Bue, Halimah buatkan makanan ya? Sudah lama Halimah tidak memasak untuk Bue,” ucap Halimah mengalihkan pertanyaan Dasinun.

Ia siapkan makanan yang sebelumnya sudah dibeli ibunya di pasar, dan memasak dengan sungguh-sungguh, rindu yang begitu besar wanita itu tumpahkan hari ini. Ia rindu Bue dan kedua adiknya, Halimah rindu masa-masa bersama mereka.

Setelah makan malam wanita itu kembali ke kamarnya. Rasa rindu berkurang ketika ia mencium aroma suaminya di jaket yang sengaja ia bawa, cincin kayu, dan semua pemberian suaminya tersimpan rapih di ingatan, senyum, amarah, gelak tawa semua menjadi hal yang bisa menguatkannya.

“Halimah. Ada Nak Haikal di depan.”

“Halimah lelah Bue.”

“Temui dulu Nak, kasihan dia. Dia terus mencari dan menanyakan kabarmu.”

Luluh dengan ucapan Dasinun, ia dengarkan perintah ibunya untuk datang menemui Haikal. Lelaki itu tengah berdiri di teras depan, tubuhnya membelakangi dirinya, kedua tangan ia masukkan ke dalam saku. Baju koko berwarna biru yang selalu ia kenakan dulu, begitu bersinar di kulitnya yang putih.

“Mas.”

Haikal berbalik lalu tersenyum. Lesung pipit di wajah yang dulu ia rindukan kini terasa hambar. “Apa kamu lebih baik sekarang?” tanyanya.

“Langsung saja, Mas Haikal ada keperluan apa dengan Halimah?”

“Mas ingin minta maaf, Mas tahu kesalahan Mas amatlah besar,” tutur Haikal.

“Sudah Halimah maafkan Mas.”

“Terima kasih Halimah, lalu apa kita bisa mulai lagi dari awal?”

“Untuk itu, mohon maaf Mas, Halimah tidak bisa.”

“Mas Paham. Kapan pun, Mas siap menunggu Halimah.”

“Tetap tidak bisa Mas.”

“Setidaknya beri Mas kesempatan Halimah, meskipun hanya sekali, Mas janji akan memperbaiki semuanya,” tuturnya memohon.

“Tetap tidak bisa Mas, Halimah sudah tidak sebebas dulu,” ucap Halimah.

“Maksud kamu apa?”

“Halimah sudah menikah.”

Seketika tubuhnya membeku, bahunya mengendur, hatinya hancur mendengar jawaban Halimah. Ada setitik rasa tidak percaya di dalam hati, ia yakin wanita di hadapannya berbohong agar ia bisa pergi darinya. “Mas mohon Halimah, tolong jangan berbohong. Jawabanmu itu membuat Mas hancur.”

“Halimah tidak pernah berbohong Mas, semua yang Halimah katakan kebenaran. Bahkan penjelasan Halimah dulu bukan dusta, tapi Mas Haikal tetap tidak percaya dengan Halimah. Hari itu Halimah tidak butuh bukti, Mas. Halimah hanya butuh rasa percaya.”

Haikal menangis, ia menyesali perbuatannya. “Jika benar, dengan siapa kamu menikah?”

“Dengan orang yang memberikan bantuan padaku malam itu?”

“Katakan siapa?”

“Mas tidak perlu tahu,” tutur Halimah.

“Katakan Halimah!” rutuk Haikal dengan nada yang lebih tinggi.

“Mas tidak punya hak untuk tahu dengan siapa Halimah menikah.”

“Apa dengan penghuni rumah tua itu? Apa kamu menikahi jin atau sebangsanya?”

“Tutup mulut lancangmu itu, Mas!”

“Halimah, Mas masih mencintaimu. Jika itu terjadi padamu, mas akan membantu.”

“Rendah sekali dirimu Mas, bahkan gelar yang menempel di dirimu tak mampu menahan keegoisan juga kesombonganmu.”

“Katakan Halimah dengan siapa kamu menikah? Tidak ada satu pun penghuni di sana?”

“Rhandra Abyakta,” jawab Halimah menegaskan.

“Tidak mungkin, ia sudah mati Halimah.”

“Halimah bersyukur dengan kejadian itu, setidaknya Halimah terhindar dari Mas Haikal,” rutuknya mengakhiri percakapannya dan masuk rumah.

“Halimah, Mas mohon lelaki itu sudah mati. Percayalah Halimah.”

Wanita itu bersandar di balik pintu. Wajah Dasinun seketika pucat saat mendengar percakapan Halimah dengan Haikal. Tubuhnya bergetar, air mata mengalir. Sementara di luar, Haikal meratapi penyesalannya. Dan Halimah, tetap yakin dengan apa yang ia rasa. Meski perlahan rasa sesak menghampiri ketika mendengar Rhandra Abyakta telah mati. Ia menggelengkan kepala, kemudian perlahan kembali ke kamar.

“Rhandraku hidup … dia masih hidup, dia tidak mati. Tidak ….” ucapnya berulang-ulang, kemudian resah datang dan berubah menjadi isak tangis. Ia peluk jaket suaminya kemudian meringkuk di atas ranjang, “datanglah Rhandra … buktikkan kamu nyata,” lirihnya, menahan sesak di dada.

Continua llegint

You'll Also Like

XAVERIUS Per piscesyyy

Literatura romàntica

460K 3K 19
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
Love Hate Per C I C I

Literatura romàntica

2M 152K 31
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
Naughty Nanny Per 🐻🐶

Literatura romàntica

6.6M 333K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
245K 756 9
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...