A MAN BEHIND THE MIRROR

By reijung9

24.5K 3.2K 1.8K

SHADOW SEQUEL More

1
2
3
4
5
5.1
6
7
8
9
10. [REBORN]
11. [ 미로 ] - Milo - Labirin
12. [ 이름 ] - Ileum - Name
13. [ 밤 ] - BAM - NIGHT
14. [숨바꼭질] - SUMBAKKOGJIL - HIDE & SEEK
15. [눈 ] - NUN - EYES
16. [ 구해줘 ] - Guhaejwo - Save Me
17. [ 게임 ] - Geim - A Game
18. [ 목소리 ] - Mogsoli - Voice
19. Heart, Mind and Soul
20. [ 비밀 ] - Bimil - The Secret
21.
23.[ 놀자 ] - Nolja - Let's Play
24. [ 악마 ] - Agma - Devil
25.[ 악마 ] - Agma - Devil - 2
26 : [ 악마 ] - Agma - Devil - 3
27. [ 악마 ] - Agma - Devil - 4
28. [ 협력 ] - Hyeoblyeog - Cooperation
29. [ 역습 ] - Yeogseub - Counterattack
30. [되든 안되든] - Hit Or Miss
31. [ 위장 자 ] - Wijang ja - The Disguiser
32. [ 갇힌 ] - Gadhin - Trapped

22. [ 꿈 같은 ] - Kkum Gat-eun - Dreamlike

572 90 56
By reijung9

"H-hai." Sapa Yunho dari lantai.

Kedua bola mata Jaejoong membelalak. "Y-Yunho?"

Yunho tersenyum meski harus menahan keningnya dari berkerut karena rasa nyeri di punggungnya.

"Masih liar seperti yang aku ingat." Katanya.

Kelopak mata Jaejoong berkedip cepat. Dia masih tidak percaya namja tan itu ada di depannya-ehm di bawah tepatnya, terbaring di lantai setelah menerima bantingan Jaejoong.

"Aku tidak keberatan kau melihatku seperti melihat hantu tapi aku akan sangat berterima kasih jika kau membantuku lebih dulu."

Ucapan yunho menyadarkan Jaejoong dan posisi aneh mereka saat ini.

"Oh oh." Jaejoong mengulurkan tangannya pada Yunho dan menarik Yunho unuk berdiri. "Mi-mianhae. Aku pikir kau tadi adalah pencuri."

Yunho mengerang saat bangkit, mengusap punggungnya setelah berdiri sempurna.

"Yeah, aku tidak menyalahkanmu. Salahku juga karena datang tidak menyalakan lampu."

"Oh ya, mungkin saja ini tidak akan terjadi kalau lampu menyala." Jawab Jaejoong dengan putaran bola mata malas.

Jaejoong kemudian berjalan menuju ruang duduk diikuti oleh Yunho di belakangnya. Dia melepaskan sarung senjata yang melingkar di pinggangnya dan kemudian meletakkannya di meja bersama mantel yang dia kenakan. Setelah melepaskan sarung senjatanya Jaejoong berjalan menuju dapur, mengambil dua gelas bersih dari rak dan mengisisnya dengan jus dingin dari kulkas. 

Yunho mengagumi setiap gerakan Jaejoong, mengikutinya dengan kedua mata musangnya. Kekasihnya yang berprofesi sebagai polisi itu masih terlihat menawan seperti biasanya meski ada kelelahan terpancar di wajah dan cara berjalannya yang malas dengan kaki sedikit diseret.

Mereka tidak seharusnya bertemu, tidak dengan identitas sebagai Yunho. Namun Yunho tidak dapat menahan keinginannya untuk menemui Jaejoong lagi sebagai dirinya. Dia telah membulatkan tekat untuk mengatakan pada Jaejoong secara langsung tentang hal yang menganggunya.

Yunho mengembangkan senyum ketika Jaejoong berjalan kembali ke ruang duduk dengan senyum tipis di wajahnya.

Kening Jaejoong berkerut saat melihat Yunho masih berdiri. "Kenapa berdiri? Duduklah." Katanya sambil menepuk tempat kosong di sebelahnya.

"Aku tidak akan menginterogasimu karena kau bekerjasama dengan divisi khusus. Jadi kau bisa tenang." Lanjutnya saat dia melihat ada keraguan di dalam diri Yunho.

Yunho tersenyum lemah dan menuruti permintaan Jaejoong. Menjaga jarak duduk mereka, agar dia dapat menahan diri untuk tidak merubuhkan kekasihnya itu dan meluapkan kerinduan yang telah menumpuk di dalam hatinya. Ya, mereka memang telah bertatap muka saat Yunho menjadi Eunho namun itu berbeda. Eunho bukan Yunho yang mencintai Jaejoong.

"Jadi kau sudah tahu kalau aku bekerja untuk divisi khusus?" Tanya Yunho dengan nada datar.

Jaejoong tidak langsung menjawab, dia mengeser gelas berisi jus untuk Yunho ke depan Yunho dan meminum jusnya sendiri.

"Yeah. Kau pikir aku ini siapa huh?" Jaejoong balas bertanya dengan nada sedikit congkak yang membuat Yunho menggelengkan kepalanya, terkekeh meski ditahan.

"Tapi harus aku akui aktingmu sangat meyakinkan." Lanjut Jaejoong sambil meletakkan gelas di atas meja rendah di depannya. "Jika saja aku tidak mengenalmu maka aku akan percaya padamu."

"Dan dari yang aku lihat, Yoochun juga tidak percaya padaku." Yunho mengerutkan kening saat ingat cara Yoochun menatapnya. "Dia melihatku seperti ingin membunuhku." Ucapnya lagi dengan keryitan di kening.

Jaejoong tertawa, kepalanya terlempar ke belakang saat tertawa. Dan Yunho menyaksikan itu, betapa dia merindukan suara tawa Jaejoong yang sangat merdu di telinganya. Tawa itu yang sejak dulu menghiasi harinya dan mungkin saja tawa itu akan hilang setelah dia melakukan pengakuan. Yunho mendengar suara Haneul yang berulang kali melarangnya namun tekatnya sudah bulat.

Untuk saat ini dia memilih untuk menikmati tawa Jaejoong. Mungkin ini akan menjadi kesempatan terakhir, Yunho pantas untuk mendengarkan tawa Jaejoong.

"Tidak. Tidak." Jaejoong menggeleng, menghapus airmata yang keluar karena tertawa. "Dia tidak akan melakukannya. Hmm, mungkin hanya menghajarmu sampai babak belur."

Yunho memutar bola matanya ketika Jaejoong menatapnya dengan mata jahil. "Itu terdengar tidak lebih baik sebenarnya."

"Hahahaha." Jaejoong tertawa makin lepas.

"Will you still be able to smile at me when you know the truth?"

Kalimat tanya itu bergema di kepala Yunho.



>

>

>

>

>


"Shit! Shit! Shit!" Umpat namja itu diantara nafasnya yang berhembus kasar saat dia berlari.

Dia menoleh ke belakang, gerakan kepalanya cepat dengan mata yang mmencoba fokus ke segala arah. Dari kejauhan di belakangnya dia dapat mendengar suara teriakan yang bergema di lorong basement.

Dia terlonjak saat mendengar suara letusan yang dia duga dari senjata api dari orang yang mengejarnya. Entah siapa yang mati, dia tidak ingin tahu dan hanya tahu bagaimana caranya lari keluar tanpa diketahui oleh orang yang menerobos masuk ke markasnya untuk melarikan diri. Namun kakinya segera berhenti, mata membesar dan aura horror dirasakannya menjalari sekujur tubuhnya, membuat tubuhnya memproduksi keringat dingin saat melihat seseorang namja paruh baya jangkung berdiri di depannya. Tersenyum dingin padanya.

"Oh, lihat siapa yang mencoba melarikan diri?" Katanya dengan senyum dingin masih terpasang di wajah.

Dia bersumpah melihat kilatan kekejian di sepasang bola mata emerald green milik namja di depannya. Dengan naluri melindungi diri dia mengambil satu langkah mundur saat namja bermata hijau itu maju ke arahnya.

"A-apa yang kau inginkan?" Kalimat yang keluar dari bibirnya terbata, menunjukkan rasa ketakutannya secara nyata.

"Well," Namja itu berjalan ke arahnya dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana kainnya yang licin dan mahal, bahunya yang lebar tertutupi oleh black long coat yang menyampir seperti baju zirah. "Aku membutuhkan keahlianmu, Bee, right?"

Bee menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. Hanya orang yang pernah bekerjasama dengannya yang tahu nama julukannya. Namun sepanjang memori yang ada di kepalanya, dia tidak pernah mengenal namja blasteran bermata hijau sebagai salah satu dari kliennya. Orang itu menebarkan aura berbahaya yang hars dia jauhi.

"What do you mean?" Tanya Bee. "Aku hanya orang biasa yang tidak dapat melakukan apapun kecuali bermain game."

Namja bermata hijau itu tertawa, bahkan tawanya dapat memberi efek merinding di sekujur tubuh Bee.

"Game?" Namja itu membeo, lalu menggeleng. "Aku tidak akan berbohong pada saat seperti ini hanya untuk menyelamatkan diri. Karena itu bukan keputusan yang bijak." Lanjutnya.

Adrenalin Bee terpacu cepat, secepat keringat dingin keluar dari setiap pori-pori kulitnya. Setiap sel di otaknya memerintahkannya dengan teriakan untuk lari namun otot-otot di tubuhnya mengkhianatinya.

"Sungguh aku tidak mengerti." Kata Bee lagi.

"Ck ck ck." Namja bermata emerald green itu mendecakkan lidah, menatap Bee dengan mata tajamnya. "Apakah kau masih bisa mengelak di bawah todongan pistol?"

Alis Bee bertaut di pusat keningnya yang berkerut. Lalu sedetik kemudian Bee membelalakan mata saat merasakan sesuatu menempel di bagian belakang kepalanya. Dia tidak ingin menoleh tapi dia tetap menoleh. lehernya bergerak dengan lambat dan kaku, melalui ekor matanay dia melihat sosok namja berbadan besar dengan masker menutupi wajah, sosok orang yang menerobos masuk ke markas X. Lalu dia tidak perlu memastikan lagi benda apa yang bersentuhan langsung dengan bagian kepalanya. Dia tahu, dia tidak memiliki pilihan jika masih ingin menghirup udara.

Bee mengalihkan pandangannya lagi pada namja blesteran yang berdiri dengan sikap superior dan aura keji sebagai pakaian kedua namja itu.

"Apa yang dapat aku lakukan untukmu?"

Bibir namja itu mengukir senyum yang sama seperti sebelumnya hanya saja lebih lebar.

>

>

>

>

>

Terasa aneh namun terasa sangat nyata.

Jaejoong seperti sedang bermimpi dapat berhadapan dengan Yunho, bertatap wajah, melihat secara nyata namja tan itu duduk di sampingnya. Merasakan hawa panas yang menguar dari tubuh Yunho, tanpa adanya identitas paslu. Seolah namja itu tak pernah pergi dari sisinya sejak awal. Tidak juga pernah menampiknya, mengucapkan semua kebohongan soal identitasnya.

Kedekatan mereka alami dan lembut. Udara di sekitar mereka bergerak dengan lembut, menari di antara kulit mereka yang sangat dekat dan waktu terasa seperti berhenti berputar, meski kenyataannya tidak. Jaejoong masih dapat mendengar jarum jam di pergelangannya mengeluarkan bunyi yang lebih keras, dari sesuatu yang jarang dia sadari menjadi sangat jelas berdenging di telinga.

Sepasang mata mereka saling menatap, tanpa ada yang berniat untuk mengalihkan pandangan atau berkedip. Jaejoong pun  tidak ingin melakukannya, ada rasa takut di sudut hatinya, jika dia berkedip Yunho akan menghilang dari hadapannya dan saat meereka bertemu dia akan menjadi orang yang tidak Jaejoong kenal.

Yunho melihatnya. Matanya secara tajam tertuju pada Jaejoong, bergerak ke kanan kiri dengan cepat namun memancarkan sesuatu yang dianggap Jaejoong sebagai pencerminan diri yang binggung dan suram.

"Aku mencintaimu Jaejong. Sangat. Aku sangat mencintaimu dan hanya kau seorang... Kau duniaku... A-aku tidak dapat menjalani hariku tanpa memikirkan dirimu barang sedetikpun... "

Kalimat tiba-tiba Yunho membuat Jaejoong terhenyak. Dia menyadari getaran di suara Yunho yang membuatnya merasakan perutnya menjadi kram dan nyeri, memaksa dirinya mengepalkan tangan membentuk tinju di sisi tubuhnya. Yunho mengangkat tangannya, menyentuh pipi Jaejoong. Ketika telapak tangan Yunho yang besar menyentuh permukaan kulit pipinya, Jaejoong merasakan tangan Yunho dingin dan gemetar.

"You're the best thing to ever happen to me. You see the worst in me and accept it. Willing to love me ...."

Yunho menunduk, bibirnya bergetar.  Jaejoong merasa linglung karena pernyataan Yunho dan ketika tangan Yunho yang menyentuh pipinya terjatuh lunglai, dia merasa udara di sekelilingnya lebih dingin dan menusuk kulitnya.

"Apa maksudmu?"

Jaejoong bertanya, setelah dia dapat melawan keinginan refleks tubuhnya untuk memeluk namja tan di depannya dan mengatakan jika dia juga mencintai namja tan itu. Bahkan dia tidak akan perduli jika namja itu saat ini berdiri pada sisi yang berseberangannya dengannya. Dia ingin memberitahu namja itu semua yang dia rasakan, dan kenyataan jika dirinya sangat membutuhkan keberadaan Yunho lebih dari apapun. Bagaimana hancurnya dia di har di mana dia menemukan eksistensi sang kekasih menghilang dari rumah mereka. Namun lidahnya terlalu kelu untuk mengatakan itu semua.

"Percayalah kalau hanya dengan dirimu aku merasa duniaku telah sempurna. Keberadaanmu, cintamu, perhatianmu... Kau memberiku lebih dari yang pantas aku dapatkan... You gave me everythings i need... But... honestly I don't deserve it... Especially from you..."

Jaejoong  menggeleng. Bahkan pada titik ini dia tidak dapat menebak apa maksud dari ucapan Yunho atau mungkin dia menolak pemikiran jika Yunho ingin mengakhiri hubungan mereka.

"Yunho, listen."

Jaejoong menjulurkan kedua tangannya, menangkup wajah Yunho di telapak tangannya lalu mengangkat wajah Yunho agar dia dapat menatap mata musang milik Yunho.

"Aku tahu kau berbohong soal identitasmu karena terikat perjanjian dengan divisi khusus. Aku tidak akan memaksamu untuk memberitahuku misi yang sedang kau jalankan. Tapi kau harus percaya jika setelah mi-"

Ucapan Jaejoong terpotong oleh rasa panik saar Yunho meraih tangannya, meletakkan tangannya di atas punggung tangan Jaejoong, mengusapnya lembut dengan ibu jari lalu menurunkannya dan berhenti di atas paha Yunho. Yunho tersenyum saat menggeleng, senyum yang memberikan tusukan menyakitkan di hati Jaejoong.

"Aku minta maaf telah berbohong padamu soal itu..."

Yunho menjaga suaranya untuk terdengar seperti biasanya namun Jaejoong mengerutkan kening karena ekspresi wajah Yunho.

"Kenapa dia terlihat sangat sedih? Apakah karena harus menyimpan rahasia dariku? Atau karena misinya bertentangan dengan yang sedang kujalankan?" Tanya Jaejoong pada dirinya sendiri.

"Kim Han..."

Tubuh Jaejoong menegang, dia yakin Yunhopun merasakannya karena namja tan itu masih memegangi kedua tangannya, menangkupnya dalam genggaman tangan besar Yunho yang dingin.

Jaejoong merasa sangat bodoh dan linglung hanya karena Yunho menyebut nama ayahnya. Jaejoong masih emmandangi Yunho dengan tatapan yang kebinggungan, dia sama sekali tidak mengerti apa yang ingin disampaikan oleh Yunho. Kenapa Yunho tiba-tiba menyebut nama ayahnya. Dari mana Yunho tahu nama ayahnya? Apa yang ingin disampaikan oleh Yunho sebenarnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala jaejoong namun dia tidak dapat mengeluarkannya dari kepalanya agar Yunho menjawab kebinggungannya dengan segera.

Yunho menunduk.

".... I'm sorry... I 'm sorry... I don't expect you to forgive me...but I'm really sorry ... I'm willing to do anything ... a-anything ... to make up for it..."

Tubuh Jaejoong bergetar lemah saat mendengarkan penuturan Yunho. Dia masih mencoba untuk mencerna maksud Yunho.

"W-what do you mean?"

Meskipun Jaejoong tidak mengerti arah pengakuan Yunho, dia tidak dapat menahan rasa penasaran yang berkumpul di dalam tenggorokannya. Dia ingin menyuarakan pertanyaan-pertanyaan yang berkeliaran dalam kepalannya namun saat ini hanya pertanyaan itu yang meluncur dari bibirnya.

"A-ayahku meninggal saat bertugas. Ke-kenapa kau harus meminta maaf padaku atas kema-"

Jaejoong mengatupkan bibirnya rapat-rapat saat dia seperti mendengar suara alaram berdering di telinganya. Ekspresi binggung dan linglung di wajahnya kini berubah menjadi ketakutan dengan apa yang dia pikirkan. Firasatnya mengatakan dia tidak ingin mendengarkan jawaban Yunho, namun sekarang sudah terlambat untuk menarik semua kata-kata yang telah terucap.

"Jaejoong..." Yunho mengangkat wajahnya, menatap mata Jaejoong lekat-lekat dengan mata musangnya yang nanar. "Jika aku tidak mengatakannya sekarang, saat ini juga maka aku akan hidup dalam penyesalan... seumur hidupku..."

Meski tidak terlalu gamblang kini Jaejoong dapat menangkap petunjuk yang dilontarkan oleh Yunho, ketika dia mulai mengingat kasus terakhir yang ditangani oleh ayahnya. Kasus penculikan anak-anak.

Kini Jaejoong menyadari hal-hal kecil yang sebelumnya tidak dia sadari sejak Yunho menyapanya. Namja tan itu tidak sebahagia yang dia ingat. Senyum di wajah namja itu saat menyapanya adalah senyum yang dipaksakan.

Mata yang dulu memandangnya hanya dengan rasa cinta kini dipenuhi oleh kabut tebal penyesalan, kesedihan dan perasaan bersalah. Bahkan kini Jaejoong abru menyadari Yunho, tidak menunjukkan kebiasaannya jika mereka hanya berdua, yang biasanya menempel padanya. Kini ada jarak di antara mereka, hanya beberapa centi namun terasa sangat jauh, seperti ada jurang pemisah tak terlihat di antara mereka.

Ada kesunyian berat menggelantung di udara ketika Yunho diam dan hanya menatap Jaejoong.

Jaejoong balas menatap Yunho, melihat namja itu dengan seksama dan dengan sangat jelas wajah namja itu menunjukkan reaksi yang tidak dia inginkan namun dia tidak mendesak atau memaksa Yunho untuk bicara. Dia menunggu. Menunggu namja itu untuk kembali bicara sementara Jaejoong mengatur hatinya agar siap untuk mendengarkan apapun yang akan dikatakan oleh Yunho selanjutnya.

"Jaejoong, aku... Kau harus tahu...." 

Jaejoong mengeryit saat tangan Yunho hampir mengepal dengan tangan Jaejoong masih di dalam genggamannya, seolah yunho lupa jika dirinya masih menggenggam tangan Jaejoong sepenuhnya.

"A-aku... ayahmu... Aku yang bertanggung jawab sepenuhnya atas kematian ayahmu. A-aku... yang membunuhnya..."

Jaejoong membeku sepenuhnya, dia tidak dapat merasakan lagi dinginnya tangan Yunho di tangannya. Dia juga tidak dapat mendengar dengan jelas kalimat Yunho selanjutnya, seperti dia terseret ke dalam lumpur dan telinganya tersumbat oleh lumpur yang hampir menulikannya. Meski dia sangat berharap saat ini dia tuli sepenuhnya namun tidak. Dia masih dapat mendengar suara Yunho yang berbicara dengan lemah.

"Aku menjadi salah satu anak yang menjadi korban penculikan dan... dan ayahmu adalah penyelamatku... d-dia yang menolongku... A-aku..."

Jaejoong merasakan kepalanya berputar bersama dengan pandangannya yang berkabut, mendengarkan cerita Yunho secara utuh.

"K-kau... m-membunuh a-yahku?" Tanya Jaejoong dengan suara seperti bisikan.

Yunho berlutut di depan Jaejoong, mendongak untuk bertatap wajah dengan Jaejoong. Yunho masih menggenggam tangannya, lebih erat dari sebelumnya, membawa tangan Jaejoong dekat dengan dadanya lalu mencium punggung tangan Jaejoong satu persatu.

"I-I don't ask for your forgiveness... But ... but..."

Dia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, tidak bisa. Yunho menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, cukup kuat hingga dia dapat merasakan rasa darah di bibirnya. hatinya hancur berkeping-keping melihat Jaejoong terpaku, terdiam dan menatapnya dengan amata nanar yang berusaha menahan airmata agar tidak terjatuh.

Kenyataan jika dia telah membunuh ayah Jaejoong sudah terlalu seram baginya dan sekarang dia harus menyaksikan Jaejoong bersedih karena perbuatannya. Dari semua hal yang dia benci, dia paling membenci ada airmata dan kesedihan di wajah Jaejoong. Namun sekarang dia ada di sini, berlutut di depan Jaejoong karena dia Jaejoong kehilangan sosok ayah dan dia juga alasan di balik airmata Jaejoong yang tertahan. Dia membencinya. Membenci dirinya sendiri.

Di dalam kepalanya dia dapat mendengar Haneul mengeluarkan semua sumpah serapah dan makian. Haneul merasakan hal yang sama dengannya, kemarahan dan kemurkaan yang hebat pada diri mereka sendiri bukan pada yang lainnya. Yunho membenci kenyataan ini namun dia tidak ingin bersembunyi dalam bayang-bayang rasa bersalah yang perlahan namun pasti akan menelan dirinya. Dia tidak ingin menyembunyikan apapun dari Jaejoong meski itu pahit dan menyakitkan.

Jaejoong merasakan airmata mengancam untuk turun karena limpahan api kemarahan dan campuran perasaan yang lain saat dia berpikir tiada henti-hentinya.

"...This is all a lie right?"

Yunho melihat bibir Jaejoong bergetar saat bicara, meski namja itu berusaha untuk mempertahankan ekspresi wajahnya sewajar mungkin. Seperti Jaejoong yang berharap ini adalah sebuah kebohongan, Yunhopun juga mengharapkannya. Namun gambaran ingatan bagaimana tangannya merenggut paksa nyawa ayah Jaejoong terus berputar di kepalanya, menyiksa setiap bagian dalam dirinya yang menjerit meminta pengampunan.

Yunho menggeleng dengan wajah menunduk dan saat itu juga kenyataan menghantam Jaejoong.

Seperti hujaman pisau di jantung, pukulan d perut dan tembakan di kepala yang mematikan, Jaejoong merasakan dunianya terbakar menjadi abu.

Kenyataan menghampirinya dengan lambat namun hebat bersama dengan kenangan tentang ayahnya yang berputar ulang bagai film di sebuah layar dalam ruang gelap dengan menggunakan proyektor.

Setiap kenangan tampil dalam hitam dan putih, di tempat-tempat yang telah lama tidak dia lihat namun masih dapat dia ingat dengan jelas. Kenangan pertama yang dia ingat dari sang ayah adalah ketika ayahnya menjemput Jaejoong di sekolah. Ayahnya berdiri dengan gagah di depan gedung sekolah, mengapit topinya di ketiak kiri dan tangan kanannya terangkat ke atas melambai pada Jaejoong. Di wajah ayahnya yang teduh, Jaejoong dapat melihat senyuman yang lebar dan berseri-seri. Jaejoong sangat menyukai jika ayahnya menjemputnya dengan menggunakan seragam karena setiap teman-temannya akan memandangnya dengan tatapan iri karena ayahnya adalah seorang polisi. Profesi yang sangat keren seperti super hero, begitu kata seorang temannya.

Putaran kenangan itu melompat pada kenangan lain dengan bunyi yang tidak menyenangkan di telinga.

Jaejoong melihat diri kecilnya sedang merajuk di meja makan. Cemberut dan tidak berselera meski di depannya terhidang makanan lezat yang telah ibunya siapkan. Alasannya adalah karena malam itu adalah malam natal dan ayahnya tidak dapat melewatkan  malam natal bersamanya. Meski sebelumnya ayahnya telah berjanji akan memasang hiasan untuk pohon natal bersamanya dan pergi jalan-jalan setelahnya.

Jaejoong menunggu dan menunggu kepulangan ayahnya, melawan rasa kantuk hanya untuk menunggu ayahnya pulang dari bertugas. Namun sampai lewat tengah malam dan dirinya tertidur, dia belum bertemu ayahnya. Saat pagi, dia terbangun oleh suara ayahnya yang dalam namun menenangkan. Ayahnya mengendong Jaejoong ke ruang tengah untuk menghias pohon natal meski terlambat dan mengendong Jaejoong di atas bahunya untuk meletakkan bintak di puncak pohon natal mereka. Lalu mengejutkan Jaejoong dengan hadiah mainan yang sangat Jaejoong inginkan. Dia masih dapat mengingat perasaan hangat yang samar saat dia memeluk pinggang ayahnya  dengan kuat setelah dia menerima hadiah.

Kenangan itu sangat indah, namun terasa sangat pedih seperti diiris dengan sembilu.

Hari di mana dia melihat ibunya terduduk di lantai, menangis meraung-raung dengan dua polisi yang berdiri di depannya yang berusaha menenangkan ibunya. Jaejoong mendekat dan saat ibunya menoleh, ibunya langsung memeluknya dengan sangat erat. Isak tangis ibunya terdengar sangat nyata di telinga. hari di mana tawa di rumahnya menghilang bersamaan dengan kabar kematian ayahnya, menjelang hari ulang tahunnya.

Kemudian Jaejoong melihat proyektor film di depannya memercikkan bunga api dan kemudian  terbakar di depan kedua matanya.

Tanpa sadar Jaejoong bergerak mundur dan menarik tangannya dengan kasar dari genggaman Yunho saat Yunho menyentuh pipinya untuk menghapus airmata yang tanpa disadarinya telah membanjir.

Jaejoong tersentak putus asa, tercekik oleh kesedihannya sendiri sampai dia tidak dapat bernafas. Jaejoong menaruh kedua tangannya menutupi mata dan menangis dengan suara rintihan yang pecah. Dia merasa tersesat, dia merasa tersakiti, dan terkhianati. Yunho adalah segalanya, dia pikir namun Yunho ternyata juga menghancurkan dunianya. Tidak ada hal lain yang dapat dia lakukan saat ini selain remuk dalam ratapan. Tidak menyadari ekspresi wajah Yunho yang juga hancur.


>

>

>

>

>


Eunhyung dan Shownu berjalan berdampingan memasuki ruang tidur Jooheon, tempat Changkyun, Jooheon dan Hyungwon telah menunggu. Jooheon dan Changkyun menyibukkan diri dengan memastikan program All Eyes berjalan berjalan sempurna dengan sedikit penambahan program yang terpikir oleh Changkyun. Sementara Hyungwon duduk di tepi ranjang Jooheon, mempersiapkan senjatanya.

"Jadi semua telah sepakat." Kata Eunhyung sambil berdiri.

Di belakangnya, Shownu berjalan mendekati Hyungwon menarik satu koper yang ada di dekat kaki Hyungwon dan membukanya di atas ranjang. Mempersiapkan senjatanya seperti yang dilakukan oleh Hyungwon. Dia tidak sepenuhnya sepakat dengan keputusan menjadikan Changkyun umpan namun tidak ada yang dapat dia lakukan untuk memprotes karena keputusan dari Changkyun sudah bulat dan Eunhyung telah meyakinkannya jika keselamtan Changkyun terjamin olehnya.

"Di mana Yunho?" Tanya Eunhyung saat menyadari absennya Yunho di ruangan itu.

"Menyelesaikan sedikit masalah." Jawab Jooheon sambil melemparkan sebutir permen ke dalam mulutnya namun tidak menjelaskan lebih jauh meski pandangan mata keempat orang yang berada di ruangan itu tertuju ke arahnya.

Eunhyung terlihat ragu sejenak, memandang ke arah Hyungwon yang sejak tadi diam lalu menghela nafas panjang.

"Ada satu hal yang harus aku beritahukan pada kalian sebelum aku menjelaskan rencanaku." Katanya.

Setelah dia memastikan semua perhatian tertuju padanya dia menarik satu nafas panjang sebelum bicara.

"Aku telah mengetahui siapa orang asing yang bertemu dengan Im Younghan dan Han Sangjin. Dia adalah-"

"Chae Sangguk." Hyungwon menyela, menundukkan wajah seraya mengisi amunisi senjatanya." "Pimpinan dari sindikat pembunuh bayaran dan perdagangan senjata dan narkotika di pasar gelap. Memiliki akses sebagai top priority di list pasar gelap. Orang yang paling dicari namun ditakuti oleh lembaga kepolisian di berbagai negara karena akses yang dia miliki. Dari yang aku ingat dan ketahui dia memiliki 80% pengaruh pada pasar gelap di Korea. Dapat dikatakan dia dapat menunjuk siapa yang berhak untuk menjalankan bisnis atau tidak. Dia Chae Sangguk yang aku tahu." Lanjutnya tanpa melihat pada siapa bicara seperti bicara pada diri sendiri daripada menjelaskan.

"Ayahku." Imbuhnya lagi lebih lirih dari kalimat sebelumnya.

"Jadi kau sudah tahu?" Tanya Eunhyung.

Hyungwon mengangguk, memasukkan butir terakhir peluru ke dalam pistol. "Aku melihatnya di kantor Han Sangjin hati ini."

"Sejak kapan kau tahu keterlibatan ayahmu?" Tanya Shownu tanpa bermaksud memojokkan atau menyinggung tema satu teamnya.

"Aku tidak tahu dia terlibat sampai kemarin Jooheon menayangkan rekaman CCTV restoran. Tapi aku sudah memikirkan kemungkinan itu sejak tahu latar belakang Han Sangjin dan yakin jika dia terlibat saat aku melihatnya di kantor Han Sangjin." Jawabnya sambil mengisi kantung-kantung dari rompi yang akan dia pakai dengan peluru tambahan dan juga belati.

"Wow, ini seperti cerita film di mana superhero harus melawan ayah mereka sendiri. Hahaha." Celetuk Jooheon, mencoba untuk mengusir ketegangan yang menyelimuti ruangan.

Tawa Jooehon perlahan menghilang saat tidak ada yang menanggapi candaannya. Dia kemudian berdeham untuk menyembunyikan rasa malu dan bersalahnya. "Berati selain harus berhadapan dengan tokoh politik. Kita juga sekarang harus berhadapan dengan seorang pimpinan sindikat." Lanjutnya.

"Ya." Kata Eunhyung. "Dan karena dia menaruh perhatian pada Baekho maka aku menarik kemungkinan jika Baekho saat ini berada di sekitar Sangguk."

"Dia hanya punya satu tempat di sini." Hyungwon menegakkan tubuhnya. "Hanya saja untuk menyusup masuk ke dalamnya akan sangat sulit karena penjagaan yang sangat ketat lalu area itu di kelilingi oleh tempat tinggal para pembunuh bayaran yang dia miliki."

"MIliki?" Ulang Shownu. "Kau bicara seolah-olah pembunuh bayaran itu adalah sebuah barang."

Hyungwon menolah pada Shownu. "Karena baginya memang seperti itu. Semua orang yang berada di bawah kekuasaannya diperlakukan seperti barang yang akan dipergunakan selama barang itu belum rusak. dan akan membuangnya tanpa pikir panjang jika barang itu tak lagi berguna."

Jooheon menelan ludah horror. dari penjelasan Hyungwon dia membayangkan betapa mengerikannya sosok Chae Sangguk.

"Kalian tidak perlu masuk ke dalam sarangnya untuk menarik keluar Baekho. Kita hanya perlu melemparkan bom dari radius aman dan membuat mereka berlari pada kita." Kata Eunhyung dengan tangan terlipat di depan dada. "Namun untuk melakukan itu, selain Changkyun aku membutuhkan Yunho-," Ada jeda dikalimat Eunhyung. "Haneul maksudku."

"Kenapa?" Tanya Changkyun.

Eunhyung menoleh ke arah Changkyun. "Karena aku membutuhkannya untuk menarik keluar Sangguk."

Changkyun mengerutkan keningnya tidak paham, sama seperti yang lainnya.

"Karena Haneul memiliki hubungan dekat dengan Sangguk sebagai rekan dalam pasar gelap. Dapat kukatakan jika Sangguk memiliki peranan penting dalam pembentukan kekuasan Haneul di dunia hitam. Dan Sangguk masih mencari keberadaan Haneul. Karena itu aku membutuhkan kau dan Haneul untuk menarik mereka keluar." Eynhyung menoleh ke arah Hyungwon. "Tapi kau dapat mengantikannya jika kau bersedia."

"Waktunya telah tiba." Pikir Hyungwon.

Tanpa sadar dia mengepalkan kedua tangannya saat balas menatap mata Eunhyung, dia diliputi oleh gairah untuk merobohkan ayahnya dan membalas dendam atas kematian kedua orangtua Kihyun namun ada juga perasaan khawatir jika dia belum cukup mampu untuk melawan ayahnya secara langsung. Mengingat reaksi tubuhnya yang menolak untuk berada di sekitar Sangguk. Buku-buku jari Hyungwon memutih karena kepalannya yang terlalu kuat, sehingga dia dapat merasakan ujung kuku jarinya yang tidak panjang menusuk kulit telapak tangan. 

Menelan ketakutannya Hyungwon menjawab. "Aku bersedia."


"Good. So here is the plan...."


>

>

>

>

>


Mengakui sebuah dosa bukanlah perkara mudah. Selain konsekuensi yang harus diterima untuk dosa yang telah diperbuat, selalu ada sosok hitam yang menghantui-rasa bersalah. Bersalah atas dosa yang telah diperbuat dan rasa bersalah atas penderitaan dari orang yang terkena imbas dari perbuatan dosa itu dan untuk Yunho orang itu adalah Jaejoong.

Dia merasa tidak berguna karena hanya dapat melihat Jaejoong menumpahkan kesedihan dan kepedihan yang dirasakannya setelah mendengar pengakuan dari Yunho. Yunho sangat berharap dapat mengangkat semua penderitaan Jaejoong ke pundaknya. Dia tidak seang melihat Jaejoong menjadi orang yang rapuh, sosok yang tidak dia kenal.

Daripada merasa lega setelah membuat pengakuan, Yunho menemukan dirinya semakin ditelan oleh rasa bersalah. Diapun mulai berpikir jika menyembunyikan semua kenyataan yang dia ketahui dari Jaejoong mungkin adalah hal yang lebih tepat untuk dilakukan daripada mengakui, seperti yang dikatakan oleh Haneul padanya.

Namun dia tidak dapat mengulang kembali waktu, tidak dapat menarik semua kalimat pengakuan yang telah dia buat. Dia tidak bisa dan tidak akan pernah dapat melakukannya.

Mereka hidup di mana realita dan kehidupan terus berputar waktunya, bukan dalam dunia sihir yang dapat mengubah sesuatu dan memutar balikkan waktu hanya dengan rapalan mantra.

Tercabik-cabik. Itulah yang dirasakan oleh Yunho kala melihat Jaejoong menangis.

Yunho memang tidak mengharapkan Jaejoong dapat menerima pengakuannya dengan lapang dada, apalagi memaafkannya. Mendapatkan pengampunan tidak ada dalam pemikiran skenario yang dia bayangkan. Dia membayangkan Jaejoong akan mengamuk, memukulinya sampai dia tidak berdaya dan dia siap menerima itu semua tanpa perlawanan. Bahkan Yunho tidak akan heran ata kaget jika Jaejoong memaki dan membencinya. Meski kebencian dari Jaejoong akan mematahkan hati dan merobek perasaan yang dia miliki untuk Jaejoong, dia tidak akan keberatan. Karena dia masih akan tetap mencintai Jaejoong seutuhnya. Setidaknya itu yang Yunho harapkan.

Namun di sini, saat ini, Jaejoong menangis dalam kehancuran. Hal ini di luar dugaan Yunho, suatu skenario yang tidak ingin dia lihat meski dalam bayangannya. Dan dia dengan bodohnya tidak dapat melakukan apapun untuk sekedar menenangkan orang yang dia cintai. Yunho merasa dirinya tidak berhak untuk menyentuh Jaejoong sama sekali.

Bahkan dia seperti melihat Haneul di dalam dirinya membalikkan badan dan memberikan punggungnya yang sedingin gunung es untuk Yunho.

"J-joongie?"

Yunho hendak mendekati Jaejoong ingin memeluk namja itu meski tangannya yang terangkat menunjukkan getar-getaran keraguan dan saat Jaejoong mengangkat wajahnya, Yunho membeku. Tangannya yang terangkat tidak pernah menemukan tubuh Jaejoong dan jatuh kembali ke sisi tubuhnya sendiri.

Tatapan mata kosong Jaejoong saat bertemu dengan matanya, membuat Yunho kehilangan keberanian yang dia kumpulkan untuk menyentuh Jaejoong. Dan saat itu dia merasa menyerah. Menyerahkan diri pada kegelapan saat Haneul berkata.

"Let me talk to him."

Meski pandangannya terhalang oleh airmata yang menumpuk lalu mengalir, Jaejoong juga merasakan sakit kepala karena darah yang berkumpul di kepalanya namun dia masih tahu siapa yang sedang berada di depannya, Yunho, namja yang dia cintai. Tapi masihkah cinta itu ada di dalam hatinya? Setelah pengakuan Yunho, Jaejoong tidak lagi yakin dengan hatinya. Ya, dia mencintai namja itu sepenuh hatinya dan rela menjalani hubungan mereka meski kondisi menyulitkan mereka sehingga mereka tidak seperti pasangan-pasangan di luaran sana. Tapi saat ini dia juga merasakan kemurkaan saat melihat Yunho. 

Akal sehatnya memang berjalan dengan sebagaimana mestinya, mengatakan pada dirinya untuk memposisikan dirinya pada posisi Yunho. Yunho mengakui perbuatannya, itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan, seharusnya Jaejoong menghargai keberanian Yunho. Namun hatinya berteriak dengan segala kemampuan mengatakan 'Tidak'. Sisi buruk dalam dirinya terus berkata padanya untuk membenci Yunho yang telah membunuh ayahnya, menyalahkan Yunho. Sementara hati kecilnya yang mencintai Yunho terombang-ambing oleh kebinggungan dan kesedihan.

Jaejoong tidak bergerak, tidak bicara dengan mata yang terus mengalirkan airmata saat melihat sosok Yunho yang kabur karena airmatanya.

Dia tersentak dan terhenyak saat merasakan tekanan yang tiba-tiba pada tubuhnya. Yunho memeluknya. Jaejoong ingin membalas pelukan itu, menenggelamkan diri pada kehangatannya dan merasakan detak jantung Yunho saat dia menyembunyikan wajahnya di dada bidang Yunho namun lagi-lagi hati kecil dan tubuhnya tidak mengijinkannya untuk melakukan itu.

"Bukan Yunho yang membunuhnya. Tapi aku."

Kelopak mata Jaejoong berkedip sekali dan dua kali saat otaknya sedang menproses. kata-kata namja yang memeluknya dengan erat. Jaejoong dapat merasakan tubuhnya menegang dan keras di dalam pelukan namja di depannya saat dia menyadari arti dari kata-kata namja itu. Dia mengenal cara bicara itu dan saat  namja di depannya menyebut nama Yunho seperti menunjuk pada orang lain, Jaejoong tahu siapa yang sedang bicara padanya, Haneul.

Kini semua masuk akal baginya. Tentu saja bukan Yunho yang melakukannya karena Yunho adalah orang yang tidak dapat menyakiti seekor seranggapun. Tapi Haneul bisa. Haneul dapat melakukannya bahkan tanpa merasa bersalah setelah menghabisi nyawa orang lain. Walaupun Jaejoong tahu itu tapi dia tidak dapat dengan mudah memisahkan kenyataan lain jika Haneul dan Yunho adalah dua orang dengan satu tubuh. Haneul atau Yunho, tubuh dan sepasang tangan itulah yang telah menghilangkan nyawa ayahnya.

"Let me go." Ucap Jaejoong, bahkan dia terkejut dengan nada tegas yang keluar dari mulutnya sendiri.

"No." Haneul menjawab sambil mengeratkan pelukannya pada Jaejoong, saat Jaejoong mulai berontak. "I won't. Kau harus mendengarkan aku."

Jaejoong mendengus merasa dihadapkan pada situasi yang menurutnya konyol dan juga kagum serta marah  pada Haneul yang dapat bicara dengan cara bicaranya disituasi seperti ini.

"Kau pikir aku mau mendengarkan omong kosong lain. Tidak akan pernah." Ucapnya sambil berusaha mendorong tubuh Haneul menjauh darinya namun namja itu tidak bergerak sama sekali dan masih memeluk Jaejoong.

Jaejoong membenci ini, membenci dirinya yang bahkan tidak bisa melepaskan diri dari pelukan yang tidak diharapkannya. Setidaknya untuk saat ini, saat pelukan itu tidak memberikan rasa hangat dan perlindungan kecuali kekosongan dan untuk menjaganya agar tidak melarikan diri. Oleh karena itu Jaejoong memberontak lebih keras namun haneul tidak menyerah bahkan seperti tidak terpengaruh oleh pemberontakan yang dilakukan oleh Jaejoong.

Jaejoong masih dapat merasakan tekanan di pinggang dan unggungny, kuat dan kokoh seperti dinding baja. Meski tidak ingin, dia dapat merasakan hembusan nafas dari Haneul menyapu kulitnya saat Haneul mengeratkan pelukan dan menundukan wajah, sehingga wajah Haneul dan ceruk leher Jaejoong bertemu. Jaejoong tidak ingin mengakui jika dirinya sebenarnya sangat menginginkan pelukan itu tapi dia terlalu takut karena pelukan itu membuatnya semakin lemah.

"Aku memang membunuhnya."

Suara yang dibuat oleh Haneul saat bicara terdengar seperti gumaman, terhalang oleh leher Jaejoong yang tertekan oleh bibirnya.

Haneul menghirup wangi alami tubuh Jaejoong, mengharapkan ketenangan dari apa yang dilakukannya dan yang akan dia ucapkan. Dia harus mengatakannya sekarang meski Jaejoong tidak mau mendengarkan. Dengan memeluk dan menahan penolakan Jaejoong, dia memaksa Jaejoong untuk mendengarkannya.

"Seperti Yunho, aku tidak tahu jika dia ayahmu. Aku mengetahuinya di waktu yang sama seperti Yunho. Dia sudah meminta maaf padamu sekarang giliranku meminta maaf dan sama sepertinya aku tidak memintamu untuk memberikan pengampunan. Tapi Yunho tidak melakukannya. Aku yang melakukannya. Tidak akan adil baginya jika dia juga menerima konsekuensi yang seharusnya hanya untukku seorang."

"Sejak kapan kau tahu soal konsekuensi dan meminta maaf." Sengit Jaejoong.

"Sejak aku mencintaimu. Sejak perasaanku padamu lebih besar dari sekedar rasa tertarik. Sejak kau menerima keberadaan diriku sama seperti menerima kehidupan Yunho."

Haneul tidak percaya kalimat murahan seperti itu meluncur dari bibirnya, namun dia memang mengatakannya dan dalam keadaan sepenuhnya sadar.

"Kau cukup membenciku seorang karena kau tidak mencintaiku sama seperti kau mencintai Yunho. Itu akan lebih mudah bagimu, memisahkan antara diriku dan Yunho. Karena sejatinya aku dan dia tidaklah sama. Dan kau paling tahu perbedaan dalam diriku dan dirinya."

Jaejoong merasakan ada tangan tak terlihat yang mencengkram dadanya, kemudian menusuknya dengan benda tajam sehingga dia meraskaan nyeri yang amat sangat saat mendengarkan Haneul. Niat melakukan perlawanan yang tadinya begitu besar di dalam dirinya perlahan mengendur, nyaris hilang sampai dia pasrah di dalam pelukan Haneul. Namun kemarahan di dalam dirinya masih ada dan dia menjaga api kemarahan itu untuk tetap hidup dan tidak akan dia biarkan padam dengan mudah.

"Kau dapat melakukan apapun yang kau mau padaku atau memintaku melakukan apapun. Aku tidak akan menolak setiap perintah yag kau berikan." Lanjut Haneul.

"Termasuk jika aku memintamu mengganti nyawa ayahku yang kau ambil?"

Kalimat itu keluar dari bibir Jaejoong tanpa dapat dia kendalikan dan sebelum dia dapat berpikir. Mungkin dia ingin menguji kebenaran ucapan Haneul atau memang dia mengucapkan tanpa arti tertentu karena otaknya yang tidak lagi dalam kondisi dapat berpikir rasional.

Untuk sesaat hanya ada kesunyian di antara mereka berdua meski Haneul masih memeluknya, Jaejoong nyaris tidak merasakannya. Dan saat dia melihat wajah Haneul, dia sadar namja itu telah melepaskan pelukannya.

Haneul mengangkat tangannya yang tidak lagi memeluk Jaejoong, melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh Yunho yaitu menghapus airmata Jaejoong.

"Bahkan kau tetap terlihat menarik dan mempesona saat sedang menangis dan rapuh seperti saat ini." Haneul berkata, memperlambat gerakan ibu jarinya di pipi Jaejoong. "Tapi baik aku atau Yunho lebih menyukai sisi liar dan ketegaranmu."

Jaejoong tidak mempercayai matanya lagi, dia yakin di depannya adalah Haneul namun Haneul memberikan senyum yang sangat mirip dengan Yunho. Singkirkan kenyataan mereka memang berbagi tubuh yang sama, tapi tidak sekalipun Jaejoong melihat Haneul tersenyum padanya dengan aura yang sama seperti senyum Yunho.

Haneul menarik tangannya, mengepal saat tangannya mendarat di sisi tubuhnya kemudian bergerak menjauhi Jaejoong. Jaejoong mengikuti gerakan Haneul dengan matanya yang masih menyisakan airmata di sudutnya dan seketika melebar ketika Haneul mengambil senjata Jaejoong.

Haneul kembali pada Jaejoong dengan senjata milik Jaejoong di tangannya. Tanpa berkata-kata karena yakin Jaejoong mengetahui apa maksudnya, Haneul mengambil tangan Jaejoong dan menggenggamkan senjata di tangannya lalu membimbing tangan Jaejoong ke keningnya. Mulut senjata menempel di permukaan dahinya.

"Do it."

Kalimat Haneul pendek namun tegas, tanpa ada sedikitpun keraguan terselip.

"Ini kedua kalinya aku menodongkan pistol padamu. Tapi saat itu dan sekarang situasinya sangat berbeda." Ucap Jaejoong, mencoba untuk terdengar tenang.

Beruntung Haneul memegangi tangannya sehingga dia tidak gemetaran.

"Rupanya kau ingat." Gumam Haneul dengan senyum tipis di wajah. "Aku dan Yunho telah sepakat. Jika kau menginginkannya kami akan terima." Lanjutnya dengan suara yang lebih keras dari kalimat sebelumnya.

"He said, he loves you. Always." Haneul berkata lagi dan kemudian menutup kelopak matanya bersamaan dengan dia melepaskan pegangan tangannya dari Jaejoong, menunggu dengan suka rela hukuman yang akan datang untuknya.

Jaejoong melihat Haneul berdiri di depan matanya dengan mata tertutup dan senyum yang mirip dengan senyum Yunho terplester di bibir.

"Dapatkah aku membunuhnya?" Pikir Jaejoong.

Jaejoong menginginkannya untuk membalaskan dendam atas kematian ayahnya. Namun di satu sisi dia juga tidak menginginkan kematian dari orang yang dia sayangi. Seperti medan perang, peperangan antara melakukan atau tidak melakukan terjadi di dalam diri Jaejoong. Pertarungan antara cintannya dan balas dendam. Tapi pada akhirnya kemarahan dan murkanya memenangkan semuanya. Setelah puluhan tahun menghadapi kebohongan atas kematian ayahnya, dia tidak lagi ada alasan untuk tidak membunuh namja di depannya.



"Kau yang meminta kematianmu sendiri." Kata Jaejoong lirih.

"Ya."Jawab Haneul masih dengan mata tertutup. "Lakukan apa yang menjadi keinginan hatimu."

"Hati?" Pikir Jaejoong.

Lalu keraguan mulai merayap kembali dalam dirinya. Benarkah dia menginginkan ini? termasuk ayahnya yang telah tiada. Apakah ayahnya ingin Jaejoong melakukannya?

Tetapi dengan segera dia menggeleng, mengusir semua keraguan. Dia tidak mau dirinya terpengaruh oleh kata-kata manis Haneul. Tanpa pikir panjang Jaejoong menarik pelatuk pistolnya.

"Mianhae, Joongie." Ucap Haneul.



-TBC-






















































Continue Reading

You'll Also Like

187K 2.1K 51
I actually haven't posted a book on wattpad in about 2 yrs so gimme a break if it isn't good 🏃‍♀️ But most are smut so be ready and idc if u vote ju...
53.8K 1.4K 41
¨i dont like her, ok?!¨ ¨oh you definitely do¨ lynn loud is the schools best athlete. shes good at everything, basketball, baseball, soccer, you name...
54.4M 387K 69
Stay connected to all things Wattpad by adding this story to your library. We will be posting announcements, updates, and much more!
24.9K 1.5K 32
The story is about a very prominent Rajput family in Rajasthan, well-known in their village, and they have a large business empire of the jewelry and...